Alt Title

Pembangunan IKN Meluas, Rakyat Waswas

Pembangunan IKN Meluas, Rakyat Waswas

 


Segala hal dilakukan untuk mencapai tujuannya, walaupun harus merampas ruang hidup rakyatnya sendiri

Beginilah ketika sebuah negara diatur menggunakan sistem kapitalisme, sistem yang menjadikan pemilik modal sebagai penguasa sesungguhnya

______________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Pembangunan mega proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur terus berlanjut. Pembangunan ini berdiri di atas hutan, sehingga menyebabkan deforestasi. Tak hanya itu, infrastruktur penunjang IKN seperti bandara VVIP, jalan tol, pelabuhan juga memakan area permukiman warga. Salah satu permukiman yang terdampak adalah Kelurahan Lango. Masyarakat di Pantai Lango mendukung pembangunan IKN dan berharap pemerintah tidak merelokasi mereka. (antarafoto.com, 17/02/2024)


Wajar saja jika rakyat cemas terhadap dampak pembangunan IKN ini. Meskipun pemerintah mengungkapkan bahwa dengan pembangunan ini memiliki dampak positif seperti kenaikan nilai tanah, masyarakat dapat menikmati fasilitas yang bertaraf nasional dan internasional, hingga fasilitas umum yang lebih baik. 


Akan tetapi, pembangunan IKN membuka peluang terjadinya perampasan ruang hidup khususnya masyarakat setempat. Misalnya konflik agraria, ganti rugi lahan yang tidak setimpal, tempat relokasi yang tidak memadai, bahkan pengusiran. 


Hal serupa banyak terjadi dalam proyek lain seperti Rempang Eco City, kawasan wisata eksklusif berbasis konservasi di Pulau Komodo, penambangan batuan andesit di desa Wadas, dan masih banyak yang lainnya.


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sejak 2015 sampai 2022 telah terjadi 2.710 konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. 


Sederet permasalahan tersebut menunjukkan bahwa negara sangat menyambut kedatangan para kapitalis asing maupun lokal atas nama pembangunan. Segala hal dilakukan untuk mencapai tujuannya, walaupun harus merampas ruang hidup rakyatnya sendiri. Beginilah ketika sebuah negara diatur menggunakan sistem kapitalisme, sistem yang menjadikan pemilik modal sebagai penguasa sesungguhnya.


Berbeda dengan Islam yang mengadakan pembangunan untuk kemaslahatan umat bukan tujuan materialistis seperti dalam sistem kapitalisme. 


Syaikh Abdurrahman al Maliki dalam kitab As-Siyasah al-Iqtishadiyah Al-Mutsla menjelaskan dari aspek jangka waktu pengadaan pembangunan infrastruktur dalam Islam dibagi menjadi dua jenis yaitu: 


Pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat, jika menundanya akan menimbulkan bahaya bagi umat. Misalnya satu kampung atau komunitas tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit dan saluran air minum.


Kedua, infrastruktur yang dibutuhkan tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya. Misalnya perluasan masjid, jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan, dan sebagainya. 


Dengan mekanisme seperti itu, pembangunan dilakukan merata di setiap wilayah. Pembangunan juga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Alhasil pembangunan tidak akan merampas ruang hidup rakyat. 


Hal ini terjadi saat Islam diterapkan oleh negara yang bernama Daulah Khilafah. Ibu kota Khilafah pernah berpindah wilayah beberapa kali. Pada mulanya di Madinah, kemudian di Damaskus, selanjutnya di Baghdad dan terakhir di Istanbul. 


Perpindahan ini dilakukan dengan mudah karena setiap wilayah mendukung kehidupan sosial, ekonomi, politik. Namun jika pembangunan itu mengharuskan relokasi, maka Khilafah akan memastikan tempat relokasi warga juga layak untuk menunjang kehidupan.


Pembangunan seperti ini hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah, karena khalifah menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum syarak. Khalifah menjadi pengurus rakyat dan hak-haknya dijaga serta dilindungi. Wallahualam bissawab. 


Siska Juliana