Prostitusi Online, Potret Kelam Masyarakat dalam Sistem Sekularisme
Surat Pembaca
Penerapan sistem kapitalisme membuat wanita yang terdesak ekonomi dan kurangnya keimanan, rela mengorbankan diri dan kehormatannya
Beratnya beban hidup menjadi bukti bahwa negara gagal dalam menyejahterakan rakyatnya
______________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Saat ini, telah banyak kasus prostitusi online yang terkuak dan meresahkan publik. Bisnis haram yang sedang marak tersebut tidak pernah tuntas. Bahkan beberapa wilayah di negeri ini malah dilokalisasi. Yang membuat lebih miris adalah kemaksiatan tersebut terjadi menjelang bulan suci Ramadan.
Di beberapa daerah yang sempat diliput media, aparat Satpol PP, Polisi, dan TNI melakukan razia yang diduga terlibat prostitusi online. Misalnya yang terjadi di Bogor, dikabarkan germo (muncikari) Dimas Tri Putra (27) telah menghasilkan uang senilai Rp300 juta, dari usahanya menjalankan bisnis prostitusi online.
Ia bahkan mempekerjakan 20 pekerja seks komersial (PSK). Atas perbuatannya, ia pun dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman 15 tahun penjara. (Tribunnews, 14/03/2024)
Di Belitung juga ditemukan 5 pasangan yang bukan suami istri terjaring razia tim gabungan polisi. Diduga telah melakukan praktik prostitusi online. (Tribunnews, 27/01/2024)
Selain itu, di Parepare juga ditemukan 10 orang laki-laki dan 22 perempuan terjaring razia. Diduga praktik prostitusi online, dan tentunya masih banyak lagi kasus yang tidak diliput media. (Tribunnews, 16/03/2024)
Maraknya kasus prostitusi online tidak lain merupakan potret kelam penerapan sistem kapitalisme sekuler saat ini (memisahkan agama dari kehidupan). Yang berefek pada lemahnya keimanan, kemiskinan, kebebasan, akhlak yang buruk dan lain-lain.
Akibatnya, kebanyakan masyarakat tidak lagi memperhatikan standar suatu perbuatan (pekerjaan) apakah halal atau haram. Dan itu semua karena asas manfaat yang menjadi landasan cara berpikir masyarakat.
Akibat dari penerapan sistem kapitalisme membuat wanita yang terdesak ekonomi dan kurangnya keimanan rela mengorbankan diri dan kehormatannya. Beratnya beban hidup menjadi bukti bahwa negara gagal dalam menyejahterakan rakyatnya.
Parahnya, sistem sanksi yang diberlakukan oleh negara kepada para PSK dan muncikari saat ini sangat lemah dan tidak membuat efek jera bagi pelaku. Setelah masa tahanan selesai, mereka kembali pada kebiasaannya dengan alasan impitan ekonomi.
Hal ini tentu berbeda dalam sistem Islam. Sebab dalam Islam negara berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah (penguasa) adalah pelayan bagi rakyat. Mereka wajib menyediakan lapangan kerja bagi para ayah atau laki-laki dewasa selaku kepala rumah tangga (mencari nafkah) demi memenuhi kebutuhan hidup.
Selain menjamin para laki-laki, sistem Islam juga akan menjaga kehormatan wanita sebagai pencetak generasi mulia. Hingga kelak akan terlahir generasi yang berkepribadian Islam, yang takut kepada Allah Swt. dan terjaga dari berbagai kemaksiatan.
Selain menjamin seluruh rakyat, penerapan sanksi bagi pezina dalam sistem Islam dipastikan akan memberi efek jera bagi pelaku, baik bagi pezina ghairu muhsan (belum menikah) maupun muhsan (sudah menikah). Di mana laki-laki dan perempuan yang berzina akan dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sedangkan pezina muhsan (sudah menikah) akan dihukum rajam.
Adapun mucikari akan diberikan hukuman yang lebih berat sesuai dengan keputusan dalam peradilan Islam. Demikianlah ketika syariat Islam diterapkan, kehidupan di masyarakat akan terjaga dari aktivitas yang sia-sia apalagi perbuatan yang terkategori haram.
Sebab faktor pemicunya telah diminimalisir, sehingga ketika ada yang melanggar, sanksi hukum akan ditegakkan oleh negara di bawah naungan Daulah Islam. Wallahualam bissawab. [SJ]
Sunarti
Pengamat Sosial