Kawasan Ekonomi Khusus untuk Siapa?
AnalisisDengan adanya proyek ini, para kapitalis pasti merasa beruntung karena diberi angin segar membangun KEK dengan izin pemerintah. Namun terjadinya eksploitasi dan pengelolaan swasta dan asing pada proyek KEK ini, membuahkan apa bagi rakyat RI?
Walaupun lapangan kerja tercipta, tetap saja rakyat hanya jadi buruh biasa. Tetap saja keuntungan besar mengalir kepada perusahaan-perusahaan asing yang menjadi pengelola SDA itu.
__________________________________________
Penulis Aning Juningsih
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Dilansir dari cnbcindonesia[dot]com tertanggal 13/12/23, pada akhir tahun 2023, tercatat Indonesia memiliki 20 kawasan ekonomi khusus (KEK) yang fokus pada manufaktur dan pariwisata. Dari 20 KEK ini, dibagi menjadi 2 bagian, 10 KEK fokus di pariwisata dan 10 fokus di manufaktur.
Kawasan KEK manufaktur diantaranya KEK Kendal, KEK Gresik, KEK Nongsa dan KEK Galang Batang. Sementara itu, kawasan KEK pariwisata mencakup KEK Tanjung Lesung, KEK Lido, KEK Sanur, KEK Kura-kura Bali dan KEK Tanjung Kelayang.
Elen Setiadi Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha BUMN, Riset dan Inovasi mengungkap investasi di KEK manufaktur tercatat lebih tinggi, yakni Rp 133 Triliun sepanjang 2023. Kemudian, KEK pariwisata mencapai Rp 9 Triliun.
Akan tetapi, dari sisi serapan tenaga kerja, KEK pariwisata ini diklaim menyerap lebih banyak tenaga kerja, yakni 36.000 pekerja pada 2023 sementara KEK sektor manufaktur, penyerapan tenaga kerjanya mencapai 33.000 pekerja pada tahun yang sama.
Semenjak aturan UU 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus disahkan, pemerintah sangat gencar membuka peluang investasi asing. Ini jelas berdampak bagi masyarakat lokal yang daerahnya masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus.
Dalam UU KEK pasal 5 ayat 1 berbunyi, pembentukan KEK bisa direkomendasikan oleh badan usaha, pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi kepada Dewan Nasional. Itu berarti pemerintah daerah mempunyai peluang besar untuk menarik investor atau pemilik modal untuk memperluas daerah atau kawasan khusus dengan infrastruktur lengkap dan modern.
Investasi yang terdengar manis ini tentu saja tidak mungkin tanpa timbal balik yang menguntungkan mereka yang punya modal, sebagaimana yang umum diketahui. Contohnya, seperti KEK Tanjung Kelayang yang ada di Kabupaten Belitung. Sebagai bagian dari Belitung UNESCO Global Geopark, KEK Tanjung Kelayang ditargetkan sebagai captive market karena secara geografis berada diantara Jakarta dan Singapura.
Sampai saat ini, KEK Tanjung Kelayang sudah berhasil menarik investasi dengan menghadirkan jaringan hotel internasional, yaitu Sheraton Belitung Resort. Di dalam pembangunan KEK Tanjung Kelayang, terdapat tiga investor asing yang menanamkan modalnya dengan nilai investasi mencapai RP 14,1 Triliun.
Dengan adanya proyek tersebut, bukan hanya investor asing, melainkan kapitalis swasta juga kebagian untung. Seperti KEK Lido. KEK MNC Lido City dimiliki sepenuhnya oleh KPIG yang berdiri di atas lahan 3 000 hektar. MNC Lido City dikelilingi oleh populasi lebih dari 70 juta jiwa dengan akses langsung jalan tol dari Jakarta.
Sayangnya, proyek triliunan KEK Lido ternyata mengundang kontroversi, terutama bagi aktivis dan pengamat lingkungan. Kepala Lembaga dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB University Dr. Erna Rustiadi menilai bahwa pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Lido di Bogor, Jawa Barat, tidak boleh merubah kawasan hutan.
Dari situ perlu diketahui, KEK Lido bersinggungan dengan kawasan hutan yang memiliki fungsi lindung dan pelestarian. Sebelum menjadi KEK, biasanya warga memanfaatkan kawasan Lido tersebut untuk kegiatan wisata alam. Maka itu, ruang hidup dan akses warga di kawasan ini akan terbatas, jika sudah menjadi KEK.
Selain itu, ada kemungkinan terjadinya eksploitasi lahan penduduk dan SDA pada proyek KEK. Sebab pembangunan mayoritas KEK membutuhkan lahan yang sangat luas. Maka jika ada lahan penduduk yang masuk dalam kawasan tersebut, biasanya selalu berakhir dengan penggusuran atau dengan ganti rugi lahan. Maka dibalik keindahan pembangunan KEK yang memiliki kesan infrastruktur yang megah, berkelas dan canggih, ada lahan penduduk dan SDA yang dikorbankan.
