ODGJ Ikut Nyoblos, Kok Bisa?
OpiniTampak sangat jelas bahwa sistem demokrasi kapitalisme melahirkan sistem politik yang pro pada kepentingan pribadi dan elite politik.
Selain utak-atik aturan, sistem ini pun kerap membuat rakyat sengsara, ketika pejabat terpilih menduduki kursi kekuasaannya dan menerapkan aturan sekuler.
_______________________________________
Penulis Ummu Nasywa
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi AMK
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dalam acara Capacity Building dan Media Gathering KPU Provinsi Jawa Barat di Kabupaten Bandung Barat, Hedi Ardia Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa sekitar 32 ribu lebih orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di daerah itu akan ikut memberikan suaranya pada Pemilu 2024. (Antara, Bandung, 26/12/2023)
Menurut Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada menyatakan bahwa syarat untuk terdaftar sebagai pemilih dalam pilkada salah satunya adalah tidak terganggu jiwa dan ingatannya. Undang-undang ini pun sempat menuai protes dari Perhimpunan Jiwa Sehat, Peludem, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca), dkk. Mereka menganggap bahwa ketentuan tersebut telah menghilangkan hak konstitusional para penderita gangguan jiwa.
Atas keberatan tersebut, tanggal 13 November 2016 Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Dalam amar putusan perkara No. 135/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Perhimpunan Jiwa Sehat, dkk, Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon. Dengan adanya putusan a quo, penderita gangguan jiwa dapat memperoleh hak memilih, sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen. Akhirnya pada pemilu 2019 pertama kalinya ODGJ memiliki hak suara untuk ikut mencoblos. (MKRI[dot]ID, Senin 17/10/2016)
Hakikatnya, pemilu hendaknya didahului dengan edukasi dan sosialisasi untuk apa dan kenapa memilih. Pemilih sebelum nyoblos, harus paham visi, misi, track record orang yang akan dipilihnya. Jika pemilih adalah ODGJ, bagaimana mungkin bisa memahami orang yang akan dipilih, sementara mengingat dirinya sendiri bisa saja lupa apalagi orang lain.
Pemilih dan yang dipilih haruslah benar-benar sehat lahir batin, sehat jasmani dan rohani. ODGJ singkatan dari Orang Dengan Gangguan Jiwa. Sebab, orang yang terkategori ODGJ memiliki pola pikir, cara mengekspresikan perasaan dan perilaku yang menyimpang. Menyimpang sama artinya berbeda dengan orang pada umumnya.
Dalam sistem politik demokrasi, pemilih diposisikan sangat penting karena suara mereka menentukan nasib kontestan pemilu. ODGJ pun jadi target suara buat mereka. Padahal awalnya ODGJ tidak boleh jadi pemilih, tapi terjadi perubahan regulasi menjadi boleh.
Perubahan aturan dalam sistem demokrasi adalah hal yang wajar karena landasannya bukan maslahat tapi manfaat. Demi meraih kekuasaan, apa pun akan dilakukan apalagi jika kursi kekuasaan itu harus diperoleh dengan banyaknya suara umat. Inilah sistem di mana hukum dan undang-undang bisa disesuaikan dengan keinginan manusia.
Berbeda dengan sistem politik Islam yang disandarkan pada akidah yang lurus, yakni akidah Islam. Akidah ini akan mengantarkan pada praktik perpolitikan yang juga Islami karena politik wajib dijalankan sesuai syariat, termasuk ketentuan bagi pemilih.
Dalam sistem Islam seseorang dengan ODGJ tidak dikenai kewajiban melaksanakan salat, haji ataupun puasa apalagi untuk memilih seorang pemimpin. Dikarenakan tidak adanya akal dan kemampuan untuk memahami hukum syara sebagaimana hadis Rasulullah saw.:
"Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud).
Islam memandang ODGJ adalah bagian umat yang harus dilindungi, diberi pengobatan sampai tuntas agar kembali mendapatkan kesehatan dalam berpikir lagi. Penderita ODGJ tidak boleh dibebani dengan hal-hal berat yang akan membuat pikirannya terganggu apalagi harus memilih pemimpin.
Dalam Islam, pemilu tidak perlu mengeluarkan biaya besar ataupun menekan keharusan sampai memaksa umat untuk memilih. Intinya bukan mendulang suara dengan segala cara termasuk meminta suara dari ODGJ. Tapi kepercayaan umat atas kemampuan dirinya menjalankan riayah suunil ummah.
Tampak sangat jelas bahwa sistem demokrasi kapitalisme melahirkan sistem politik yang pro pada kepentingan pribadi dan elite politik. Selain utak-atik aturan, sistem ini pun kerap membuat rakyat sengsara, ketika pejabat terpilih menduduki kursi kekuasaannya dan menerapkan aturan sekuler.
Maka sudah seharusnya sistem buruk buatan manusia ini segera ditinggalkan dan diganti dengan sistem yang sempurna dan paripurna yang mampu menjadi solusi tuntas semua persoalan umat sampai ke akar-akarnya.
Karena Islam memiliki seperangkat aturan bahwa siapa pun yang bakal menjadi penguasa, lalu saat berkuasa tidak menjalankan pemerintahannya berdasarkan syariat Islam, maka dia berpotensi menjadi penguasa yang zalim dan fasik. Allah Swt. berfirman:
"Siapa saja yang tidak memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan (yakni Al-Qur'an) maka mereka itulah kaum yang zalim." (TQS. Al-Maidah [5]: 45).
"Siapa saja yang tidak memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan (yakni Al-Qur'an) maka mereka itulah kaum yang fasik." (TQS. Al-Maidah [5]: 47).
Wallahu alam bissawab. [SJ]