Mencoba Merayu Allah
NafsiyahTanpa kita sadari sering kali kita berlari jauh, berputar-putar tanpa arah yang jelas dalam hidup ini. Belajar ke sana kemari. Berharap Allah bukakan jalan atas segala kesempitan tapi pahit kembali harus kita telan
Kita bersusah payah merayu masalah agar bisa ditaklukkan. Sayangnya, kita lupa untuk merayu-Nya. Bukankah Dia yang menggenggam kehidupan ini?
_______________________________________
Penulis Ummu Zhafira
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, NAFSIYAH - Ada masa dimana kita merasa tidak lagi menemukan jalan keluar. Semuanya seperti buntu, gelap, dan akhirnya kita merasa lelah, sangat amat lelah. Berbagai upaya yang kita lakukan seolah tidak ada lagi gunanya. Gagal lagi dan lagi, upaya itu justru semakin menyudutkan kita pada jurang ketidakberdayaan dalam menghadapi problematik kehidupan.
Tanpa kita sadari sering kali kita berlari jauh, berputar-putar tanpa arah yang jelas dalam hidup ini. Belajar ke sana kemari. Berharap Allah bukakan jalan atas segala kesempitan yang pahit tapi kembali harus kita telan. Kita bersusah payah merayu agar masalah bisa ditaklukkan. Sayangnya, kita lupa untuk merayu-Nya. Bukankah Dia yang menggenggam kehidupan ini?
Ingatkah, pada sebuah doa indah yang acap kali kita baca sebelum belajar?
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا
Artinya: “Kekasihku, aku sungguh rida Engkau sebagai Rabb-ku. Aku sungguh rida Islam sebagai agamaku, dan aku sungguh ikhlas Muhammad Rasulullah sebagai nabi dan rasul panutanku.” (HR. Ahmad)
Dari doa ini kita belajar bahwa Allah adalah Rabb kita. Dialah yang menciptakan kita dan menjadikan kita berada dalam dunia yang penuh tipu daya. Dia pula yang mengatur segalanya. Makhluk tanpa daya seperti kita bisa apa jika Allah telah memberikan ketetapan atas hidup kita?
Sebagai seorang yang beriman, ketika Allah berikan ujian maka hal utama yang harus kita lakukan adalah rida. Ini adalah kuncinya. Kita seringkali lupa, rida itu seolah cukup dengan ucapan di lisan, tapi sungguh keridaan letaknya ada di dalam hati. Penerimaan ini merupakan bentuk penghambaan kita yang lahir dari kekuatan iman.
Ketika kita rida, maka kita tidak akan menyalahkan keadaan atau pihak lain dalam menghadapi persoalan. Kita akan berusaha berlapang dada, tenang menghadapi berbagai macam kesempitan karena yakin Allah pasti akan memberikan pertolongan.
Marilah kita kembali merenungi doa indah Nabi Musa yang juga sering kita panjatkan sejak kecil ini.
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي
وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي
يَفْقَهُوا قَوْلِي
Artinya: "Ya Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, dan ringankanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku." (QS. Thaha: 25-28)
Masyaallah, Nabi Musa mengajarkan kepada kita sebelum kita meminta dilapangkan urusan. Saat itu, kita terlebih dahulu harus meminta agar Allah melapangkan dada. Kelapangan ini merupakan makna dari penerimaan atau keridaan. Karena, ketika dada kita sudah lapang, maka tenanglah kita. Dan kita gantungkan harapan semata kepada-Nya. Tentu, akan mudah belajar memahami teka-teki hidup.
Mari kita menghisab diri saat tengah merasa pada labirin masalah yang tidak berkesudahan. Padahal kita sudah berupaya melakukan bermacam cara. Benarkah kita telah menerima ketetapan-Nya dengan segenap hati? Sebuah penerimaan yang tidak lagi menyisakan kata tapi?
Jika ketenangan dan keridaan telah kita miliki, insyAllah ini menjadi modal utama bagi kita untuk bisa merespon ujian. Sebagaimana respon yang Allah mau. Kita harus belajar untuk menjadi pribadi yang proaktif dengan memastikan bahwa kita telah memenuhi hak-hak Allah dalam menjalankan peran dalam kehidupan.
Bukankah di dalam doa pertama di atas, setelah rida terhadap Allah, kita juga harus rida pada Islam sebagai agama kita dan Rasulullah Muhammad saw. sebagai teladan terbaik kita. Maka, di sinilah kita mengambil peran terbaik itu. Inilah bagian yang bisa kita upayakan.
Islam tidak mewajibkan kita harus ada pada kondisi tertentu. Misalnya, harus kaya atau miskin, punya suami idaman yang penuh pengertian atau suami yang memberikan kehidupan berkecukupan dan lain sebagainya. Namun, Islam mengajarkan agar kita merespon keadaan itu dengan cara-cara yang telah Allah tetapkan.
Sebagai istri misalnya, sudahkah kita memosisikan diri menjadi makmum yang baik bagi suami kita? Benarkah kita telah mengupayakan yang terbaik untuk meraih ridanya sebagai jalan meraih keridaan Allah? Seberapa besar kesungguhan kita menerima kekurangannya dan tetap melayaninya sebab itu menjadi kewajiban yang telah Allah gariskan.
Kita sering kali lupa. Kita pikir persoalan ini menemui titik terang, berharap orang lain melakukan perubahan. Tanpa kita sadari justru melakukan upaya yang menjauhkan kita dari pertolongan-Nya. Sebab, perubahan itu datangnya dari Allah saat kita merubah apa yang ada pada diri kita.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Ar-Ra'd ayat 11, "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Lelah memang, saat kita menggantungkan harapan pada manusia. Itu bentuk patah hati yang disengaja meski sering kali kita tidak menyadarinya. Kita tidak perlu fokus pada hal-hal di luar kendali kita. Sebab itu tidak akan pernah ada gunanya. Yang ada hanya menghabiskan energi kita secara sia-sia.
Sekali lagi, tugas kita hanya memastikan bahwa kita menjalankan semua peran sebagaimana yang Allah minta. Sulit sekali pertolongan itu datang kalau kita mengkhianati-Nya. Bagaimana bisa kita mengaku beriman tapi enggan menjalankan hidup berdasarkan syariat-Nya? Bagaimana bisa kita mengharapkan pertolongan dari-Nya tapi hobi melalaikan kewajiban?
Ampuni kami, ya, Rabb. Kami begitu congkak karena tanpa sengaja menolak ketetapan-Mu dengan sikap-sikap kami. Kami juga telah lama tidak menengadahkan tangan, meminta jalan atas setiap lika-liku hidup yang kami hadapi.
Kami lemah, ya, Rabb, teramat lemah tanpa daya yang Engkau beri. Maka kuatkanlah kami, lapangkanlah dada ini. Berikanlah kesempatan pada kami untuk berjalan pada milah yang Kau ridai. Bertumbuh di sana menjadi lebih baik dari hari ke hari agar dengan begitu, kemudahan hidup dunia dan akhirat juga menghampiri. Aamiin. Wallahualam bissawab. [Dara]