Ancaman Gangguan Mental Di Balik Meriahnya Pesta Demokrasi
Opini
Akibatnya individu tidak memahami hakikatnya sebagai hamba Allah dan menyikapi setiap persoalan sesuai syariat Islam
Meningkatnya kasus gangguan mental telah menjadi bukti bobroknya sistem pendidikan sekuler kapitalis
______________________________
Penulis Siska Juliana
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sebentar lagi pesta demokrasi akan segera digelar. Seluruh capres cawapres hingga para caleg bersiap untuk menghadapi kontestasi ini. Mereka sudah mengerahkan kekuatannya untuk berkampanye agar dapat memenangkan hati rakyat.
Ternyata, tak hanya para caleg yang bersiap menghadapi kontestasi ini. Sejumlah rumah sakit pun telah bersiap menyediakan ruangan khusus untuk mengantisipasi caleg yang mengalami gangguan jiwa akibat gagal dalam Pileg (pemilihan legislatif) di Pemilu ini. Salah satunya Rumah Sakit Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung, Jawa Barat. Selain itu, pihak rumah sakit juga menyiapkan dokter spesialis jiwa untuk menangani caleg yang gagal dalam kontestasi ini. (kompas.tv, 24/11/2023)
Wadir RSUD Oto Iskandar Dinata mengatakan bahwa pihaknya sudah memiliki dokter spesialis penyakit jiwa. Untuk pasien yang kasusnya ringan, dapat menjalani pengobatan dengan rawat jalan. Selain itu ada 10 kamar VIP untuk persiapan pemilu. (kompas.tv, 24/11/2023)
RSUD dr. Abdoer Rahiem, Situbondo, Jawa Timur juga melakukan hal yang serupa. Hal ini karena dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya ketika caleg gagal, maka langsung stres. Ini disebabkan karena mereka kecewa, banyak terlilit utang, hingga depresi dan mengakhiri hidupnya. Tidak sedikit caleg yang mencalonkan diri hanya untuk tujuan kekuasaan ataupun materil. (kompas.tv, 24/11/2023)
Banyaknya para caleg yang mengalami stres membuktikan bahwa pemilu dalam sistem saat ini rawan menyebabkan gangguan mental. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu faktor sistem demokrasi yang diterapkan dan faktor individu.
Sistem demokrasi memiliki mekanisme pemilihan pemimpin secara langsung. Kepala negara dan anggota dewan perwakilan rakyat dipilih oleh rakyat. Maka dibutuhkan biaya tinggi atau modal besar dan mengerahkan berbagai macam cara untuk meraih kemenangan.
Menurut lembaga pers mahasiswa Fakultas Ekonomi UI, modal untuk menjadi caleg cukup variatif. Caleg DPR RI sebesar Rp1 miliar sampai Rp2 miliar, caleg DPRD Provinsi Rp500 juta sampai Rp1 miliar, caleg DPRD Kabupaten/Kota Rp250 juta sampai Rp300 juta.
Inilah yang menjadi pemicu stres bagi para caleg yang gagal dalam pemilu. Karena jabatan merupakam impian untuk menaikkan harga diri dan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi serta kemudahan fasilitas lainnya.
Faktor kedua yang menyebabkan para caleg rentan mengalami stres adalah lemahnya mental mereka. Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan sekuler kapitalis yang gagal mencetak generasi berkepribadian kuat dan mulia.
Karena sistem ini telah nyata memisahkan aturan agama dari kehidupan. Akibatnya individu tidak memahami hakikatnya sebagai hamba Allah dan menyikapi setiap persoalan sesuai syariat Islam. Meningkatnya kasus gangguan mental telah menjadi bukti bobroknya sistem pendidikan sekuler kapitalis.
Oleh karena itu, dibutuhkan solusi sistemis untuk menyelesaikan permasalahan ini. Sistem yang sesuai dengan fitrah manusia, yaitu Islam. Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam sistem Islam dilakukan pemilihan wakil umat terlebih dahulu. Wakil umat bergabung dalam lembaga yang disebut Majelis Umat. Majelis Umat tidak berperan menjalankan pemerintahan, tetapi melakukan muhasabah (koreksi) dan kontrol.
Pemilihan Majelis Umat mutlak dilakukan melalui pemilu, tidak diangkat melalui penunjukkan. Karena Majelis Umat merupakan representasi masyarakat. Mereka adalah sosok berkepribadian Islam yang kuat dan amanah. Generasi seperti ini hanya lahir dari sistem Islam.
Di masa Rasulullah saw., ada beberapa sahabat yang menjadi anggota Majelis Umat yaitu Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, dan Hudzaifah.
Adapun dalam pengangkatan kepala negara, Islam telah menetapkan metode baku yaitu bai'at syar'i. Sebagaimana Imam an-Nawawi dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (VII/390), "Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya bai'at atau lebih tepatnya bai'at dari Ahlul Halli wal 'Aqdi.... yang mudah untuk dikumpulkan."
Ditetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah 3 hari. Dalilnya adalah ijma sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra. yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah saw..
Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye. Sehingga tidak perlu ada kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga dibuat sederhana. Hanya dalam waktu tiga hari, pemilu sudah selesai.
Selain pemilihan pemimpin yang sederhana, Khilafah juga memiliki sistem pendidikan yang mencetak individu menjadi orang yang memahami kekuasaan adalah amanah. Serta beriman pada qada dan qadar yang telah ditetapkan Allah.
Sistem pendidikan ini juga mampu melahirkan individu yang selalu dalam kebaikan. Karena selalu bersyukur dan bersabar. Sehingga terhindar dari gangguan mental.
Inilah tata cara pemilihan pemimpin dalam Islam yang efektif dan mampu menghasilkan pemimpin berkualitas. Wallahualam bissawab. []