Jalan Panjang Menuju Indonesia Bebas TBC
Opini
Dalam paradigma Islam, negara mempunyai peran penting dalam menjamin kesehatan masyarakat, termasuk melalui upaya eliminasi TB
Hal ini dikarenakan kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia yang wajib terpenuhi
______________________________
Penulis Etik Rosita Sari
Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sampai saat ini, tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman serius bagi dunia kesehatan. TBC sendiri merupakan penyakit menular yang menyasar paru-paru dan disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis.
Bakteri ini menular melalui udara sehingga efek penularannya pun cenderung lebih cepat dan masif. Tak tanggung-tanggung, WHO bahkan telah mengategorikan TBC sebagai pembunuh nomor dua setelah COVID-19.
Sementara itu, menurut data dari Global Tuberculosis Report 2022, Indonesia tercatat menempati peringkat kedua negara pengidap TB tertinggi di dunia. Padahal, di periode sebelumnya Indonesia menduduki peringkat ketiga. Masih menurut data yang sama diperkirakan temuan kasus insiden TB tahun 2022 telah mencapai 354 per 100.000 penduduk.
Kondisi mengkhawatirkan tersebut menuai komentar dari beberapa pakar. Erlina Burhan dokter spesialis paru sekaligus guru besar FKUI, dalam pidato pelantikan guru besarnya mengatakan bahwa jumlah kematian akibat TB telah menginjak 16 orang per jam.
Padahal, Indonesia dikejar target eliminasi TB pada tahun 2030 dengan jumlah angka kejadian 65 per 100.000 penduduk dan angka kematian sebesar 6 orang per 100.000 penduduk. Jika dibandingkan dengan kasus insiden faktual, untuk meraih target tersebut tentu memerlukan jalan yang tak singkat.
Erlina menekankan jalan panjang ini menuntut kolaborasi dan kerja sama semua pihak, bukan hanya dari petugas kesehatan saja. Hal ini dikarenakan mayoritas pemicu TB justru datang dari masalah non kesehatan, seperti kemiskinan, padatnya lingkungan perumahan, rendahnya kesadaran masyarakat, sanitasi lingkungan, gizi, dan lain sebagainya, di mana persentasenya mencapai 70%. (Kompas, 18/2/2024)
Sayangnya saat ini, pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab cenderung bergerak sendiri-sendiri. Padahal, untuk mencapai target eliminasi TB di tahun 2030, tindakan komprehensif multisektor mulai dari pencegahan hingga pengobatan harus berjalan masif dan terstruktur secara searah, lanjut Erlina.
Pemicu TB yang tak hanya berasal dari faktor medis membuat program eliminasi TB tak akan berhasil jika intervensi yang diberikan hanya seputar aspek kesehatan. Realitanya, meskipun obat dan vaksin TB telah tersedia, insiden TB tetap tinggi bahkan semakin bertambah dari waktu ke waktu. Maka, penting rasanya memberikan porsi fokus pada faktor nonmedis yang pada kenyataannya tak sedikit kontribusinya dalam penularan TB. Kemiskinan, misalnya.
Sebuah data dari WHO menyebut adanya korelasi antara kemiskinan dan TB. Negara-negara dengan angka gross domestic product (GDP) tinggi cenderung mempunyai prevalensi TB yang rendah.
Amerika, negara yang mempunyai angka GDP USD 63.593 tersebut berhasil menekan prevalensi TB hingga mencapai persentase yang sangat rendah. Lain halnya dengan Indonesia, dengan GDP USD 4.919, negara ini masih memiliki prevalensi TB yang cenderung tinggi dibandingkan negara lainnya.
Kemiskinan dapat memengaruhi lingkungan yang memegang peranan besar dalam penyebaran virus TB. Melejitnya harga properti membuat masyarakat miskin tak mempunyai kesempatan mendapatkan rumah dan lingkungan tempat tinggal secara layak.
Walhasil, mau tak mau, mereka terpaksa tinggal dalam hunian kumuh yang jauh dari standar kesehatan dengan sanitasi rendah, akses air bersih yang minim, pengelolaan limbah buruk hingga jarak antar rumah yang terlalu rapat.
