Alt Title

Wanita, dari Tulang Rusuk Jangan Jadi Tulang Punggung

Wanita, dari Tulang Rusuk Jangan Jadi Tulang Punggung

 


Makin banyaknya kalangan wanita yang bekerja di luar rumah inilah yang menjadi prioritas para kaum feminis

Akhirnya, tujuan kaum feminis untuk mengalihkan fungsi ibu kepada pihak yang sekiranya bisa menangani urusan rumah tangga

______________________________


Penulis Siti Aisah, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan Anak Usia Dini Kabupaten Subang


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Atas nama kemandirian ekonomi, perempuan saat ini akan menjadi tren saat ia berstatus bekerja. Baik itu pegawai kantoran, guru, ataupun buruh. Asal berpenghasilan dengan gaji yang memadai.


Sayangnya, mereka yang berstatus pekerja keras (baca: buruh) ini berisiko lebih besar. Pasalnya tragedi buruh ini tak kunjung ada habisnya. Kemungkinan permasalahannya mulai dari gaji yang minim, diskriminasi, PHK sepihak, pelecehan seksual hingga kekerasan yang berakhir tragis.


Namun, permasalahan buruh di atas tidak menyurutkan keinginan para wanita untuk berada di luar rumah. Hanya untuk membantu perekonomian keluarga, para wanita ini rela menggadaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan madrasah pertama bagi anaknya.


Salah satu pabrik yang berlokasi di Subang Jawa Barat, PT. TKG Taekwang Indonesia mempunyai jumlah pekerja sekitar 34.000 yang di antaranya adalah jumlah pekerja perempuan 25.000 yang berstatus pekerja tetap dan pegawai tetap laki-laki 9.000. Sedangkan persentase pekerja yang berumur di bawah 25 tahun ada dalam rentang 0-20%. (gajimu[dot]com, 29/11/2023) 


Perlu diperhatikan, adanya buruh wanita ini disebabkan ketidakmampuan kepala keluarga untuk mencukupi dan memenuhi perekonomian semua keluarga dalam kebutuhan primer hidupnya. Jadi mereka itu bukan semata-mata mengejar materi demi sebuah kemewahan, tapi hanya sekadar menyambung hidup.


Kemiskinan dalam sistem kapitalisme ini telah memaksakan para buruh wanita untuk bertaruh dalam kefitrahannya. Memanfaatkan dan menghalalkan segala cara demi mendapat jaminan hidup layak, hingga tak ayal mampu menggadaikan akidah. Menjauhkan agama dari kehidupan pun dilakoninya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.


Para kapital (baca: pengusaha) ini pun bersikeras untuk mempekerjakan wanita disebabkan mereka lebih teliti, rajin, telaten, dan yang pastinya mereka jarang ada yang berani untuk menuntut. Kebanyakan dari mereka merasa harus legowo dengan kondisi yang ada.


Pastinya pula pengusaha pun bisa leluasa secara hukum tidak perlu memberikan tunjangan macam-macam. Tindakan ini akan berbeda dengan para pekerja pria yang notabene adalah kepala keluarga yang menaungi anggota keluarganya. Hingga keperluan untuk tunjangan aneka macam pun haruslah ada. 


Sungguh ironis, dunia kerja saat ini bagi para wanita. Apalagi dengan keberadaan sistem yang tidak kondusif dan konsisten dalam kesejahteraan buruh, terutamanya butuh perempuan. Perlu diamati pula sistem saat ini tidak menjamin kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan para buruh wanita.


Seperti sistem kerja yang ternyata menggerus tugas fitrah seorang ibu, istri dan anak. Jam kerja yang panjang inilah membuat para ibu yang pergi kerja saat anaknya tertidur dan pulang kerja saat anaknya sudah dalam buaian mimpi. Pengabaian tugas ibu dan istri pun berakibat meningkatnya percekcokan antara pasangan suami istri. 


Upah yang tak layak dan pekerjaan yang menyalahi kodrat pun tak lepas dari permasalahan yang dihadapi para buruh wanita. Wanita yang sejatinya tulang rusuk ini beralih menjadi tulang punggung keluarga. Mekanisme nafkah yang keliru ini sejatinya diperebutkan oleh wanita dari laki-laki.


Makin banyaknya kalangan wanita yang bekerja di luar rumah inilah yang menjadi prioritas para kaum feminis. Akhirnya, tujuan kaum feminis untuk mengalihkan fungsi ibu kepada pihak yang sekiranya bisa menangani urusan rumah tangga. Misalnya pekerjaan pembantu, baby sitter atau pun maraknya day care.


Sayangnya jika hal ini terus berlanjut maka akan didapati munculnya fenomena pergaulan bebas, kenakalan remaja, narkoba, kriminalitas, dan saat ini yang viral adalah terjangkitnya para remaja dengan mental illness hingga bunuh diri anak.


Begitulah nasib tragis kehidupan dalam sistem kapitalis. Nasib para buruh terutama wanita ini adalah salah satu korban dari eksploitasi. Atas nama kemandirian ekonomi keluarga agar kebutuhan dasar terjamin. 


Beda halnya dengan sistem Islam yang memberikan jaminan kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan bagi seluruh rakyatnya. Terutama para wanita. Negara wajib memberikan lapangan pekerjaan seluas mungkin kepada para laki-laki yang telah baligh. Hingga mekanisme pernafkahan sudah tidak keliru lagi.


Dalam pundak para laki-laki, nafkah itu harus dibebankan dan ditunaikan secara sempurna. Kebutuhan primer, seperti sandang, pangan, papan, lalu pendidikan, kesehatan akan tersedia dengan mudah dan murah. Hal ini pun akan membuat para lelaki untuk bisa memenuhi kebutuhan anggota keluarga, baik itu kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Dengan demikian para wanita pun tidak perlu repot lagi untuk keluar rumah dan bersusah-payah. 


Jikapun perempuan harus bekerja dengan alasan syar'i, negara wajib mengayomi. Negara wajib membuat regulasi pengupahan yang manusiawi, dan menegakkan hukuman berat kepada para laki-laki yang tidak mau mencari nafkah.


Negara juga wajib memaksa perusahaan yang mempekerjakan para wanita untuk mematuhi aturan-aturan Islam, baik pergaulan maupun dalam berpakaian. Oleh karena itu, wahai kaum wanita, sungguh negara yang menerapkan hukum Islam seperti inilah yang layak diperjuangkan. Wallahu alam bissawab. [SJ]