Dalam Islam, Kedaulatan Pangan Bukanlah Angan
OpiniMekanisme Islam untuk mencapai swasembada pangan pertama-tama melibatkan penempatan penguasa sebagai pengurus seluruh urusan umat, termasuk produksi dan distribusi, yang semuanya berada di bawah kendali negara
Peran swasta diizinkan, tetapi sepenuhnya tergantung pada kontrol negara
__________________________________
Penulis Ummu Hanan
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Analis Media
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di awal tahun baru 2024 ini, pemerintah Indonesia sudah mengagendakan impor beras sejumlah 3 juta ton. Berdasarkan data dari Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras bulanan pada Januari 2024 mencapai 0,9 juta ton, sementara pada Februari 2024 meningkat menjadi 1,3 juta ton. Meskipun ada peningkatan, jumlah produksi tersebut masih berada di bawah rata-rata konsumsi beras bulanan yang diperkirakan mencapai 2,5 juta ton.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adhi menyatakan bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah yang diambil pemerintah untuk mengantisipasi defisit neraca bulanan. Selain itu, Pemerintah juga mewacanakan untuk memperpanjang bantuan pangan sampai Juni tahun ini. (Kompas[dot]com, 09/01/24)
Impor Beras RI: Kok Terus-terusan?
Pada tahun 2023, Indonesia "berhasil" pecah rekor impor beras sampai mencapai 3,5 juta ton. Setelah sebelumnya pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2011 Indonesia pernah mengimpor sejumlah 2,7 ton beras.
Menurut Deputi bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa, ada 4 hal yang menjadi biang kerok Pemerintah getol impor beras, diantaranya:
1. Memenuhi kebutuhan bantuan pangan
Bantuan pangan pada tahun 2023 dibagikan kepada 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Bantuan yang diberikan berupa beras seberat 10 kg kepada masing-masing KPM. Pada tahun ini, bantuan tersebut dipastikan akan berlanjut sampai bulan Juni.
2. Stabilisasi harga pangan
Pada tahun sebelumnya, pemerintah menggelontorkan beras dalam program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) ke pasaran dengan harapan mampu menstabilkan tingginya harga beras. Di awal tahun ini, harga beras masih tinggi sehingga Pemerintah masih mungkin akan melakukan stabilisasi harga dengan operasi pasar.
3. Antisipasi cadangan pangan
Stok awal tahun RI yang harus dimiliki oleh badan pangan RI di awal tahun 2024 ini sebesar 1,2 juta ton. Sehingga untuk mencegah defisit stok beras, Pemerintah menempuh cara impor.
4. Menekan laju inflasi beras
Beras merupakan salah satu komoditas pangan yang memicu laju inflasi. Sehingga intervensi harga beras harus dilakukan oleh Pemerintah. Terjaganya stok beras di pasaran diharapkan akan menekan laju inflasi kenaikan harga beras.
Ketersediaan Pangan Nasional
Secara sederhana, dapat dipahami bahwa kekurangan produksi beras dalam negeri memicu pemerintah membuka opsi impor.
Produksi beras Indonesia sejak 2018 hingga 2022 rata-rata stagnan sekitar 31,93 juta ton, sedangkan pertumbuhan penduduk mencapai sekitar 2,9 juta jiwa per tahun dalam 5 tahun terakhir.
Stagnasi produksi berisiko meningkatkan harga gabah petani dengan meningkatnya permintaan, sehingga peningkatan produksi dianggap krusial untuk menjaga stok cadangan beras pemerintah (CPB) dan stabilisasi harga.
Bapanas mencatat harapan produksi beras di tahun mendatang mencapai 34-35 juta ton, sementara stok CBP Bulog pada tahun 2022 hanya sekitar 900.000 ton, memaksa pemerintah untuk mengimpor lebih dari 2 juta ton pada tahun 2023.
Masalah yang Dihadapi Pertanian Indonesia
Menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir, antara lain disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian dan penurunan jumlah petani.
Alih fungsi lahan berdampak negatif pada produktivitas pertanian dengan luas lahan saat ini hanya mencapai 8,1 juta hektare. Upaya penundaan alih fungsi lahan memerlukan regulasi pemerintah.
Selain itu, tantangan kedua dalam mencapai swasembada pangan adalah penurunan jumlah petani. Antara tahun 2003 dan 2013, lima juta petani meninggalkan profesinya.
Dari total 18 juta petani nasional, 62% di antaranya berusia di atas 64 tahun, 28% berusia 35-65 tahun, dan sisanya merupakan petani yang masih muda. Tanpa regenerasi, dikhawatirkan akan kehilangan 14 juta petani dalam 12 tahun mendatang, menghambat upaya mencapai swasembada pangan, terutama dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat.
Strategi Ketahanan Pangan yang Bisa Ditempuh
Untuk mencapai ketahanan pangan, diperlukan peningkatan produktivitas lahan dengan langkah-langkah seperti memperluas periode penanaman di lahan sawah dekat bendungan dari dua menjadi tiga kali dan meningkatkan masa tanam di lahan tadah hujan dari satu menjadi dua kali.
Dengan luas lahan saat ini mencapai 8,1 juta hektare, Indonesia menghasilkan rata-rata 16 juta hektar hasil panen per kapita, yang tidak mencukupi bila dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 255 juta orang.
Menghadirkan alat-alat modern seperti mesin pembajak, mesin tanam, dan mesin panen dapat memberikan dukungan kepada petani yang mengalami kekurangan tenaga kerja. Jepang, sebagai contoh, telah membuktikan bahwa mekanisme pertanian dengan alat bantu modern lebih efisien dan produktif dibandingkan metode manual.
Langkah ini juga dapat merangsang minat generasi muda untuk memilih profesi sebagai petani, terutama dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menekankan pentingnya kualitas dibandingkan kuantitas.
Keniscayaan Swasembada Pangan dengan Penerapan Islam
Mekanisme Islam untuk mencapai swasembada pangan pertama-tama melibatkan penempatan penguasa sebagai pengurus seluruh urusan umat, termasuk produksi dan distribusi, yang semuanya berada di bawah kendali negara. Peran swasta diizinkan, tetapi sepenuhnya tergantung pada kontrol negara.
Penguasa bertanggung jawab memastikan akses pangan untuk setiap warga negara, dengan kolaborasi perangkat negara dari tingkat pusat hingga RT untuk memenuhi hak-hak warga. Jika ada warga yang tidak mampu membeli beras, bantuan akan terus diberikan hingga mereka dapat memenuhi kebutuhan sendiri.
Dalam konteks pemenuhan kebutuhan umat, swasembada pangan dilakukan, dan dalam situasi khusus seperti paceklik atau bencana alam, kebijakan impor dapat diambil dengan memperhatikan ketentuan syariat terkait perdagangan luar negeri.
Syariat Islam memberikan ganjaran pahala besar bagi yang mampu menghidupkan tanah mati (ihya' al-mawat). Aturan juga menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan terlantar selama tiga tahun berturut-turut, dan negara akan mengambil alih serta memberikannya kepada pihak lain yang dapat mengelolanya.
Aturan mengenai kepemilikan lahan yang terkait dengan produksi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Dengan tambahan kebijakan penguasa yang berfokus pada kesejahteraan umat, seperti penyediaan sarana produksi yang disederhanakan juga adanya pupuk dan benih yang terjangkau, hal tersebut akan semakin memotivasi para petani untuk terus menanam.
Oleh karena itu, dengan menerapkan sistem Islam, swasembada pangan untuk seluruh kaum muslimin adalah keniscayaan dan bukanlah angan. Wallahualam bissawab. [GSM]