Pemilu dalam Sistem Demokrasi Hanyalah Ajang Pertarungan Berbagai Kepentingan
Opini
Pemilihan pemimpin dalam sistem Islam tidak seperti Pemilu Demokrasi yang sarat kepentingan
Jabatan adalah sebuah amanah besar yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak
______________________________
Penulis Elin Nurlina
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Adanya aliran dana dari berbagai pihak memang bukan hal yang baru lagi dalam kancah perpolitikan demokrasi apalagi setiap menjelang pemilu. Setiap menjelang tahun politik menjadi sebuah ajang tahun pertarungan antarpartai politik untuk meraih suara dan simpati dari masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum, dana yang harus dikeluarkan oleh setiap parpol untuk kepentingannya tidaklah cukup dengan biaya yang sedikit apalagi hanya mengandalkan aliran dana dari pemerintah saja.
Maka untuk menyokongnya perlu aliran dana ‘’lain’’ yang akan memuluskan kepentingannya. Apakah itu untuk dana kampanye, acara sosial, biaya ini itu dan lain sebagainya.
Sebagaimana informasi yang dilansir dari (cnbcindonesia, 11/01/2024) bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan ada 21 rekening bendahara yang terendus PPATK, menerima aliran dana yang sangat fantastis tersebut. Adapun, jumlah transaksinya mencapai 9.164 transaksi.
"Dari 21 partai politik pada 2022 itu ada 8.270 transaksi dan meningkat di 2023 ada 9.164 transaksi. Mereka termasuk yang kita ketahui menerima dana luar negeri," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam konferensi pers Refleksi Kerja PPATK 2023 yang disiarkan di youtube PPATK, Rabu (10/1/2024).
Menurut Ivan, nilai transaksi aliran dana pada tahun 2023 tersebut meningkat dibandingkan 2022 yang hanya Rp83 miliar. Sayangnya, Ivan tidak merinci nama dan parpol yang menerima aliran dana. Dia hanya menegaskan bahwa temuan tersebut mencakup bendahara parpol di semua wilayah di Indonesia.
Aliran dana Pemilu yang didapat dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan pemilu berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing. Mereka (asing) pasti memberikan dana guna mengamankan politik, investasi, dan meraih keuntungan ekonomi lewat parpol-parpol. Dan yang mesti diwaspadai, yaitu tergadaikannya kedaulatan negara.
Semua menjadi satu keniscayaan mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi, sehingga rawan adanya kucuran dana berbagai pihak yang ingin mendapatkan bagian. Akibatnya parpol dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya, bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal.
Bahkan siapa pun terpilih, maka oligarkilah pemenangnya. Apalagi arah kebijakan investasi SDA dan ekonomi yang mengarah kepada keterbukaan asing untuk menguasai juga menjadi bukti bahwa dana-dana asing masuk ke parpol. Dana tersebut masuk bukan langsung dari negara asing, tetapi melalui perusahaan-perusahaan asing yang bercokol di Indonesia, terutama perusahaan tambang kontrak karya.
Ketika hari ini kita menyaksikan bagaimana sistem demokrasi dengan pemilunya memilih pemimpin dengan prosesnya yang begitu rumit, melelahkan bahkan sampai memakan korban. Maka dalam sistem Islam sepanjang kejayaannya pemilihan pemimpin sangatlah sederhana, efektif, efisien dan bahkan hemat biaya.
Tidak perlu mengeluarkan biaya triliunan rupiah sebagaimana halnya dalam sistem demokrasi saat ini. Prosedur pengangkatan seorang pemimpin juga sudah dicontohkan oleh para khulafaur rasyidin dengan tata cara yang berbeda-beda.
Dalil ini merupakan ijma sahabat sebab seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Maka umat Islam tinggal mencontohnya, bukan malah mencari jalan lain yang justru sangat rumit dan melelahkan.
Menjadi pemimpin adalah amanah besar, yang telah diserahkan umat kepada seorang khalifah. Sebab khalifah adalah wakil umat yang akan menjalankan kekuasaannya dan penerapan hukum syariah.
Untuk memenuhi amanahnya tentu saja ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh setiap calon khalifah. Calon khalifah haruslah memenuhi 7 syarat in’iqad, sehingga dia layak menjadi seorang khalifah dan akad baiatnya pun menjadi sah. Jika kurang satu saja dari 7 syarat tersebut, maka akad kekhalifahannya tidak sah.
Pertama, khalifah haruslah seorang muslim, artinya jabatan khalifah tidaklah sah jika diserahkan kepada orang kafir.
Kedua, khalifah harus seorang laki-laki, maka tidaklah sah jika jabatan khalifah diserahkan kepada seorang perempuan. Ini didasarkan dari hadis yang menyatakan bahwa, ‘’Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan" (HR. Al-Bukhari).
Ketiga, khalifah harus baligh, artinya orang yang belum baligh tidaklah sah menjadi khalifah. Apalagi beratnya amanah untuk mengelola berbagai urusan tidak akan mampu dilakukan oleh orang belum baligh. Allah saja mengangkat pena dari orang yang belum baligh.
Keempat, khalifah haruslah seorang yang berakal, maka orang gila tidak sah menjadi khalifah.
Kelima, khalifah harus orang yang adil, maka orang fasik tidaklah sah menjadi khalifah. Adil merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh khalifah sebab ini menyangkut keabsahan dan keberlangsungan khilafah.
Keenam, khalifah harus seorang yang merdeka, maka seorang hamba sahaya tidaklah sah jadi khalifah sebab hamba sahaya adalah milik tuannya. Bahkan ia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri apalagi mengatur urusan orang lain.
Ketujuh, khalifah harus orang yang mampu, maka khalifah harus memiliki kemampuan menjalankan amanah kekhalifahan sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya.
Pemilihan pemimpin dalam sistem Islam tidak seperti Pemilu demokrasi yang sarat kepentingan. Jabatan adalah sebuah amanah besar yang nantinya akan dimintai pertanggungjawabannnya di akhirat kelak. Wallahualam bissawab. [SJ]