Perubahan UU ITE Hanya Dijadikan Sebagai Alat Pukul Baru
Opini
Tidak bisa dipungkiri bahwa UU yang berasal dari produk politik demokrasi hanya dijadikan sebuah alat pukul baru bagi siapa saja yang memberikan keritikan kepada rezim yang sedang berkuasa
Tidak hanya itu, UU ini ditunjukan hanya meneguhkan sebuah hegemoni penguasa terhadap rakyatnya
_____________________
Penulis Widdiya Permata Sari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Komunitas Muslimah Perindu Syurga
KUMTUNCAHAYA.com, OPINI - Presiden Indonesia Joko Widodo telah resmi menandatangani undang-undang nomor 1 tahun 2024 yang berisi tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang sering disebut UU ITE. Dengan begitu, sebuah regulasi yang kerap disalahgunakan karena "pasal karet" ini telah resmi diberlakukan.
Seperti di dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) menyatakan bahwa masyarakat keberatan terhadap ketentuan pidana. Bahkan, menyatakan bahwa pasal tersebut telah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, mereka menyatakan alasan revisi yang dilakukan karena aturan sebelumnya belum bisa menyelesaikan masalah. Tidak hanya itu masih adanya persepsi bahwa tidak tepat sasaran dalam pelaksanaan aturan. (tirto[dot]id, 07/01/2024)
Perubahan dari kedua ITE dipandang masih mengandung pasal yang bermasalah yaitu, menjadi pasal karet di mana bisa dijadikan sebuah senjata untuk menyerang pihak tertentu. Sejatinya, kelemahan ITE tidak lain yaitu setiap UU yang lahir dalam sistem demokrasi merupakan produk buatan manusia serta memberikan kewenangan penuh kepada manusia untuk mengatur kehidupan dalam berbagai aspek. Tidak tanggung-tanggung mereka mengatur dengan kehendaknya
Sehingga, sering terjadi revisi terhadap UU yang merupakan produk buatan manusia. Dan itu bukti dari kelemahan peraturan tersebut. Alhasil, dari revisi UU yang sering digunakan oleh pihak tertentu dalam meraih tujuan tertentu. Contohnya, saat ini pasal karet dalam UU ini telah membuka peluang terjadinya sebuah kriminalisasi lawan politik. Bahkan yang lebih miris umat Islam selalu dijadikan pihak yang tertuduh.
Alhasil, penerapan dari UU ini telah banyak memakan korban mulai dari aktivis, politisi hingga oposisi yang menuduh telah menghina pejabat bahkan menuduh merencanakan makar. Tidak bisa dipungkiri bahwa UU yang berasal dari produk politik demokrasi hanya dijadikan sebuah alat pukul baru bagi siapa saja yang memberikan keritikan kepada rezim yang sedang berkuasa. Tidak hanya itu, UU ini ditunjukan hanya meneguhkan sebuah hegemoni penguasa terhadap rakyatnya.
Sebuah UU yang didasari oleh akal manusia hanya akan menyusahkan kehidupan rakyat. Bahkan sampai kapanpun tidak akan pernah berujung pada solusi terhadap setiap persoalan manusia. Berbeda dengan Sistem Islam yang terus menyuarakan kebenaran kapada umat Islam. Hingga, umat Islam sadar bahwa UU buatan akal manusia yang dilandasi demokrasi telah rusak dan tidak sesuai. Mereka telah menyadari tidak terwujudnya sebuah kesejahteraan dan keadilan di Negeri ini yang disebabkan oleh penerapan sistem Demokrasi-Kapitalisme.
Sejatinya yang mengatur keadilan dalam masyarakat hanya akan tegak dengan UU yang diatur oleh sebuah aturan Islam yang bersumber dari Allah Swt. yang Maha Bijaksana. Jika sebuah aturan Islam benar-benar ditegakan akan terwujudnya sebuah UU yang jauh dari konflik kepentingan. Dalam Islam seorang penguasa ditempatkan sebagai pengurus urusan rakyat. Dengan menerapkan aturan Islam secara kafah. Karena, seorang penguasa merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan sebuah kedaulatan tertinggi ada pada syariat.
Dari ketetapan ini, tidak akan adanya perubahan atau revisi untuk semua peraturan dalam Negara yang menerapakan aturan Islam. Dengan menerapkan aturan Islam secara kafah atau menyeluruh akan menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Serta menolak segala bentuk kezaliman yang terjadi. Sebab, hanya Allah pencipta manusia yang paling mengetahui hakikat cipataan-Nya. Dari sini sudah jelas bahwa Allah lah yang berhak membuat aturan bagi manusia. Karena itu merupakan aturan yang sangat terbaik. Wallahualam bissawab. [Dara]