Kurang Tanggung Jawab, Sehingga Lemah Kepemimpinan
Opini
Penyebab lainnya ialah rusaknya rantai distribusi beras yang mana dikuasai oleh sejumlah pengusaha (ritel)
Hal ini akan berdampak adanya permainan harga
______________________________
Penulis Rita Novita
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Muslimah Peduli Umat
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Lonjakan harga beras tengah menjadi perbincangan hangat yang dihadapi masyarakat. Kenaikan harga beras pasca pemilu 2024 ini diduga sebagai kenaikan tertinggi dalam sejarah kepemimpinan era Presiden Jokowi. Sehingga terjadi kelangkaan di berbagai kota. Tak hanya terjadi di Jakarta, seperti di kabupaten Bandung yang harganya lebih tinggi dari biasanya.
Dilansir dari idxchannel.com (19/02/2024), salah seorang agen beras yaitu Rizal mengatakan bahwa banyak faktor, salah satunya jumlah pasokan dari produsen yang berkurang. Kemudian agen beras pun menduga kelangkaan tersebut karena musim kampanye pilpres dan pileg yang memborong beras untuk bantuan sosial (Bansos).
Saat ini memang bukan waktunya panen raya dan kesulitan para pedagang untuk mendapatkan pasokan beras pun sempat tersendat sejak Januari 2024. Agen pun mendatangkan beras dari para petani di Garut, Jawa Barat. Ia mengatakan sebenarnya ini terjadi karena efek kemarau panjang dan untuk panen raya juga biasanya terjadi di Bulan Maret, April dan setelahnya. Minggu (18/2/2024)
Hal ini seharusnya tidak terjadi di negara yang penduduknya menjadikan beras sebagai makanan pokok. Sesungguhnya ada beberapa faktor atau multifaktor berkaitan dengan beras mahal dan langka. Di antaranya tanah pertanian yang terus berkurang, masalah sumber daya air, ketersediaan modal, sumber daya manusia, teknologi, penimbunan, dan mekanisme pembentukan harga.
Berkaitan dengan sumber daya air, meski pemerintah telah membangun intrastruktur seperti waduk, tetapi tidak signifikan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Baik berupa kekeringan atau kebanjiran.
Termasuk persoalan mekanisme pembentukan harga. Harga beras medium dan premium saat ini sudah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang tak bisa dihindari. Mekanisme pembentukan harga ini tidak tepat karena tidak memberikan kesejahteraan petani.
Penyebab lainnya ialah rusaknya rantai distribusi beras yang mana dikuasai oleh sejumlah pengusaha (ritel). Hal ini akan berdampak adanya permainan harga. Yang mana akan berpotensi terjadinya penahanan pasokan dan pemonopolian oleh pelaku usaha ini yang tentu akan merugikan berbagai pihak terutama petani.
Hal ini tentu tidak lepas dari peranan penguasa yang seharusnya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan ini hingga ke akar. Namun dari fakta yang terjadi saat ini, di mana tak ada satu pun solusi tuntas yang diberikan penguasa saat ini.
Maka kita bisa melihat ketidakmampuan, serta lemah dalam kepemimpinan yang tidak sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan pangan. Termasuk sistem tata kelola tanah-tanah pertanian. Akibatnya masyarakat yang menerima dampaknya. Harga beras semakin melonjak mahal semakin membebani rakyat terlebih rakyat kecil dari menengah ke bawah.
Kalau dibandingkan dengan ekonomi syariat di dalam Islam, tanah pertanian itu tidak boleh dibiarkan menganggur. Tanah itu akan diambil alih oleh negara dan akan diserahkan kepada orang yang mampu mengelola tanah pertanian. Negara akan menyediakannya, sehingga petani akan mudah mengakses modal nonribawi.
Kemudian negara akan membenahi semua faktor yang menyebabkan harga pangan mahal. Mulai dari larangan penimbunan barang, mekanisme, pembentukan harga, permodalan, sumber daya manusia, dan seterusnya.
Karena tugas negara adalah menjaga dan melindungi segenap rakyat. Karena terkait masyarakat tidak boleh ada beban, baik terkait pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Sehingga seluruh kepentingan umat dapat terpenuhi. Wallahualam bissawab. [SJ]