Road to 2024 (43): Pada Akhirnya Semua Harus Memilih dan Tidak Bersikap Netral!
AnalisisSeruan yang kerap diterima rakyat kelas bawah hanya pilih lalu berubahlah. Padahal tidak cukup sekadar memilih. Terdapat proses panjang untuk perubahan menuju ke arah lebih sejahtera
Perubahan bukan dimulai dari bilik suara, tapi dari bergemanya suara untuk menuntut perubahan dari gerakan kesadaran politik rakyat
_____________________________________
Penulis Hanif Kristianto
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Analis Politik dan Media
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Adakah entitas kelompok atau individu yang senantiasa bersikap netral? Bukankah entitas kelompok atau individu memiliki kecondongan pada sesuatu? Sebuah hal yang wajar dalam kehidupan. Apalagi dalam penentuan sikap politik. Afiliasi dan kecondongan pun tampak pada sikap dan ucap. Kalau pun tidak secara terang-terangan mendukung, biasanya memberikan ‘keyword’ dan ‘clue’ untuk sikap tertentu.
Mencermati dinamika Pilpres 2024, sejumlah entitas kelompok dan individu pun mulai terus terang dalam dukungan. Jika sebelumnya menyatakan netral dan masih belum menentukan pilihan, kini berubah haluan. Politik penuh dengan dinamika dan manuver di luar nalar bagi yang fokus mengamatinya.
Politik demokrasi yang diadopsi Indonesia begitu unik. Dibilang Machiavelli tak mau mengakui. Dibilang liberal dan brutal dikatakan itu pilihan. Dikaitkan dengan agama seperti disama-samakan, meski hakikatnya perbedaan jauh lebih besar. Demokrasi masih dianggap sebagai pilihan politik logis, meski kerap berwujud sadis. Rakyat sendiri masih mengetahui kulit belum sampai pada intinya. Alhasil, politik demokrasi berputar pada pergantian orang dan mengabaikan sistem apa yang akan diterapkan.
Pada Akhirnya Memilih
Pilpres dalam politik demokrasi nyatanya bukan sekedar kepentingan elite dan oligarki. Relawan, organisasi massa, komunitas, hingga fans berat juga menginginkan ruang kepentingan. Berbondong-bondong entitas rakyat mendeklarasikan diri baik terang-terangan maupun dengan pengkodean. Seperti, jangan pilih presiden yang didukung kelompok radikal, pilih yang sesuai dengan visi-misi keormasan, pilih yang peduli pada komunitas tertentu, hingga menjadi sel baru yang berada dalam arus dukung mendukung.
Konsekuensi memilih menjadi hal penting dalam dinamika politik. Format politik demokrasi mengusung pada pembagian kue kekuasaan. Siapa yang mendukung akan mendapatkan kebermanfaatan dan kedudukan jika dekat kekuasaan. Adapun yang pendukung garis keras di bawah hanya menikmati euforia dalam masa kampanye dukungan.
Pada akhirnya semua pun memilih. Hal ini menarik untuk dikaji lebih jauh alasan entitas rakyat dalam melabuhkan dukungan. Berikut analisisnya:
Pertama, paslon dalam pilpres memahami gelora aspirasi rakyat penting untuk diwadahi dan diapresiasi. Tanpa dukungan entitas rakyat sebenarnya paslon tiada kuat kalau hanya didukung partai politik. Basis massa inilah yang menjadi kunci hitungan kemenangan tim pemenangan tiap paslon.
Kedua, kepentingan sendiri entitas rakyat yang memiliki basis massa. Ketakutan terbesar sebuah entitas ialah dilarang dan dibubarkan. Karenanya, upaya memberikan dukungan berarti memberikan rasa aman. Meskipun bukan selalu menjadi jaminan.
Ketiga, penentuan pilihan berarti untuk mengokohkan eksistensi ke depan. Ini menjadi cara bagi entitas rakyat menunjukkan wajah di hadapan penguasa ke depan. Secara dukungan politik berarti memberikan legitimasi dan mendapatkan pertolongan dari kekuasaan.
Keempat, kurang cermat nya dalam politik yang didominasi elite dari entitas rakyat. Pengurus pusat dan ketua komunitas menjadi yang paling tahu manuver dalam setiap tawaran dukung-mendukung. Anggota di bawah seperti biasanya hanya mengikut atasan. Pendidikan politik yang minim ini juga menambah keruwetan politik dan pilihan rakyat. Alhasil sering terjadi gaduh ketika ada satu seruan dan bantahan.
Kecondongan politik inilah yang menjadikan serunya pesta pora dalam demokrasi. Entitas bawah bisanya gaduh. Sementara yang menikmati keuntungan pengurus jajaran di atasnya. Pelibatan massa secara luas menjadi hitungan tersendiri apakah kolaborasi menguntungkan atau menambah kerugian?
Kenisbian Netral
Netralitas hanya di atas kertas. Entitas rakyat ataupun kelompok tertentu memiliki pandangan politik yang berbeda. Kecondongan inilah yang perlu diamati agar tidak salah dalam menilai arah politiknya. Rakyat di kelas bawah sering mendapat ketidakberuntungan dari sikap pilihan politik ini. Suaranya kerap dimanfaatkan akibat ketidakpahaman.
Seruan yang kerap diterima rakyat kelas bawah hanya pilih lalu berubah lah. Padahal tidak cukup sekedar memilih. Terdapat proses panjang untuk perubahan menuju ke arah lebih sejahtera. Perubahan bukan dimulai dari bilik suara, tapi dari bergemanya suara untuk menuntut perubahan dari gerakan kesadaran politik rakyat.
Jika saja rakyat memahami seruan perubahan perlu panduan yang benar. Terlebih dari kelompok politik yang memiliki blue print dan konsep penting tentang pengurusan kenegaraan. Politik menjadi bagian penting dari rakyat. Sebab, mengurusi rakyat menjadi kewajiban penguasa yang pertanggungjawabannya kepada Allah SWT. Entitas rakyat, ormas, fans berat perlu menyadari tugas pentingnya sebagai manusia politik. Edukasilah dengan politik yang berasal dari Allah Swt. agar negara ini lebih baik dan maju. Jadi, kalaupun harus memilih, maka pilihlah yang sesuai dengan kriteria dari sudut pandang syariah. Wallahualam bissawab. [GSM]