Stunting Merebak Mahasiswa Bergerak, Seberapa Berdampak?
OpiniJika solusi terbaik itu hanya dengan Islam, maka mahasiswa menjadi garda terdepan dalam mengisi ruang kajian Islam kafah dan siap dibina dengannya.
Sebab kata Imam Asy-Syafi’i, kemuliaan pemuda itu terletak pada ilmu dan ketakwaannya.
__________________________________
Penulis Intifada Birul Umaroh
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Back to Muslim Identity Jember
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) ke-64 pada 25 Januari lalu, Indonesia harus berefleksi. Negeri elok nan teramat kaya namun masih dihiasi dengan kabar buruk kondisi SDMnya.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 persentase angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi yakni 21,6% atau berarti 1 dari 5 anak Indonesia mengalami stunting.
Dari persentase hasil survei, memang terjadi penurunan angka stunting dari tahun sebelumnya (24,4%), namun masalah stunting ini masih cukup memprihatinkan. Dikutip dari laman kemenkopmk.go.id, ternyata risiko terjadinya stunting meningkat sebesar 1,6 kali dari kelompok usia 6-11 bulan ke usia 12-23 bulan (meningkat dari 13,7% ke 22,4%).
Kondisi demikian menjadi gemuruh kekhawatiran Indonesia, bonus demografi yang dicitakan menjadi generasi emas. Akan tetapi sinyal yang nampak justru petaka jadi generasi cemas. Merebaknya problema ini, di tengah target penurunan prevalensi stunting harus dikejar setiap tahunnya tentu menjadi PR besar untuk segera diselesaikan.
Sehingga, gotong royong upaya penyelesaian dan pencegahan stunting dari berbagai sektor terus dikampanyekan, pun juga dengan agenda yang dimotori oleh mahasiswa. Pasalnya mahasiswa adalah kaum terpelajar, intelektual yang memiliki potensi dan peran besar untuk meng-influence masyarakat.
Melibatkan mahasiswa menjadi angin segar yang dinanti berdampak pada percepatan penurunan angka stunting. Kontribusinya dilakukan melalui berbagai pendekatan dengan penelitian, mengomunikasikan secara intens dan berkesinambungan terkait isu kesehatan di tengah masyarakat.
Sekretaris Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur Nyigit Wudi Amini, S. Sos., M. Sc. menyampaikan dalam Seminar Nasional Kependudukan UNESA 26 Agustus 2023 lalu, ada tiga poin pencegahan stunting, yaitu penyebaran informasi tentang stunting melalui media sosial, menjadi agen percepatan penurunan stunting, dan peduli lingkungan yang ada calon pengantin (catin), ibu hamil, dan balita.
Program mahasiswa peduli stunting diintegrasikan dalam berbagai kuliah umum, pojok kependudukan, MBKM atau KKN tematik, PKL, magang, dan berbagai program terjun ke lapang lainnya.
Sehingga seperti yang terlihat, mahasiswa berbondong-bondong turun gunung sejenak keluar dari menara gading dan terjun langsung ke tengah masyarakat. Mahasiswa melakukan berbagai program penurunan stunting dari sosialisasi, membuat aplikasi, modul, membuka rumah khusus sebagai wadah edukasi dan pelatihan masyarakat untuk membebaskan dari stunting, demo masak, penyuluhan mandiri pangan, hingga seruan penerapan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).
Tentu tidak hanya itu, inovasi dan kreativitas mahasiswa terus dikerahkan untuk mengakselerasi penurunannya. Dan benar adanya, aksi yang dilakukan mahasiswa memang berdampak pada penurunan stunting.
Akan tetapi seberapa signifikan pengaruh program mahasiswa peduli stunting terhadap penurunan stunting selama ini. Toh program tersebut sudah digagas dan digencarkan sejak beberapa tahun yang lalu, tapi faktanya penurunan stunting belum seberapa bahkan ancaman kenaikannya masih menghantui nasib buah hati.
Refleksi dan membaca kembali peta perjalanan stunting negeri surgawi ini, adalah hal penting yang harus dilakukan agar masalah segera tuntas tersolusi. Berdasarkan hasil kajian Pakar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan ibu Tri Rini Puji Lestasi, S.K.M., M.Kes. akar masalah stunting disebabkan oleh beberapa faktor.
