Harga Beras Melambung Tinggi, Siapa Memegang Kendali?
Opini
Tentu jika menginginkan kondisi sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah Umar, maka aturan yang berlaku haruslah aturan yang juga diterapkan oleh Umar, yakni aturan yang berasal dari Allah Swt., aturan Islam
______________________________
Penulis Siami Rohmah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ibarat peribahasa ayam mati di lumbung padi. Gelar negara agraris yang pernah disandang Indonesia, bahkan sempat swasembada pangan sepertinya sudah tidak lagi relevan. Bagaimana tidak, Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani, saat ini sedang tercekik dengan harga beras yang melambung tinggi.
Kenaikan harga beras tidak tanggung-tanggung. Berdasarkan sidak di pasar Cihapit oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPS) menemukan kenaikan harga beras premium rata-rata sebesar 21,58%, sementara kenaikan harga beras medium sebesar 28,44%. Dengan kenaikan ini, harga beras premium menjadi 16.900/kg dan beras medium menjadi 14.000/kg. (katadata, 11/2/2024)
Kenaikan harga beras ini menambah panjang daftar beban masyarakat, karena selain beras, komoditas lain juga mengalami kenaikan, seperti cabai dan gula. Kenaikan harga beras begitu terasa mencekik karena beras merupakan kebutuhan pokok yang menuntut untuk dipenuhi.
Sehingga menjadi pengeluaran wajib setiap harinya, ketika harga naik otomatis akan menambah jumlah pengeluaran rumah tangga. Apalagi kebutuhan akan beras sulit digantikan dengan yang lain. Sehingga kenaikan harga beras berpotensi menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Siapa bermain?
Kenaikan harga beras merupakan fenomena berulang. Dan saat ini termasuk yang paling parah. Padahal Indonesia sebenarnya masuk empat besar negara penghasil beras di dunia, setelah Cina, Indonesia dan Bangladesh. Besaran produksi beras Indonesia menurut Departemen Pertanian AS sebesar 34,64 juta ton pada 2022/2023. Sedangkan besaran konsumsi sebesar 35,51 juta ton.
Dari ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi ini sehingga membuka celah untuk keran impor. Bahkan di rentang 2022/2023 pemerintah impor beras sebesar 500 ribu ton. Dengan kebijakan ini membuka kesempatan bagi para mafia impor untuk bermain, demi mendapatkan keuntungan lebih besar.
Mantan Kepala Bulog, Budi Waseso pernah menyampaikan modus mafia ini. Mereka membeli beras Bulog secara besar-besaran, kemudian ditimbun, bahkan beras saat operasi pasar juga mereka sasar. Kemudian akan dilempar di pasaran dengan harga berlipat. Bahkan dengan cara mengoplos beras premium dan beras biasa, dikemas seolah beras mahal.
Posisi Negara
Berulangnya masalah mahalnya beras dan komoditas lain tentu membuahkan pertanyaan, di mana peran negara. Kenapa tidak bisa mengantisipasi atau lebih jauh menyolusi masalah ini. Kenapa mahalnya harga beras tidak membawa kesejahteraan bagi para petani. Justru para petani menangis karena langka dan mahalnya harga pupuk, belum lagi ancaman gagal panen. Tentu semua ini membutuhkan jawaban, dan itu tugas negara.
Meskipun Indonesia telah memiliki badan-badan penyangga pangan, seperti Bulog, Badan Pangan, Satgas Pangan, tetapi tidak mampu memberikan peran yang optimal. Semua ini sesungguhnya berawal dari terjebaknya Indonesia pada apa yang disebut imperialisme global, dalam kemasan liberalisme yang merupakan ide turunan dari kapitalisme.
Di mana kedaulatan ekonomi telah lepas dari kendali pemimpin negara ini. Dari liberalisme ini munculah kebebasan kepemilikan, kemudian ide pasar bebas. Sehingga persaingan antara produk lokal dan dari luar tak terhindarkan. Dengan proteksi yang minimalis tentu produk lokal akan kelimpungan. Ditambah ulah nakal para mafia dan oligarki sang pemilik kapital.
Mencari Solusi
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok individu selain papan dan sandang. Dan juga kebutuhan komunal, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semua kebutuhan ini wajib dipenuhi oleh negara. Seorang pemimpin dalam Islam harus berupaya menjalankan amanahnya karena dorongan iman dan takwa.
Kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan, pemerintah akan menempuh berbagai strategi yang dibenarkan oleh syarak untuk memenuhinya. Sehingga akses pangan bisa didapatkan dengan cara yang mudah, murah, berkualitas.
Dalam sektor pertanian pemerintah akan melakukan upaya peningkatan produksi, misalkan intensifikasi, ekstensifikasi, pengkajian varietas unggul dan teknik-teknik pertanian yang produktif. Kemudian lahan-lahan pertanian tidak boleh dialihfungsikan.
Petani akan dibantu secara maksimal, jika tidak memiliki tanah, akan diberikan secara cuma-cuma, jika tidak memiliki modal maka baitulmal siap untuk memberikan bantuan modal, demi semua lahan pertanian bisa produktif.
Selain itu proteksi hukum juga akan diterapkan. Tidak akan memberikan kesempatan bagi oligarki untuk berperan. Sehingga celah monopoli, oligopoli dan mafia dagang akan ditutup. Di tengah aktivitas ekonomi yang berjalan ada qadli hisbah yang beroperasi di pasar-pasar, mencegah dan mengadili kecurangan yang mungkin bisa terjadi.
Contoh praktis pernah diberikan oleh Khalifah Umar bin Khattab, ketika beliau menarik tanah yang sudah ditelantarkan oleh pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut, untuk kemudian diberikan kepada orang lain yang siap dan mampu mengolah lahan tersebut agar produktif. Kemudian beliau juga memanggul sendiri karung gandum dari baitulmal untuk janda miskin dan anak-anaknya.
Seorang pemimpin laksana perisai bagi rakyatnya, di mana rakyat berlindung di belakangnya. Rakyat akan terjamin dan aman bersamanya. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Tentu jika menginginkan kondisi sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah Umar, maka aturan yang berlaku haruslah aturan yang juga diterapkan oleh Umar, yakni aturan yang berasal dari Allah Swt., aturan Islam.
Pemimpin akan melaksanakan amanah untuk menjamin kebutuhan rakyatnya atas dorongan iman dan takwa. Sehingga negeri ini menjadi negeri yang dipenuhi berkah, baik dari langit maupun bumi, insyaAllah. Wallahualam bissawab. [SJ]