Memutus Mata Rantai Kekerasan di Pesantren
Opini
Butuh kehadiran negara dengan menerapkan regulasi untuk memutus mata rantai kekerasan di pesantren dan satuan pendidikan yang lainnya
Menerapkan hukum had bagi pelaku kekerasan
______________________________
Penulis Mia Yoonie
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Kreator Digital
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ibu mana yang tak sedih hatinya, ketika menitipkan anaknya di pondok pesantren justru berakhir duka. Kesedihan menimpa Ibu Suyanti (38), saat kasus kekerasan di pesantren yang berujung pada kematian putranya.
Bintang Balqis Maulana (14), seorang santri pondok pesantren di daerah Kabupaten Kediri Jawa Timur, meninggal dunia dalam kondisi tubuh penuh luka lebam, dan terdapat luka bakar, sundutan rokok di kaki serta luka menganga di bagian dada.
Kondisi korban diketahui setelah keluarga memaksa membuka kain kafan korban, karena melihat ada ceceran darah yang mengalir dari keranda. Semula keterangan dari pengantar jenazah mengatakan korban meninggal dunia karena jatuh terpeleset di kamar mandi. (surabaya.kompas.com, 26/02/24)
Masih dikutip dari surabaya.kompas.com, sebelumnya, ibu korban santri Pesantren AI Hanifiyyah, Mojo, Kediri, yang tewas dianiaya itu bercerita bahwa anaknya sempat mengirimkan pesan untuk meminta tolong dan dijemput. Namun, sang ibu meminta Bintang untuk bersabar hingga bulan puasa. Sayangnya, Bintang pulang lebih cepat sebelum puasa tiba dalam keadaan sudah meninggal dunia.
Dilansir dari kompas.com, kini polisi telah menetapkan 4 santri sebagai tersangka, mereka adalah MN (18) pelajar kelas 11 asal Sidoarjo, MA (18) pelajar kelas 12 asal Nganjuk, AF (16) asal Denpasar, serta AK (17) asal Kota Surabaya. Polisi menduga, peristiwa penganiayaan ini bermula karena adanya kesalahpahaman, antara pelaku dengan korban.
Di awal tahun 2024 setidaknya sudah ada 3 kasus penganiayaan di lingkungan pondok yang berujung pada kematian. Sebelumnya, Andi Alfian Rezky (14), santri Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Al Imam Ashim, yang berada di Kecamatan Manggala, Makassar Sulawesi Selatan. Korban meninggal setelah dianiaya seniornya di perpustakaan. Sempat selama 5 hari dirawat di rumah sakit. (liputan6.com, 20/02/24)
MAR (14), santri korban pengeroyokan belasan teman sesama santri di Pondok Tahsinul Akhlaq, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Karena kesal korban diduga mencuri uang dan dikeroyok tengah malam dan jatuh pingsan hingga koma kemudian meninggal dunia Minggu (7/1/2024) pagi di ruang ICU RSUD Ngudi Waluyo. (kompas.com, 07/01/24)
Akar Masalah Kekerasan di Lingkungan Pondok
Sebenarnya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tidak hanya terjadi di pondok pesantren saja, tetapi sering kali juga terjadi di satuan pendidikan umum dan kedinasan. Pondok pesantren yang harusnya dijadikan sebagai tempat menimba ilmu agama, mencetak lahirnya para generasi ulama, serta di awal kemunculannya pun pondok pesantren menjadi wasilah penyebaran Islam di Indonesia. Namun faktanya hari ini, pondok pesantren telah mengalami banyak pergeseran.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pondok pesantren. Pertama, kondisi ini tidak terlepas dengan kultur budaya senioritas dan junior atau adanya relasi kuasa.
Kakak kelas merasa kuat, hebat dan berkuasa sehingga melakukan kekerasan kepada adik kelas atau yang lebih lemah. Dan, hal ini tidak terjadi secara kebetulan melainkan telah terjadi secara turun temurun yang diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Kedua, problem kurikulum pendidikan hari ini yang hanya menitikberatkan pada kecerdasan intelektual, namun mengesampingkan pendidikan spiritual (emotional quotient), kemampuan berpikir secara jernih dan mendalam (mustanir) dalam menimbang dan memutuskan ketika seseorang melakukan amal perbuatan termasuk menyakiti saudara seiman. Maka, kelak akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Ketiga, lemahnya pengawasan yang membuat guru sering kali kecolongan terhadap kasus-kasus kekerasan dengan alasan menertibkan para junior. Sehingga para pengasuh pondok dan guru baru mengetahui setelah jatuh korban.
Di sisi lain, mereka tidak selalu 24 jam full mengawasi dan mendampingi para peserta didik atau santri. Rendahnya kebijakan sekolah yang menyebabkan pondok atau sekolah gagal menciptakan rasa aman dan ramah pengawasan disiplin di satuan pendidikan. (Kompas, 10/10/2023)
Kultur budaya senioritas, kurikulum pendidikan yang hanya menitikberatkan pada knowledge, serta lemahnya kontrol pengawasan dan kebijakan. Tidak bisa dilepaskan karena aturan yang diterapkan hari ini bernapaskan sistem sekularisme.
Anak-anak bermental premanisme, mudah sekali mem-bully, menyakiti fisik orang lain adalah hasil dari didikan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Wajar jika ada anggapan bahwa agama hanya menuntun dalam perkara ibadah mahdhah saja, tidak menuntun dalam masalah perilaku sehingga anak-anak berperilaku sesuka hatinya.
Butuh kehadiran negara dengan menerapkan regulasi untuk memutus mata rantai kekerasan di pesantren dan satuan pendidikan yang lainnya. Yaitu menerapkan hukum had bagi pelaku kekerasan agar mereka jera dan memberikan pelajaran bagi yang lainnya jika ingin melakukan hal serupa akan berpikir berulang kali.
Islam telah memberikan kompensasi dari kemudaratan yang menimpa seseorang berupa diyat (denda) atas orang yang terbunuh dan diyat (denda) atas luka dilukai orang lain, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 92,
"Siapa saja yang membunuh seorang mukmin karena keliru hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya."
Imam an-Nasa'i telah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman. Surat itu dikirim melalui Amru bin Hazim ra., yang di dalamnya tertulis,
"Di dalam (pembunuhan) jiwa itu ada diyat sebesar 100 ekor unta." (HR. An-Nasa'i).
Selain menerapkan hukum had, negara juga harus melakukan sortir terhadap media. Melarang tayangan-tayangan yang berbau kekerasan, seperti tontonan dan bacaan. Semua konten yang berada di tengah masyarakat seluruhnya adalah konten edukasi yang memberikan pembelajaran dan pencerdasan serta makin mendorong ketakwaan individu.
Lingkungan dan sekolah memiliki kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam. Bahwa pola pikir dan pola sikap harus senantiasa terikat pada aturan Islam. Sehingga, lingkungan dan sekolah akan menciptakan rasa aman dan nyaman. Tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di rumah dan masyarakat.
Hanya dengan merealisasikan hal-hal tersebut mampu memutus mata rantai kasus kekerasan di lembaga pendidikan dengan menerapkan syariat Islam secara kafah tanpa pernah lelah melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Wallahualam bissawab. [SJ]