Tak jarang hal tersebut dibarengi dengan asupan gizi yang buruk, pendidikan kesehatan yang rendah serta minimnya akses kesehatan terdekat. Selain faktor-faktor tersebut, kualitas udara yang buruk, polusi, dan tingginya pergerakan penduduk antar wilayah juga dapat memicu masifnya penyebaran penyakit TB.
Faktanya, ke semua faktor tersebut sampai saat ini masih menjadi tantangan bagi Indonesia, sehingga tak heran hal itu berimbas pada tingginya penularan TB. Oleh karena itu, alih-alih melulu mengandalkan perubahan dari sektor kesehatan, pemerintah seharusnya mulai beralih pada perubahan mendasar untuk mewujudkan cita-cita eliminasi TB.
Perubahan mendasar yang dimaksud dapat tercapai melalui perubahan paradigma. Saat ini paradigma yang banyak diadopsi adalah paradigma kapitalistik yang meniscayakan berlepas tangannya negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap rakyat, termasuk dalam sektor kesehatan. Alhasil, liberalisasi kesehatan tak pelak terjadi dan berdampak pada sulitnya akses kesehatan bagi masyarakat.
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, peran sentral negara sebagai pemegang tanggung jawab kebutuhan masyarakat sangat diperlukan. Negara harus hadir sebagai ra’in yang menjamin hajat hidup umat terpenuhi dengan baik, alih-alih hanya sebagai regulator dan fasilitator yang mendukung masyarakatnya mengusahakan kebutuhannya sendiri.
Dalam paradigma Islam, negara mempunyai peran penting dalam menjamin kesehatan masyarakat, termasuk melalui upaya eliminasi TB. Hal ini dikarenakan kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia yang wajib terpenuhi.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman pada keluarganya, dia memiliki makanan pokoknya pada hari itu, seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah, no. 4141)
Upaya yang diterapkan negara yang mengadopsi paradigma Islam tentu tak lepas dari penerapan syariat Islam yang hadir sebagai solusi bagi seluruh problematika masyarakat, termasuk dalam melakukan eliminasi TB.
Upaya-upaya yang dilakukan tersebut bukan hanya sekadar bersifat pragmatis apalagi parsial, tetapi mencakup upaya komprehensif melalui peran multisektor sehingga cenderung lebih efektif.
Dalam aspek ekonomi, negara akan menjamin kesejahteraan setiap individu, baik melalui tersedianya lapangan pekerjaan, maupun jaminan terhadap layanan kesehatan sehingga rakyat dapat memiliki tempat tinggal yang layak dan mampu mencukupi kebutuhan gizi dengan baik.
Dalam aspek pembangunan tata ruang, negara bertanggungjawab pada penataan ruang hidup sesuai prinsip syariat sehingga dihasilkan lingkungan yang bersih dan sehat. Negara akan mengatur dan memberi sanksi tegas saat pembangunan perumahan, kantor maupun gedung-gedung lain terbukti memberikan mudarat bagi masyarakat, seperti menghasilkan limbah, polusi, dan lain sebagainya.
Selain itu, pada aspek kesehatan, negara juga wajib menyediakan akses layanan kesehatan terbaik dengan peralatan tercanggih dan SDM yang mumpuni. Hal ini harus didapatkan secara cuma-cuma karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi.
Tak hanya itu, dalam rangka mewujudkan kesehatan yang optimal, khususnya terkait pencegahan penularan TB, negara akan mendukung dan memfasilitasi riset-riset terkait dengan menyediakan dukungan politik, SDM serta finansial. Edukasi masyarakat terkait pencegahan TB, promosi hidup bersih dan sehat juga akan terus digencarkan untuk menjamin masyarakat memahami bahaya TB dan pentingnya hidup sehat.
Terakhir, negara dan penguasa berikut aparaturnya berupaya memastikan setiap masyarakat hidup sehat dengan melakukan patroli ke berbagai penjuru wilayah. Sehingga saat didapatkan individu sakit, penanganan optimal dapat diberikan secara cepat dan tanggap. Wallahualam bissawab. [SJ]