Menguji Netralitas Pemilu dalam Demokrasi
OpiniKewajiban seorang khalifah adalah menerapkan syariat Islam
Penguasa haram menjalankan hukum yang bukan syariat Islam
______________________________________
Penulis Siska Juliana
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Laporan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) mengungkapkan bahwa terdapat aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 orang bendahara partai politik. Hal ini ditemukan sejak awal tahun 2023 yang merupakan hasil pantauan dari International Fund Transfer Instruction Report. Kepala Biro Humas PPATK, Natsir Kongah menyatakan langkah PPATK mengungkapkan ini sebagai bentuk kepedulian untuk menjaga demokrasi di Indonesia. (CNBC Indonesia, 12/01/2024)
Selain itu menjelang pemilu 2024, tercatat ada 704 juta pembukaan rekening baru. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana menduga pembukaan rekening ini berkaitan dengan kontestasi politik. Nominalnya tembus hingga Rp80,6 triliun. Angka paling tinggi untuk satu parpol mencatat transaksi Rp9,4 triliun. (liputan6[dot]com, 11/01/2024)
Adanya aliran dana dari berbagai pihak termasuk asing, menunjukkan bahwa pemilu saat ini berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Umat harus menyadari bahaya di balik aliran dana tersebut, yaitu tergadainya kedaulatan negara. Sehingga pemimpin yang terpilih tidak akan mengurusi umat, melainkan memuluskan kepentingan-kepentingan pihak yang telah memberi dana.
Kondisi ini sudah nyata terjadi. Umat bisa melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penguasa selalu berpihak pada oligarki. Misalnya saja proyek kereta api cepat, Rempang Eco City, UU Minerba dan pembangunan infrastruktur lainnya.
Telah menjadi keniscayaan mengingat bahwa politik demokrasi berbiaya tinggi. Kepemimpinan ditentukan dari suara terbanyak. Maka wajar jika diperlukan dana yang besar untuk meraup suara.
Untuk itu, para pemodal berpartisipasi dalam pemilu. Saat mengucurkan dana, pasti mereka menginginkan timbal balik dari pemberian tersebut. Alhasil, parpol akan kehilangan idealismenya dan siapa pun yang terpilih, pemenangnya tetap oligarki.
Jika pemilu dalam demokrasi melahirkan penguasa oligarki, maka berbeda dengan pemilu dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam, pemilu hanya dijadikan sebagai uslub (cara), bukan metode baku dalam pengangkatan khalifah.
Imam An-Nawawi dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (VII/390) menjelaskan bahwa, "Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal 'Aqdi... yang mudah untuk dikumpulkan."
Hal tersebut terjadi pada proses pengangkatan Utsman menjadi seorang khalifah. Pada saat Umar bin Khattab mengalami sakit keras akibat penusukan terhadap beliau. Kaum muslimin meminta beliau untuk menunjuk penggantinya. Namun Khalifah Umar menolaknya. Kemudian kaum muslimin terus mendesak, hingga beliau menunjuk 6 orang sebagai penggantinya.
Lalu terpilih nama Utsman dan Ali sebagai calon khalifah. Abdurahman bin Auf menanyakan pendapat kaum muslimin siapa yang mereka kehendaki yakni Utsman dan Ali sebagai khalifah. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalur Al-Miswar bin Mukhrimah,
Abdurahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam. Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, "Aku melihat engkau tidur. Demi Allah, janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini-yakni tiga malam- dengan banyak tidur."
Terpilihlah Utsman sebagai khalifah. Kemudian kaum muslimin melakukan baiat in'iqad kepada calon terpilih untuk menjadi khalifah dan baiat tha'at oleh umat secara umum kepada khalifah.
Ada tujuh syarat untuk menjadi seorang khalifah yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas kekhalifahan.
Kewajiban seorang khalifah adalah menerapkan syariat Islam. Penguasa haram menjalankan hukum yang bukan syariat Islam.
Dengan demikian, pemilu dalam Khilafah hanya sebagai uslub memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam. Begitu pula proses pemilihan pemimpin berjalan dengan sederhana, efektif, efisien, dan hemat biaya. Wallahualam bissawab.