Harga Beras Melambung Tinggi, Kedaulatan Pangan Terpenuhi?
Analisis
Persoalan pangan merupakan problem sistemis yang berpangkal dari penerapan sistem pengelolaan pangan yang kapitalistik neoliberal
Negara hadir sebagai regulator dan fasilitator bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat
____________________
Penulis Seddwi Fardiani, S.Pt
Kontributor Media Kuntum Cahaya, Staf Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Sumenep
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Persoalan pangan adalah hal yang paling mendasar dan menentukan nasib suatu negara. Ketergantungan pangan dapat berarti terbelenggunya kemerdekaan negara terhadap suatu kelompok, negara lain, atau kekuatan ekonomi lainnya. Sedangkan kedaulatan pangan adalah hak negara dalam menentukan kebijakan pangan secara mandiri pangan untuk menjamin hak atas rakyat.
Sangat disayangkan, Indonesia saat ini belum mencapai kedaulatan pangan. Padahal Indonesia termasuk negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang luas dan diharapkan mampu memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat secara menyeluruh. Luas panen padi pada 2023 diperkirakan sekitar 10,20 juta ha (BPS, 16/10/2023). Namun nyatanya, hingga saat ini Indonesia belum terbebas dari impor, terlebih dari sektor pertanian.
Melambungnya Harga Beras Di Tengah Gempuran Impor
Setahun terakhir harga beras terus mengalami kenaikan. Mahalnya harga beras dan kebutuhan pokok lainnya menyusahkan setiap orang karena beras adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat.
Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas) rata-rata harga beras kualitas premium pada Jumat 23 Februari 2024 , terpantau naik 0,06% menjadi Rp16.280 per kilogram. Sedangkan harga beras kualitas medium turun tipis 0,07% menjadi Rp14.220 per kilogram. Harga ini masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No. 7/2023 sebesar Rp10.900-Rp11.800 per kilogram untuk beras medium dan Rp13.900-Rp14.800 per kilogram untuk beras premium.
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat sepanjang 2023 pemerintah melakukan impor beras sebanyak 3,06 juta ton, meningkat 613,61% dibandingkan 2022. Dari sekian banyak beras yang diimpor, ditargetkan sebesar 2 juta ton akan datang pada bulan Januari-Maret 2024.
Namun yang menjadi pertanyaan saat ini mengapa harga beras tak kunjung mereda di tengah gempuran impor yang jor-joran dari pemerintah? Produksi beras pada 2023 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,90 juta ton (BPS, 16/10/2023), sedangkan tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia diperkirakan sekitar 35,3 juta ton per tahun. Secara hitungan jumlah pasokan dari produksi dan impor harusnya sudah mampu mencukupi kebutuhan.
Sengkarut Persoalan Pangan di Indonesia
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah di antaranya melalui operasi pasar, pendistribusian beras SPHP hingga pembagian bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai kebijakan belum menyentuh akar permasalahan karena masih bersifat teknis.
Lebih dari itu, persoalan pangan merupakan problem sistemis yang berpangkal dari penerapan sistem pengelolaan pangan yang kapitalistik neoliberal. Negara hadir sebagai regulator dan fasilitator bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Sementara, pengurusan berbagai urusan rakyat diserahkan kepada korporasi.
Belum terwujudnya ketahanan bahkan kedaulatan pangan yang terjadi saat ini penyebabnya sangatlah kompleks, yaitu :
Pertama, belum optimalnya negara dalam rangka memproduksi bahan pangan secara mandiri akibat masifnya alih fungsi lahan menjadi area pemukiman, industri dan infrastruktur yang menyebabkan lahan untuk produksi pertanian semakin minim.
