Penderitaan Perempuan di Balik Kenaikan Indeks Pemberdayaan Gender
Analisis
Inilah bukti bahwa peningkatan indeks pemberdayaan gender tidak berkorelasi dengan kesejahteraan perempuan
Sebaliknya justru membuat perempuan menderita dan terbebani
______________________________
Penulis apt. Siti Nur Fadillah, S.Farm.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - "Perempuan makin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)," kata Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, Lenny N Rosalin, dalam keterangannya di Jakarta.
Lenny N Rosalin mengatakan, perempuan berdaya akan menjadi landasan yang kuat dalam pembangunan bangsa. Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan sektoral juga ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia yang semakin setara. (Antara, 06/01/2024)
Badan Pusat Statistik menyebutkan, IDG Indonesia tahun 2022 adalah 76,59. Menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2021 yaitu 76,26 dan tahun 2020 yaitu 75,57 (BPS, 2023). Tren positif ini tentu disambut hangat oleh masyarakat, tanpa memahami bagaimana dan apa yang dihitung dari IDG.
Secara teori, IDG merupakan indikator sejauh mana peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik. IDG diperoleh dari rata-rata tiga dimensi IDG yaitu,
(1) Keterwakilan di Parlemen, yang diukur dengan proporsi keterwakilan di Parlemen antara laki-laki dan perempuan; (2) Pengambilan keputusan, dihitung dari proporsi dari manager, staf administrasi, pekerja profesional dan teknisi antara laki-laki dan perempuan; (3) Distribusi pendapatan, dihitung dari upah buruh non-pertanian, laki-laki dan perempuan.
BPS kemudian merumuskan hasil analisanya ke dalam beberapa kategori, yaitu rendah IDG <50; sedang 50≤IDG<60; tinggi 60≤IDG≤80; dan sangat tinggi IDG>80. Bila melihat dari hasil statistik, maka IDG Indonesia termasuk kategori tinggi. Namun, benarkah Indeks Pemberdayaan yang tinggi tersebut benar-benar mencerminkan kesejahteraan perempuan?
Menyoal Makna Pemberdayaan Gender
Jika kita amati secara mendalam, makna di balik pemberdayaan gender adalah hanya untuk memeras perempuan. Slogan-slogan palsu mereka selalu berlandas pada keuntungan materi, seolah-olah tidak ada kebermanfaatan selain dari kekayaan.
Perempuan berdaya adalah perempuan yang mampu menyaingi laki-laki dalam hal pendapatan. Perempuan modern adalah yang memiliki karier lebih baik dari laki-laki. Perempuan maju adalah perempuan yang bekerja di luar rumah bergaya rapi dan necis.
Sedangkan, perempuan yang berada di rumah, mengurus rumah tangga, menjaga anak, dan memakan gaji suami hanya akan menjadi beban dan merendahkan derajat perempuan.
Makna dari meningkatnya indeks pemberdayaan gender juga tidak jauh dari menjadikan perempuan sebagai alat pacu ekonomi. Tiga dimensi IDG, yaitu peningkatan jumlah keterwakilan dalam parlemen, pengambilan keputusan, dan distribusi pendapatan, bukanlah indikator yang tepat untuk menilai seberapa berdaya kaum perempuan.
Dalam hal keterwakilan dalam parlemen misalnya, apakah jumlah perempuan yang meningkat di parlemen serta merta menjadikan perempuan sejahtera? Kenyataannya tidak. Keterwakilan ini hanya menjadikan perempuan dieksploitasi, bekerja siang malam, sibuk, tertekanan fisik dan psikisnya. Terlebih mereka harus meninggalkan rumah dan anak-anak, menyerahkan tanggung jawab utamanya pada orang lain yang belum tentu mampu menyelesaikannya.
Maka tak heran, masalah-masalah rumah tangga dan rusaknya generasi makin hari makin bertambah. Perceraian, KDRT, kurangnya pengasuhan ibu, dekadensi moral anak, dan lain sebagainya hanyalah segelintir dari segunung permasalahan akibat pengabaian tugas seorang perempuan.
Masalah perceraian misalkan, berdasarkan laporan statistik Indonesia, kasus perceraian di Indonesia tahun 2022 mencapai 516.334 kasus. Angka ini meningkat 15% dibandingkan 2021. Beberapa faktor utama yang mendasari adalah perselisihan, pertengkaran, permasalahan ekonomi, salah satu pihak meninggalkan, poligami, hingga KDRT (GoodStats, 2023).
Inilah bukti bahwa peningkatan indeks pemberdayaan gender tidak berkorelasi dengan kesejahteraan perempuan. Sebaliknya justru membuat perempuan menderita dan terbebani. Penyebab dari bobroknya pemahaman pemberdayaan gender ini, tidak lain adalah akibat sistem kapitalisme yang tegak di atas asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme).
