Realitas Politik Islam dalam Pemilu 2024 Tentang Isu Serangan Fajar
Opini
Serangan fajar dan obral janji para politikus yang terkadang menggebu-gebu saat kampanye, tetapi nihil saat sudah berhasil duduk di atas kursi kekuasaan. Apalagi mereka yang selalu menyampingkan perihal agama dalam kehidupan
Alhasil lahir para wakil rakyat yang politiknya selalu diliputi kedustaan, tipu daya dan penyesatan
____________________
Penulis Siti Aisah, S.Pd
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ada asap, ada api. Peribahasa ini menunjukkan tidak akan ada konflik yang ditimbulkan jika sebelumnya tidak ada masalah. Realitasnya saat ini menurut netizen Indonesia praktik serangan fajar kian gencar.
Postingan para netizen menyebutkan harga kisaran 'amplop' antara Rp75 ribu hingga Rp200 ribu tersebar di media sosial. Pemilu serentak yang diadakan tanggal 14 Februari 2024 ini untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPD kota/kabupaten. Dari laman situs yang sama, pada hari-H pemungutan suara laporan praktik serangan fajar masuk dalam jejeran trending topic X. Sekitar 50.700 postingan terkait tentang itu, yang mengaku berasal dari orang terdekat seperti keluarga dan tetangga. (cnbcindonesia.com, 14/02/2024)
Perlu diketahui dari laman resmi Pusat Edukasi Antikorupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ‘serangan fajar’ diartikan sebagai istilah yang merujuk pada politik uang. Sayangnya di Indonesia, politik uang seperti ini di anggap lumrah dan biasa. Menariknya, serangan fajar ini tidak hanya berbentuk uang, tapi bisa berupa sembako, BBM, voucher pulsa atau barang lainnya yang senilai dengan uang. Pemberian ini biasanya dilengkapi dengan profil singkat informasi politisi yang maju di pemilihan umum. Seperti stiker, poster, dan kertas.
Serangan fajar ini bertujuan agar masyarakat bisa memilih presiden, partai atau caleg yang ada dalam profil yang dibagikan tersebut sehingga bisa memenangkan Pemilu. Realitas politik saat ini memang dirasa selalu menyimpang dari kebenaran. Hal ini dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh para politisinya. Serangan fajar dan obral janji para politikus yang terkadang menggebu-gebu saat kampanye, tapi nihil saat sudah berhasil duduk di atas kursi kekuasaan. Apalagi mereka yang selalu menyampingkan perihal agama dalam kehidupan. Alhasil lahir para wakil rakyat yang politiknya selalu diliputi kedustaan, tipu daya dan penyesatan.
Sayangnya, seperti ini bayi-bayi jebolan sistem sekuler para calon pemimpin di negeri ini. Mereka tak hanya meminggirkan peran agama dalam kancah politik, tapi mengkambinghitamkan segala bentuk, simbol atau apapun yang berkaitan dengan agama sebagai benih radikal atau pemecah belah bangsa di saat tujuannya berseberangan.
Tidak sedikit dari mereka menyimpang dari kebenaran Islam akan bersifat zalim. Lalu, menetapkan kebijakan tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Urusan masyarakat akan dinomorduakan bahkan bisa jadi tidak masuk kedalam prioritas. Sehingga, wajar bila rakyat sudah antipati dan tidak menyukai penguasa.
Dengan kebobrokan dan kebusukan politik saat ini, memicu pertentangan di antara kaum muslim. Bahwa agama yang sifatnya suci tidak pantas untuk masuk atau berbaur dengan politik yang bobrok dan busuk. Hingga lahir ide dari kaum sekularis yang menyatakan politik itu harus dijauhkan dari agama (baca: Islam). Inilah yang dimaksudkan sebagai politisasi agama. Oleh karena itu, orang yang berkecimpung dalam agama akan senantiasa takut untuk bergabung dalam dunia politik. Sayangnya, cara pandang ini yang memengaruhi kaum muslim. Muslim yang ikhlas dalam memperjuangkan Islam tidak layak masuk kedalam dunia politik. Propaganda ini bermakna ambigu, yakni mencampurkan pemahaman benar dengan yang salah.
Bak pisau bermata dua, propaganda tadi benar-benar bermaksud ganda, yakni pemahaman yang benar dan batil (salah). Benar dikarenakan seorang muslim mutlak harus menjadi muslim yang melaksanakan Islam secara sempurna dan menyeluruh, jauh dari segala perkara yang bertentangan dengan hukum-hukumnya, baik di dalam urusan pribadi maupun dalam interaksi-interaksi umum dengan sesama manusia. Setiap muslim sungguh tidak diperbolehkan Islam untuk melakukan kedustaan, kezaliman, pengkhianatan, menipu daya rakyat, serta menyerukan akidah dan syariat selain Islam seperti yang dilakukan oleh kalangan sekularis.
Akan tetapi, batil dikarenakan propaganda tersebut melarang muslim yang terikat dengan hukum syarak dan paham akan agamanya mengambil peran dalam memperbaiki masyarakat dengan dasar hukum-hukum Islam. Padahal, seperti disebutkan dalam hadis-hadis terdahulu, hal ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Begitu pula propaganda itu digunakan untuk menutup-nutupi kesesatan mereka dari mata masyarakat umum. Politik seharusnya dikembalikan pada aturan-aturan Islam hingga politik kembali kepada maknanya yang mulia, yakni mengatur, memperbaiki, mengurusi, dan memberi petunjuk. Wallahualam bissawab. [Dara]