Dalam pasal 4 UU KEK mengatakan bahwa KEK harus terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau berdekatan dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau kawasan potensi sumber daya unggulan. Seperti KEK Galang Batang di Kepulauan Riau.
Sebagai contoh, sentra industri pengolahan mineral hasil tambang, seperti bauksit dan produk turunannya, baik dari refinery maupun proses smelter, itu semua dikembangkan di KEK Galang Batang. Pengolahan tersebut dilakukan oleh PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) sebagai Badan Usaha Pembangunan dan Pengelola KEK. PT BAI ini merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang berasal dari kota Nanshang, Cina.
Dengan adanya proyek ini, para kapitalis pasti merasa beruntung karena diberi angin segar membangun KEK dengan izin pemerintah. Namun terjadinya eksploitasi dan pengelolaan swasta dan asing pada proyek KEK ini, membuahkan apa bagi rakyat RI? Walaupun lapangan kerja tercipta, tetap saja rakyat hanya jadi buruh biasa. Tetap saja keuntungan besar mengalir kepada perusahaan-perusahaan asing yang menjadi pengelola SDA itu.
Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalisme liberal. Investasi dilakukan besar-besaran demi mendatangkan pemasukan dari sektor pariwisata dan industri manufaktur.
Pembangunan dalam bentuk fisik yaitu jalan, jalan tol, stadion, jembatan, jaringan listrik, bendungan, kontruksi bangunan dan lain sebagainya adalah hal yang sangat penting untuk membangun majunya perekonomian suatu negara. Begitu pula, negara pasti membutuhkan sebuah kawasan ekonomi dimana dapat melengkapi infrastruktur bisnis serta mampu meningkatkan aktivitas perekonomian dan membuka lapangan kerja. Karena salah satu kewajiban negara diantaranya adalah menyediakan infrastruktur publik yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
Dalam Islam, pembangunan itu harus memberikan dampak-dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Pada masa Sistem Islam, pembangunan infrastruktur sangat berjalan begitu pesat. Contohnya jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak pada abad ke-8 saat itu sudah terlapisi aspal. Pembangunan jalan beraspal terjadi di masa pemerintahan Al-Mansur pada 762 M, sedangkan Eropa baru membangun jalan pada abad ke-18.
Satu hal yang cukup berbeda antara sistem Islam dan sistem kapitalisme, Islam tidak akan mengeluarkan pembiayaan infrastruktur dengan jalan utang atau investasi asing. Pada masa Umar bin Khaththab pembangunan infrastruktur melalui anggaran khusus di baitul mal. Dananya berasal dari kas baitul mal yang di dalamnya terdiri dari harta fai, ganimah, usyur, anfal, rikaz, zakat, khumus, jizyah, kharaj, dan pengelolaan barang tambang. Maka dari itu, negara yang akan memodali secara penuh seluruh pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dengan begitu, keuntungan dari pembangunan infrastruktur akan dinikmati oleh rakyat.
Pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam akan mempertimbangkan lahan penduduk dan kawasan lindung seperti hutan. Jika dirasa pembangunan memang diperlukan di lahan penduduk, maka yang terdampak pasti akan menerima kompensasi yang sesuai. Sementara hutan yang terdampak, pasti akan dimitigasi terlebih dahulu sehingga tidak menimbulkan dharar atas pembangunan tersebut.
Selain itu, negara dalam sistem Islam akan memenuhi kebutuhan rakyat dengan cara memberi kemudahan bagi rakyat untuk bekerja. Contohnya, memberi insentif modal usaha, memberi tanah mati untuk dikelola, membuka lapangan kerja, dan sebagainya. Sehingga negara tidak perlu selalu mengandalkan pembangunan infrastruktur untuk mengembangkan ekonomi umat.
Untuk infrastruktur yang mengelola hak umat seperti air, energi dan lahan, maka kepemilikannya diatur sebagai kepemilikan umum. Maka setiap kepemilikan umum, baik itu SDA atau fasilitas publik, harus dikelola oleh negara sehingga rakyat dapat memanfaatkannya dengan gratis atau dengan harga yang lebih murah dan terjangkau.
Selain itu, negara tidak akan menjadikan pariwisata sebagai sumber devisa. Karena destinasi wisata dalam Islam ditujukan untuk aktivitas dakwah yakni untuk mengenalkan Islam dan meningkatkan keimanan atas keagungan Allah Ta'ala, Sang Maha Pencipta.
Oleh karena itu, pembangunan kawasan ekonomi dalam Islam bukan hanya akan berdampak positif bagi manusia, tapi juga alam lingkungan sekitarnya. Inilah bukti kehebatan Islam jika diterapkan dalam kehidupan. Wallahualam bissawab. [GSM]