Sistem ini membebaskan manusia membuat aturan sendiri, bebas berakidah, bebas berpendapat, bebas memiliki hak milik, dan kebebasan pribadi. Dari kebebasan hak milik inilah akhirnya apa pun boleh dijadikan komoditas bisnis pribadi, termasuk sumber daya milik umum.
Akibatnya 99% kekayaan negara hanya dikuasai 1% orang (konglomerat), dan 99% orang sisanya harus mengais-ngais kekayaan 1% saja. Sedangkan 99% orang ini, sebab memiliki komunitas yang besar dan modal kecil, tenaganya diperas habis-habisan, diberikan imbalan rendah, dan digiring untuk terus bekerja agar perekonomian negara tetap berjalan.
Siang malam, mereka terus memikirkan bagaimana cara untuk menambah pendapatan agar dapat menyambung hidup. Sedangkan negara dengan mudahnya, menggunakan kata ‘pemberdayaan gender’ sebagai cambuk untuk memaksa perempuan masuk dalam lingkar 99% ini.
Perempuan Berdaya dengan Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang memaknai ‘pemberdayaan gender’ sebatas materi, Islam memaknai perempuan yang berdaya adalah perempuan yang mampu menjadi tonggak peradaban. Perempuan memiliki tugas utama mengurus rumah tangga, serta menjaga kehormatan diri dan suami.
Tugas ini bukanlah tugas yang remeh dan kuno, sebaliknya justru tugas yang sangat mulia dan berat. Sebab dari rumahlah, kader-kader unggul dibentuk. Proses pembentukan kader unggul ini bukanlah sesuatu yang mudah dan rendah. Karena jika terjadi kesalahan mendidik sedikit saja, hal ini berarti menyia-nyiakan kader.
Islam mendukung perempuan untuk terus berdaya dengan berbagai mekanisme, yaitu:
Pertama, Islam menjamin kecukupan perempuan. Islam tidak pernah memaksa perempuan untuk bekerja. Hukum perempuan bekerja dalam Islam adalah mubah, selama dia mendapat izin suami serta tanggung jawab utamanya tidak ditinggalkan. Kalaupun perempuan ingin fokus pada tugas utamanya, maka suami wajib memenuhi nafkah yang cukup untuk perempuan.
Jika ada suatu kondisi di mana suami tidak ada, jalur perwalian akan berlaku. Dimulai dari ayah, kakek, paman dari jalur ayah, dan seterusnya. Terakhir jika jalur perwalian telah habis, maka negaralah yang wajib menjamin hak-hak perempuan.
Kedua, kedudukan laki-laki dan perempuan setara dalam Islam. Sejak 1400 abad yang lalu, Islam tidak pernah sekalipun diskriminatif terhadap perempuan. Kalaupun ada beberapa syariat yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut diatur berdasarkan fitrah masing-masing.
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan kondisi fisik dan psikologis yang berbeda. Jika seluruh syariat dipukul rata antara laki-laki dan perempuan, bukankah hanya akan menimbulkan masalah baru. Sebagai contoh, syariat tentang bekerja. Islam mewajibkan laki-laki dan membolehkan perempuan.
Hal ini dikarenakan fisik perempuan lebih lemah dibanding laki-laki, sehingga perempuan tidak dipaksa untuk bekerja. Selain itu, psikologis perempuan lebih tenang dan tertata, sesuai untuk ranah pendidikan dan pengasuhan anak.
Berbeda dengan laki-laki yang kurang telaten dan sabar dalam mendidik. Islam tidak memandang perbedaan adalah ketidaksetaraan. Islam tidak pernah memandang laki-laki lebih mulia dibanding perempuan. Perbedaan ini hadir untuk saling melengkapi dan saling mengisi kekurangan.
Ketiga, Islam menyediakan sistem yang mendukung perempuan untuk berkarya. Tentu telah banyak kita ketahui tokoh perempuan muslim hebat yang menorehkan karya mendunia. Kehebatan mereka tidak terlepas dari sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai Daulah. Seluruh aktivitas dalam sistem Islam, baik politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial selalu berlandaskan syariat Islam.
Berbeda dengan sistem kapitalis yang memisahkan agama dengan kehidupan, sistem pemerintahan Islam selalu menghadirkan Allah Yang Maha Pengatur dalam setiap pengambilan keputusan.
Kesempurnaan Islam akan membentuk perempuan taat syariat. Perempuan militan yang rela berjuang untuk kebangkitan umat, perempuan cerdas yang mencintai ilmu, dan perempuan visioner yang menjadikan akhirat sebagai tujuan. Bukan wanita pamrih yang mengonversi segala aktivitasnya dengan materi.
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita Barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita di sana masih saja dikekang. Wallahualam bissawab. [SJ]