Krisis Al-Aqsha dan Sikap Dunia, Masihkah Peduli?
Opini
Badai Al-Aqsha tidak lagi menggugah hati mereka
Padahal saudara muslim mereka sungguh butuh bantuan, bukan hanya seruan dan kecaman yang pada akhirnya akan hilang bagai debu
______________________________
Penulis Zulhilda Nurwulan
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kejahatan Zionis terhadap Palestina terus bergulir. Empat bulan sudah berlalu bahkan berita tentang kesedihan Palestina sudah banyak diturunkan dari media. Banyak orang yang sudah abai terhadap kondisi warga Palestina, suara teriakan yang dulu menggema di seluruh penjuru negeri kini sudah samar-samar terdengar.
Aksi boikot sudah tak berlanjut, orang-orang telah kembali pada kondisi awal seolah tak ada lagi pedih, sedih, sesak yang dialami warga Palestina. Al-Aqsha masih bergejolak, perempuan dan anak-anak masih berteriak.
Perempuan dan anak-anak menjadi target utama dalam serangan yang dilakukan Zionis terhadap warga Palestina. Dr. Mahmudah. S. S., M.Hum., dosen Sastra Arab Universitas Gadjah Mada saat ditemui di sela-sela waktu kerja beliau, Jumat (11/11/2023) mengungkapkan bahwa perempuan dan anak-anak selalu menjadi korban utama dalam perang.
Disebabkan kondisi mereka yang berada di rumah, sehingga lebih rentan menjadi korban ledakan bom atau penghancuran rumah. Sementara laki-laki yang banyak bekerja di luar rumah lebih terhindar dari penyerangan di rumah.
Tambahnya, perempuan dan anak-anak bisa saja ikut dalam perang untuk membantu urusan medis dan penyediaan makanan. Namun menurutnya saat ini hal itu belum terlalu urgen untuk dilakukan. Mengingat sangat berbahayanya jika perempuan keluar dari ruang domestik mereka ketika perang sedang bergejolak.
Nasionalisme, Penyekat Umat!
Krisis yang terjadi di Al-Aqsha adalah PR bersama bagi seluruh umat manusia. Tidak hanya para korban, warga Palestina melainkan menjadi tanggung jawab bagi siapa pun yang masih punya nilai kemanusiaan, setidaknya masih merasa diri bagi manusia.
Al-Aqsha butuh uluran tangan terlebih kepada saudara sesama muslimnya yang berada di berbagai belahan dunia mana pun. Masih adakah Al-Aqsha di hati kaum muslimin? Masih sakitkah hati kita melihat perempuan, anak-anak terus menjadi korban kebiadaban para penjajah Israel?
Nasionalisme telah berhasil menghapus rasa empati manusia sesama muslim. Nasionalisme berhasil membangun tembok penyekat bagi negeri-negeri muslim dunia. Lihat betapa kejinya perlakuan negeri-negeri muslim di sekitar Al-Aqsha seperti Mesir, Arab Saudi, dan Yordania yang enggan membantu Palestina.
Dilansir dari Sindonews.com, 17 Oktober 2023, setidaknya ada lima alasan negara-negara tetangga Palestina enggan membantu. Yakni kepentingan keamanan negara sendiri, hubungan diplomatik dengan Israel, perbedaan politik dan ideologi, tekanan internasional, dan kepentingan regional.
Nasionalisme, sebuah ide Barat yang diwariskan di seluruh negara termasuk negeri mayoritas muslim adalah racun mematikan dengan dalih persatuan. Padahal menekan tiap-tiap negeri tetap fokus pada urusan dapurnya masing-masing. Sehingga tutup mata dari penderitaan negara lain yang masih bagian dari saudara-saudara mereka.
Nasionalisme telah memutuskan makna kebersamaan, persaudaraan dan saling kasih antarsesama manusia. Inilah tujuan dari ide nasionalisme. Kecintaan terhadap nasionalisme ini membunuh rasa empati, kemanusiaan dan sikap peduli. Sehingga muncul sikap abai, tak acuh dan tamak terhadap sesama manusia.
Parahnya, sikap nasionalisme malah tumbuh subur dan sangat langgeng di negeri mayoritas muslim. Sementara di negeri-negeri minoritas muslim seperti Inggris, Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya sikap peduli terhadap Palestina lebih terasa dan lebih riil.
Al-Aqsha Butuh Aksi Nyata Bukan Sekadar Seruan
Hampir memasuki hari ke 160 badai Al-Aqsha belum juga reda. Serangan demi serangan terus digencarkan para penjajah Zionis bahkan di saat bulan Ramadan. Umat Palestina sudah berpuasa dari lima bulan terakhir dan belum juga berbuka.
Sebagian umat muslim dunia mungkin sudah lelah melihat berita tentang Palestina, sehingga muncul rasa ingin menyerah untuk terus menyerukan pembebasan atas Palestina. Namun ternyata, kini pihak Zionis pun tengah berada dalam situasi panik.
Berdasarkan analisis seorang militer Yahudi, Alon Ben David mengumpamakan tentara Zionasi seperti telah kalah berjudi. Menurutnya, para tentara Zionasi kini telah kekurangan amunisi, kekuatan dan mendapat tekanan internasional. Berdasarkan berita ini, sebuah angin segar bagi kaum muslim untuk bersatu menolong saudara-saudaranya di Palestina. Namun apa yang terjadi?
Pemimpin muslim sedang sibuk dengan urusan negara masing-masing. Seruan demi seruan tidak lagi terdengar apalagi tindakan militer. Badai Al-Aqsha tidak lagi menggugah hati mereka. Padahal saudara muslim mereka sungguh butuh bantuan, bukan hanya seruan dan kecaman yang pada akhirnya akan hilang bagai debu.
Negeri-negeri muslim bukan negeri yang lemah, sejatinya mereka memiliki peralatan militer yang lengkap dan pasukan militer yang kuat. Sayangnya, negara-negara bangsa memang telah membuat mereka jauh dari visi persaudaraan Islam. Pasukan militer yang dikirim bukan sebagai pejuang, melainkan sebagai pembantu, pelayan medis dan untuk dapur umum di peperangan.
Bukan tidak dibutuhkan, tetapi tenaga mereka di bidang perang sangat urgen untuk kondisi Palestina saat ini. Kesadaran ukhuwah Islamiyah kini semakin menipis. Ramadan kali ini semoga bisa menjadi momentum membangun kembali kesadaran ukhuwah Islamiyah yang telah lama menghilang. Wallahualam bissawab. [SJ]