PSN PIK dan BSD: Mampukah Mengantar Umat Sejahtera?
Opini
Ini adalah konsep kapitalistik yang diadopsi oleh penguasa untuk menjalankan kebijakannya
Wajar karena pemerintah menganut sekularisme sebagai landasan dalam pengambilan keputusan, tanpa melibatkan pertimbangan agama (Islam)
______________________________
Penulis Ummu Hanan
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menarik, pemerintah telah menetapkan 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) baru. Di antara proyek-proyek tersebut tercantum Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta Utara dan Bumi Serpong Damai (BSD) di Tangerang Selatan, Banten (cnnindonesia.com, 21/3/24)
PIK, terutama PIK 2, sedang dikembangkan oleh Agung Sedayu Group yang dimiliki oleh Sugianto Kusuma alias Aguan. Sementara BSD City dikelola oleh PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) di bawah Sinar Mas Land. Saat ini, posisi kepala eksekutif Sinar Mas Land dijabat oleh Franky Oesman Widjaja.
Kedua tokoh tersebut, Aguan dan Franky, juga diketahui sebagai investor di Ibu Kota Nusantara (IKN). Keduanya bergabung dalam Konsorsium Nusantara yang tengah menggarap Hotel Nusantara di ibu kota baru tersebut. Apakah penunjukan PIK dan BSD sebagai PSN berkaitan dengan peran Aguan dan Franky sebagai investor di IKN?
PSN PIK dan BSD untuk Siapa?
Menurut pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, sebaiknya PIK dan BSD tidak dijadikan PSN. Nirwono menilai bahwa kedua proyek tersebut lebih baik diserahkan kepada pengembang swasta dan dibiarkan berkembang sesuai permintaan pasar.
Dia percaya bahwa PIK dan BSD sudah mampu tumbuh sendiri tanpa harus diangkat sebagai PSN, dan meragukan niat pemerintah dalam menetapkan keduanya sebagai PSN.
Nirwono melihat hal ini sebagai respon terhadap dukungan dari pengembang PIK dan BSD terhadap proyek IKN, yang kemudian dijawab oleh pemerintah dengan menetapkan PIK dan BSD sebagai PSN.
Sebagai gantinya, Nirwono mengusulkan agar pemerintah lebih fokus dalam memperbaiki kawasan Jabodetabekpunjur dan mengembangkan kawasan metropolitan lainnya seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar, dan Manado.
Sejalan dengan pendapat Nirwono, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, juga mengakui kebingungannya terkait penunjukan PIK dan BSD sebagai PSN.
Andry menegaskan pentingnya agar penunjukan PIK dan BSD sebagai PSN tidak dipandang sebagai tukar guling, di mana pemerintah membalas dukungan dari Aguan dan Franky di IKN.
Dia juga mengekspresikan kekecewaannya jika motif pemerintah dalam menetapkan PIK dan BSD sebagai PSN hanya karena alasan terima kasih. Menurutnya, dalam menetapkan PSN, pemerintah seharusnya mempertimbangkan apakah proyek tersebut dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan mengurangi kesenjangan infrastruktur antarwilayah.
Lebih lanjut, Andry menggarisbawahi bahwa dengan status PSN, pengelola akan mendapatkan kemudahan regulasi dan fasilitas lainnya dibandingkan dengan produk lain yang tidak memiliki status tersebut.
Dia menambahkan bahwa publik tidak boleh melihat penunjukan ini sebagai bagian dari tukar guling. Di mana PSN diberikan kepada swasta hanya untuk meningkatkan keuntungan mereka tanpa memperhatikan pertumbuhan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Aroma Kapitalistik
Semua situasi di atas dapat terjadi karena pemerintah saat ini mengadopsi kapitalisme sebagai landasan utamanya. Mereka menerapkan konsep kapitalistik dalam setiap kebijakan yang dibuat, di mana pertimbangan utama adalah mencapai keuntungan.
Contohnya, UU Cipta Kerja dan UU Ibu Kota Negara (IKN) dijelaskan bertujuan untuk mendorong pembangunan demi meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun, yang sebenarnya mendapat keuntungan dari investasi dalam proyek-proyek PSN adalah bukan rakyat biasa, melainkan "rakyat pengusaha".
Misalnya, pembangunan jalan tol, yang pada kenyataannya hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki kekayaan, bisnis, atau memiliki kemampuan finansial untuk menggunakan fasilitas tersebut.
Ini adalah konsep kapitalistik yang diadopsi oleh penguasa untuk menjalankan kebijakannya. Hal ini wajar karena pemerintah menganut sekularisme sebagai landasan dalam pengambilan keputusan, tanpa melibatkan pertimbangan agama (Islam).
Selain itu, penguasa juga memandang bahwa tugas utamanya hanya sebatas membuat regulasi. Akibatnya, mereka hanya menjadi regulator yang mengeluarkan kebijakan untuk mengatur masyarakat dan korporasi. Asalkan mencapai keuntungan, maka segala hal akan dijalankan tanpa memperhatikan dampak sosial yang lebih luas.
Program Strategis Berlandaskan Prinsip Islam
Terjadi perbedaan yang signifikan dengan sistem Islam. Islam mendasarkan sistem pemerintahannya pada prinsip-prinsip akidah Islam. Pemimpin negara dalam sistem Islam membuat kebijakan sesuai dengan pedoman yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Tugas pemimpin dalam Islam adalah untuk mengurus urusan rakyat. Oleh karena itu, ketika merencanakan program strategis, tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat.
Sebagai contoh dalam hal pembangunan, negara akan mempertimbangkan banyak faktor, seperti kesuburan tanah, populasi, ketersediaan lahan hutan, dan sumber daya alam yang besar. Islam juga mengatur kepemilikan lahan bagi individu, masyarakat umum, dan negara.
Semua ini diatur sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Ketika ada proyek strategis, pemimpin dan stafnya berkewajiban untuk mengevaluasi proyek tersebut secara detail, termasuk dampak lingkungan dan sosial yang mungkin timbul.
Negara tidak akan mengalihkan proyek tersebut kepada sektor swasta, melainkan akan membangunnya di bawah pengawasan ketat dari departemen perindustrian. Biayanya akan didanai dari baitulmal, seperti pendapatan dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), jizyah, fai, kharaj, ghanimah, dan sebagainya.
Dengan demikian, tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan atau sebelah pihak merasa diuntungkan. Penting untuk dicatat bahwa hanya dengan sistem Islam, semua ini dapat terwujud sehingga kesejahteraan rakyat dapat tercapai.
Pertanyaannya, apakah PSN dalam sistem kapitalistik saat ini mampu membawa umat menuju kesejahteraan? Wallahualam bissawab. [SJ]