Seperti kurangnya asupan gizi pada ibu sejak sebelum hamil, selama kehamilan, dan pada 1.000 hari pertama kehidupan anak, kesehatan ibu yang kurang, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap gizi, kondisi sanitasi dan lingkungan yang buruk, serta faktor sosial ekonomi dan ketimpangannya sehingga membatasi akses terhadap sumber daya dan kesempatan.
Jika faktor-faktor tersebut yang menjadi akar masalah, maka wajar jika berbagai program yang dikerjakan mahasiswa tidak mampu menyelesaian masalah stunting secara komprehensif. Karena sama sekali tidak menyentuh akar masalahnya.
Bagaimana tidak, jika mahasiswa melakukan kampanye edukasi secara masif ke tengah masyarakat, tapi di sisi lain bahan pokok, pangan bergizi, dan kesehatan mahal harganya. Aksi pengabdian dengan memberikan makanan tambahan, membudayakan PHBS saat mahasiswa KKN atau program lain yang hanya berapa bulan sekali. Mampukah hal tersebut memberikan dampak penyelesaian stunting jangka panjang?
Menakar dari merebaknya masalah ini, yang menjadi perkara mendasar adalah kemiskinan. Karenanya, negaralah yang harus berperan dan memprioritaskan penyelesaian persoalan ini. Negara bukan malah lepas tangan dan menggerakkan mahasiswa berkedok program pemberdayaan atau jargon saatnya mahasiswa peduli.
Begitupun mahasiswa, berkontribusi untuk negara adalah keharusan namun jangan sampai kaum intelektual digiring tanpa arah berujung ibarat mencincang air, asal bergerak tanpa tahu bagaimana akar masalah hingga cara tepat penyelesaiannya. Walhasil aksi mereka sia-sia atau lebih parah siapa yang menghasilkan piring kotor (masalah), mahasiswa yang disuruh cawe-cawe menyelesaikan alias jadi tukang cuci piringnya.
Dengan demikian, negara harus hadir menjamin pemenuhan kebutuhan dan memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat. Namun jika berharap pada negara penganut sistem demokrasi kapitalisme yang berasaskan kepentingan, hubungan penguasa terhadap rakyat adalah bisnis, negara hanya berperan sebagai regulator.
Tentu mustahil stunting juga kemiskinan dapat terentaskan. Sangat berbeda dengan sistem agung dari Allah Swt. yang pernah diterapkan selama 13 abad dan menaungi dua per tiga dunia, telah terbukti keberhasilannya menjamin kesejahteraan rakyat. Sebagaimana pengakuan Will and Ariel Durant dalam bukunya berjudul The Story of Civilization.
Islam adalah agama sempurna yang Allah Swt. turunkan. Meliputi pengaturan sistem politik sehingga penguasa menjaga amanah untuk melayani urusan rakyat. Juga sistem ekonomi yang menyediakan jaminan langsung dan tak langsung, sehingga rakyat dapat terjamin kebutuhan primer dan kemudahan akses pemenuhan kebutuhan.
Oleh karena itu, ini saatnya mengembalikan muruah mahasiswa sebagai intelektual yang memiliki peran sebagai sosial kontrol dan pemimpin perubahan. Mahasiswa harus memiliki agenda pencerdasan akal pikiran, mengkaji akar masalah hingga solusi sahih setiap problem kehidupan.
Hingga tidak hanya melakukan aksi asal-asalan atau kritik belaka, melainkan memberi solusi tuntas untuk negeri. Jika solusi terbaik itu hanya dengan Islam, maka mahasiswa menjadi garda terdepan dalam mengisi ruang kajian Islam kafah dan siap dibina dengannya. Sebab kata Imam Asy-Syafi’i, kemuliaan pemuda itu terletak pada ilmu dan ketakwaannya.
Mahasiswa juga harus berdaya dengan aktif mendorong penguasa untuk mengembalikan peran sentralnya sebagai pelayan urusan umat dengan amar makruf nahi mungkar. Serta menyibukkan diri dalam agenda pencerdasan masyarakat, menjadi corong tersebarkannya kesempurnaan Islam.
Hingga mampu membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kembali pada penerapan aturan Allah Swt. dalam kehidupan. Wallahualam bissawab. [SJ]