Kedua, kurangnya dukungan negara pada petani dalam hal penyediaan benih unggul, ketersediaan pupuk, sarana produksi pertanian (Saprotan) dan tidak adanya jaminan perlindungan harga hasil pertanian khususnya beras. Membuat petani harus berjuang sendiri di tengah lemahnya perekonomian. Hal ini menjadikan regenerasi petani muda kian berkurang akibat rendahnya posisi tawar petani di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, rusaknya rantai distribusi beras yang hari ini dikuasai oleh sejumlah pengusaha (ritel modern). Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang menjunjung paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas meniscayakan muculnya korporasi-korporasi raksasa yang bisa mengakses modal sangat besar. Sehingga, bisa menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi-distribusi-konsumsi bahkan termasuk importasi. Penguasaan distribusi beras semacam ini memungkinkan terjadinya permainan harga, penahanan pasokan (monopoli) oleh pelaku usaha, yang merugikan petani. Ditambah lagi adanya larangan bagi petani untuk menjual langsung ke konsumen.
Islam Solusi Persoalan Pangan
Dalam Islam, tanggung jawab pengaturan pangan berada sepenuhnya di pundak negara. Negara dengan menggunakan sistem Islam menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok sebagai satu kewajiban negara individu per individu. Rasulullah saw. telah menegaskan dalam sabda Beliau bahwa, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Oleh karena itu, dilarang menyerahkan penguasaan kepada korporasi dalam hal pengaturan pangan.
Beras sebagai kebutuhan pokok merupakan salah satu komoditas strategis yang wajib dikelola oleh negara mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi (hulu ke hilir). Negara akan memastikan lahan-lahan produktif tidak dialihfungsikan untuk keperluan lain, termasuk bisnis yang jelas-jelas hanya menguntungkan segilintir orang. Dalam hal memotivasi masyarakat agar berdaya, maka Negara akan memberikan regulasi bagi siapapun yang menghidupkan tanah-tanah mati yakni tanah yang tidak dikelola oleh pemiliknya selama 3 tahun untuk diberikan kepada mereka yang mampu dan bersedia mengelolanya.
Islam juga mengatur perdagangan dalam negeri termasuk beras. Negara tidak akan melakukan pematokan harga dan membiarkan harga ditetapkan oleh permintaan dan penawaran di pasar. Disamping itu, Negara akan meningkatkan hasil produksi pertanian dengan mengadopsi teknologi yang mampu memberikan hasil yang lebih baik, sehingga tersedia pasokan beras dalam negeri baik untuk konsumsi maupun cadangan pangan negara yang memadai. Dengan begitu negara mampu mengendalikan harga agar tetap stabil.
Adapun dalam hal pendistribusian hasil pertanian, negara akan menyediakan infrastruktur yang mendukung dengan membangun berbagai prasarana jalan, sarana transportasi, pasar yang layak dan sebagainya. Hal ini akan memudahkan petani mendistribusikan hasil pertaniaannya kepada konsumen. Selain itu, negara akan memotong rantai penjualan, serta melindungi harga produk pertanian yang mampu memberi keuntungan bagi semua pihak. Artinya, petani tidak merasa dirugikan, sedangkan konsumen mampu membeli karena harganya cukup terjangkau. Hal ini akan dapat meningkatkan taraf hidup petani dan regenerasi petani muda akan terus berlanjut karena profesi sebagai petani tidak lagi dipandang sebelah mata.
Islam juga melarang adanya praktek monopoli, menimbun beras dan komoditas lainnya, riba, praktik tengkulak, kartel dan sebagainya. Disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi dalam Islam. Dalam sebuah hadits dari Imam Thabarani dinyatakan bahwa, ”Barangsiapa mencampuri urusan harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan harganya atas mereka, maka sungguh Allah akan menempatkan dia di suatu tempat di neraka pada hari kiamat nanti” .
Dengan diterapkannya sistem politik ekonomi Islam akan mampu mengentaskan negara ini dari ketergantungannnya terhadap impor produk-produk kebutuhan pokok seperti beras dan lainnya. Bahkan, egara akan mampu mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan, karena dalam hal ini negara berperan sebagai pengatur dan pengayom seluruh urusan umat. Pemimpin yang terpilih sangat memahami akan tanggung jawabnya yang kelak akan dimintai pertanggunggajawabannya di akhirat. Sehingga, amanah yang berat tersebut benar-benar dilaksanakan dengan berbagai upaya yang sungguh-sungguh. Wallahualam bissawab. [Dara]