Politisasi Bansos Keniscayaan dalam Sistem Demokrasi
Opini
Dengan kesadaran politik yang rendah, pendidikan rendah dan kemiskinan yang menimpa, masyarakat akan berpikir pragmatis sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Setiap ada momen bagi-bagi bantuan sosial dimasa-masa kampanye ini, masyarakat begitu antusias.
Namun, mereka tidak menyadari bahwa apa yang diberikan oleh para kontestan pemilu dimasa-masa kampanye adalah bagian dari money politics. Secara, pemberian bersyarat dalam pandangan islam adalah bagian dari suap-menyuap
______________________________________________________
Penulis Elin Nurlina
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pesta demokrasi tinggal menghitung hari. Politisasi bansos kian masif jelang pilpres 2024. Tak disangka Presiden Jokowi gencar bagi-bagi bansos berupa bahan pangan maupun uang tunai. Info terbaru ada bansos berupa bantuan langsung tunai dengan anggaran sebesar Rp 11,2 triliun. Sejumlah pihak curiga pembagian bansos menjelang pemilu sangat kental dengan nuansa politis dibandingkan urgensi menyelesaikan masalah daya beli masyarakat (cnn.Indonesia, 30/01/2024).
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ikrar Nusa Bhakti (pengamat politik) dalam wawancaranya dengan redaksi cnn.indonesia, ”Walaupun itu namanya bansos atau BLT dari negara kepada rakyatnya. Ditambah waktunya bersamaan dengan menjelang pemungutan suara saya mengatakan bahwa itu bagian dari money politics yang dilakukan oleh Presiden dan dua menteri yaitu Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Perdagangan. Hal itu dilakukan agar bisa memilih pasangan calon nomor dua. Kenapa? Karena kita tahu baik Pak Airlangga Hartarto maupun Pak Zukifli Hasan ketika beliau berdua membagikan bansos langsung mengatakan harus berterima kasih kepada Presiden karena ini bantuannya. Maka ketika memilih, pilihlah yang kira-kira menjadi pelanjut dari Presiden yang akan bagi-bagi bansos. Hal tersebut menunjukan adanya unsur kampanye dalam kalimat-kalimat tersebut. Dan kita tahu bahwa Presiden mengatakan beras yang dibagikan bukan beras yang tidak bermutu tapi beras dengan bermutu tertinggi alias premium. Betapa Pemerintah ingin dihormati karena memberikan bantuan beras dengan kualitas terbaik”.
Berebut untuk duduk dalam tampuk kekuasaan memang menjadi tujuan yang akan diperjuangkan bagi yang haus akan kekuasaan. Dengan segala macam cara akan mereka lakukan. Karena itu, setiap peluang dimanfaatkan demi mendongkrak suara agar mendapat hasil yang memuasakan. Hal itu wajar, karena sistem demokrasi meniscayakan kebebasan perilaku asal tujuan mereka terlaksana. Apalagi sistem ini jelas-jelas mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. Standar perbuatan yang seharusnya berdasarkan akidah Islam, hari ini bukan lagi sebagai landasan, tetapi mendatangkan kemanfaatan atau kemaslahatan. Manfaat menjadi ukuran bagi setiap perbuatan.
Di sisi lain, dengan kesadaran politik yang rendah, pendidikan rendah dan kemiskinan yang menimpa, masyarakat akan berpikir pragmatis sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Setiap ada momen bagi-bagi bantuan sosial di masa-masa kampanye ini, masyarakat begitu antusias. Namun, mereka tidak menyadari bahwa apa yang diberikan oleh para kontestan pemilu dimasa-masa kampanye adalah bagian dari money politics. Secara, pemberian bersyarat dalam pandangan Islam adalah bagian dari suap-menyuap.
Sebagaimana dalam hadist Rasulullah SAW, dari dari Abdullah bin 'Amr, dia menceritakan Rasulullah SAW bersabda : "Laknat Allah SWT kepada pemberi suap dan penerima suap." (HR Ahmad)
Kemiskinan menjadi problem kronis negara yang sampai saat ini masih belum tuntas. Ketika ada bansos di musim kampanye, masyarakat bersikap oportunis. Siapapun yang memberikan mereka terima, urusan pilih siapa itu urusan nanti. Terpenting kebutuhan saat ini terpenuhi dengan bantuan tersebut. Urusan halal haram dibiarkan begitu saja yang penting tidak minta. Begitulah kebanyakan pandangan masyarakat saat ini. Kondisi masyarakat yang notabebe hidup dalam garis kemiskinan apalagi minim ilmu agama, memaksa masyarakat berperilaku demikian.
Di sinilah negara seharusnya mengentaskan kemiskinan dengan cara yang komprehensif dari akar persoalan. Bukan hanya sekedar dengan pemberian bansos berulang. Karena pemberian tersebut sifatnya hanya sesaat apalagi hanya meningkat saat menjelang pemilu saja. Bantuan ada jika ada maunya. Sementara, kehidupan terus berjalan dan kebutuhan hidup harus terpenuhi setiap harinya.
Islam mewajibkan Negara menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu baik sandang, pangan, maupun papan. Islam memiliki berbagai mekanisme dalam periayahannya. Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sehingga penguasa akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara.
Menjalankan amanah kepemimpinannya berdasarkan perintah dan larangan Allah SWT. Sebab, pemimpin menyadari bahwa kebahagiaan hidup dalam Islam adalah mendapatkan ridha Allah semata bukan manfaat. Islam mewujudkan SDM yang berkepribadian Islam, termasuk amanah dan jujur. Negara akan mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin.
Sehingga umat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang muslim yang menjadi pemimpin harus berkualitas karena iman dan takwanya kepada Allah serta memiliki kompetensi. Tidak perlu pencitraan dengan bagi-bagi bansos misalnya agar disukai rakyat. Wallahualam Bissawab. [Dara]