Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 12)
Sebulan sudah, Yusuf mengikuti kajian. Dari kajian ke kajian selanjutnya, Yusuf makin penasaran, rasa ingin tahunya begitu besar
Makin mengkaji makin ingin mengetahuinya lebih dalam. Ilmu yang didapatkan telah memuaskan akalnya, dan makin menenteramkan hatinya
______________________________
Penulis Rumaisha
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - "Jadi, kamu akan pergi juga ke Bandung, David?" kata Ravza kepada anaknya. David mengangguk. Betapa asing nama itu di telinganya, setelah ia berganti nama dengan nama Islam-nya. Sebentar lagi ia akan meninggalkan orang tuanya, yang telah membesarkan dan memberinya cinta.
"Kapan kamu akan kembali?" suara Ravza terdengar serak.
"Belum tahu, Ma. Aku di sana akan mendalami agama yang baru saja aku peluk."
Sebenarnya Yusuf tidak tega meninggalkan orang tuanya. Bagaimanapun, ia harus melanjutkan tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah Swt.. Ia tahu, bahwa untuk ibadah diperlukan ilmu, agar hidupnya berkualitas. Tetapi, ia masih bingung mau belajar ke mana dan kepada siapa.
Banyak yang sudah menawarkan diri, tapi ia masih mencari dan terus mencari. Yusuf tidak mau salah memilih guru. Karena dulu sewaktu duduk di bangku SMA, temannya terjebak dengan pengajian yang salah, yang akhirnya merenggut nyawanya dengan bom bunuh diri.
Setelah pamitan kepada orang tua angkatnya, Yusuf pergi meninggalkan rumah yang dari kecil ia tempati. Ravza melepas kepergian Yusuf dengan deraian air mata.
Hampir menjelang subuh, Yusuf sampai di Bandung. Baru saja, ia mau membuka pintu, tiba-tiba ...
"Kamu baru sampai, Nak?"
"Oh, Pak Ustaz. Iya, maaf, macet sekali di perjalanan, sehingga jam segini baru sampai.
"Sebentar lagi salat Subuh, setelah itu kamu istirahat."
"Iya, Ustaz."
Setelah salat Subuh berjamaah, Yusuf masuk ke kamarnya, merebahkan badan di atas tempat tidur yang sudah menipis dimakan usia. Yusuf melihat ke langit-langit, pelan tapi pasti, kesadarannya mulai berkurang dan akhirnya terlelap.
"Nak, maafkan Bunda, karena sudah meninggalkan dan menelantarkanmu. Tetapi, dalam hati yang terdalam, Bunda rindu sekali padamu. Seandainya, engkau tahu bagaimana penderitaan Bunda saat itu, mungkin engkau akan mengerti."
"Aku benci padamu. Tega sekali, Bunda meninggalkanku. Pergi, pergiiiii."
"Astagfirullah, aku mimpi rupanya. Kok tiba-tiba mimpi sosok Bunda ya, padahal belum pernah ketemu lagi semenjak dikasihkan ke Mama. Ah, mungkin ini efek tidur pagi, suka bermimpi yang macam-macam," gumam Yusuf.
Tepat pukul 10, Yusuf terbangun karena mimpi dan juga nyanyian keroncong di perutnya. Rasa lapar menyergapnya. Ia keluar kamar mencari makanan untuk mengisi perutnya.
Sebelum ia menentukan langkah yang akan diambilnya, membersihkan masjid adalah tugasnya sekarang. Ia harus bertahan di sini, agar mudah untuk mencari ilmu.
Sebetulnya, ia bisa mengontrak rumah yang lebih layak. Uang peninggalan dari kakeknya lebih dari cukup untuk ia hidup. Tetapi, Yusuf telah berjanji akan menggunakan uang itu sesuai peruntukannya.
"Assalamualaikum. Masih ingat saya? Saya berada di masjid ketika Anda mengucapkan syahadat." Seseorang mengulurkan tangan.
"Oh, saya mengingat Anda sekilas," sahut Yusuf.
"Kenalkan, nama saya Fajar."
Mereka terlibat obrolan yang panjang. Yusuf mengutarakan maksudnya untuk belajar memahami Islam lebih dalam.
"Kalau Anda percaya, maukah belajar bersama saya, kita berdiskusi tentang keagungan Islam melalui aturan-aturannya yang bisa menyelesaikan seluruh problematika kehidupan."
"Rasa-rasanya saya pernah mendengar kata-kata seperti itu, kata yang sama tentang kemuliaan Islam, tapi di mana? Oh, iya ... saya pernah bertemu seseorang pas ada demo di Gedung Sate, waktu itu saya belum masuk Islam."
"Anda di sana waktu itu? Saya juga salah satu peserta waktu itu," tukas Fajar dengan antusias.
"Iya, saya menyimak acara itu. Panjang ceritanya."
"Kalau boleh tahu, siapa nama orang yang bertemu dengan Anda itu?"
"Muhammad Umar, katanya dia tinggal di Garut, begitu yang ia sebutkan ketika kami berkenalan. Terkadang kita masih berhubungan walaupun tidak intens."
"Oh, walaupun belum pernah ketemu, tapi kami disatukan dengan perjuangan yang sama, yaitu keinginan yang kuat, agar hukum-hukum Allah tegak kembali di muka bumi," kata Fajar.
"Masyaallah, betapa sempitnya dunia. Saya dipertemukan sama orang-orang dengan perjuangan yang sama," kata Yusuf. Wajahnya terlihat sangat bahagia.
Setelah puas ngobrol, mereka sepakat untuk bertemu seminggu sekali untuk belajar. Yusuf pun menyambutnya dengan suka cita.
"Berapa saya harus membayar untuk privat ini?"
"Enggak usah dipikirkan. Saya rida, karena mengajarkan kembali ilmu yang sudah didapatkan itu adalah kewajiban, tenang saja," jawab Fajar.
"Oohhh," kata Yusuf.
Dalam hatinya bertanya-tanya, kok masih ada orang seperti ini. Di saat orang sangat antusias mencari uang bahkan ia pernah mendengar ada penceramah yang memasang tarif, eh ini tidak mau dibayar. Keraguan mulai muncul dalam hati kecilnya. Jangan-jangan ...
Sebulan sudah, Yusuf mengikuti kajian. Dari kajian ke kajian selanjutnya, Yusuf makin penasaran, rasa ingin tahunya begitu besar. Makin mengkaji, makin ingin mengetahuinya lebih dalam. Ilmu yang didapatkan telah memuaskan akalnya, dan semakin menenteramkan hatinya.
Pagi itu, selagi Yusuf sedang membersihkan ruangan, tiba-tiba Ustaz Anwar menghampiri.
"Sini, istirahat dulu. Saya lihat beberapa kali kamu terlihat ngobrol serius sama Fajar, hati-hati dia itu dari kelompok yang dibubarkan oleh pemerintah, kelompok keras dan radikal," kata Anwar.
"Oh, saya kok tidak melihat hal itu pada dirinya," jawab Yusuf.
"Mending kamu jauhi dia, atau jangan-jangan kamu sudah dicuci otaknya."
Yusuf tidak menjawab. Ia bingung dengan pernyataan Ustaz Anwar. Padahal, selama ia belajar dengan Fajar enggak ada kesan radikal-radikalnya, malahan ia tidak mau dibayar sepeser pun. Yusuf bingung apa yang harus ia lakukan. [SJ]
Bersambung