Konsep Netralitas dalam Pemilihan Kepala Negara
OpiniPersoalan netralitas ini juga akhirnya menjadi bukti bahwa konsep kepemimpinan dalam sistem demokrasi sekuler memang bermasalah
Para pemimpin tidak benar-benar memahami konsekuensi kepemimpinan yang akan diemban. Sejak awal pun mereka tidak dekat dengan masyarakat. Banyak hal dilakukan untuk sekadar menciptakan citra baik menjelang pemilu tiba
_____________________________________
Penulis Ummu Zhafira
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tersebar sebuah foto sepuluh camat di kota Bekasi menampilkan kaos jersey dengan nomor yang sama saat pertandingan persahabatan di stadion Chandrabaga. Atas aksinya tersebut, mereka terancam pidana satu tahun penjara jika terbukti melakukan pelanggaran kampanye Pemilu 2024. Sebagaimana dikatakan oleh Koordinator Divisi Penanganan dan Pelanggaran Bawaslu Kota Bekasi Muhammad Sodikin, ancaman hukuman tersebut diatur dalam Undang-Undang Pemilu Pasal 280 Ayat 2. (Serambinews[dot]com, 04/01/2024)
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bekasi akhirnya melakukan panggilan kepada camat terkait aksi tersebut. Pemeriksaan mulai dilakukan pada Selasa (09/01/2024). Para camat tersebut kompak di hadapan awak media mengakui bahwa foto diambil secara spontan. Mereka juga enggan mengatakan siapa yang telah menyuruh untuk berpose dengan menunjukkan angka 2. (Kompas[dot]com, 17/01/2024)
Seperti yang sudah disebarkan sebelumnya bahwa ASN maupun TNI harus netral dan tidak boleh menampilkan keberpihakan terhadap calon legislatif maupun yudikatif bahkan calon presiden dan wakilnya di depan umum. Bahkan dijelaskan gerakan dan simbol-simbol apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh ASN maupun TNI.
Sebenarnya, asas netral itu sendiri dimaksudkan agar para ASN atau TNI bisa melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara dengan netral tanpa memihak pada kepentingan para calon. Namun kalau dilihat dari fakta di lapangan apakah asas netralitas ini memang berpengaruh signifikan dengan kinerja mereka? Karena sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kinerja mereka.
Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa kubu petahana memiliki modal yang lebih besar. Hal ini tidak hanya dilihat dari aspek finansial saja tapi juga dengan kewenangan dan kekuasaan yang masih tengah berlangsung. Mereka menggunakan cara-cara terselubung agar kelompok atau paslonnya terpilih pada periode yang akan datang.
Penggunaan atribut yang artifisial di masa kampanye sesungguhnya menunjukkan lemahnya kesadaran politik maupun rendahnya taraf berpikir masyarakat. Maka tidak mengherankan cara memperkenalkan paslon hanya dengan wajah, nomor, warna, dan slogan pendek. Seberapa banyak baliho dan poster disebar di berbagai sudut di setiap wilayah negeri ini. Kaos pun akhirnya dijadikan senjata. Sehingga tidak mengherankan jika yang dilakukan oleh sepuluh camat di Bekasi tersebut pun menimbulkan permasalahan.
Persoalan netralitas ini juga akhirnya menjadi bukti bahwa konsep kepemimpinan dalam sistem demokrasi sekuler memang bermasalah. Para pemimpin tidak benar-benar memahami konsekuensi kepemimpinan yang akan diemban. Sejak awal pun mereka tidak dekat dengan masyarakat. Banyak hal dilakukan untuk sekedar menciptakan citra baik menjelang pemilu tiba.
Sudah berapa kali masyarakat terkena tipu daya sihir pesta demokrasi. Di masa kampanye mereka memberikan janji-janji manis untuk meraih suara masyarakat tapi saat sudah menjabat malah berulah menjadi penjahat. Buktinya tidak terhitung kasus korupsi di negeri ini. Mirisnya, pimpinan tertinggi lembaga pemberantasan korupsi belum lama ini juga terkena kasus yang sama.
Kondisi seperti ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Tidak ada asas netralitas dalam sistem Islam, karena memang dari awal tujuan dipilihnya para jajaran pemimpin dari level paling atas hingga bawah adalah untuk melayani umat. Para pemimpin ini bekerja atas dorongan keimanan bukan kepentingan diri atau golongan.
Untuk itulah kepemimpinannya tidak akan diraih hanya dengan poster, kaos dan uang saku maupun nasi bungkus sebagaimana yang terjadi hari ini. Tapi semua itu diraih dengan bukti kepedulian, kepengurusan, dan pengabdian nyata para calon pemimpin yang telah dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itulah masyarakat akan mengenal siapa calon pemimpinnya secara alami tanpa perlu mengumbar janji.
Itulah yang terjadi saat suara pemilihan pengganti Rasulullah saw. juga mengerucut pada Saad bin Ubadah dan Abu Bakar. Hal ini tidak lain karena sosok Saad bin Ubadah telah diakui kepemimpinannya di kalangan Anshar. Sedangkan di sisi lain, Abu Bakar diakui kepemimpinannya oleh kaum Muhajirin.
Islam memiliki konsep kepemimpinan yang agung. Para pemimpin dalam peradaban Islam telah terbukti kepiawaiannya dalam mengurus umat. Peradaban yang pernah menjadi mercusuar dunia itu hanya lahir saat syariat Islam diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan. [GSM]