Tiket Mahal, Negara Berdagang dengan Rakyat
Opini
Penguasa tampak jelas keberpihakannya kepada korporasi
Inilah kelalaian penguasa, mereka seolah berdagang dengan rakyatnya sendiri dalam pelayanan yang sebenarnya merupakan kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh mereka
_________________
Penulis Daryeti, S.I.P
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Harga tiket pesawat terbang untuk arus mudik Lebaran 2024 dibanderol tinggi. Mahalnya harga tiket jelang Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriyah viral di media sosial. Seorang netizen mengunggah di media sosial X atau Twitter soal mahalnya harga tiket pesawat ini. Penerbangan dari Jakarta menuju Padang lewat Bandara Halim Perdana Kusuma mencapai Rp5.394.300. Jika berangkat melalui Bandara Soekarno-Hatta dengan rute serupa harga tiket pesawat yang dijual mencapai Rp4.767.600 (Kabar6, 24/03/2024).
Di tengah keluhan mengenai mahalnya harga tiket pesawat. Pemerintah menganggap kenaikan harga tiket pesawat bukanlah pelanggaran. Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati menyatakan, "Sampai saat ini kami belum menemui maskapai yang melanggar tarif batas atas (TBA). Semuanya masih dalam koridor," jelasnya saat dihubungi, Rabu (20-3-2024).
Pernyataan ini muncul karena pemerintah sendiri telah membuat regulasi melalui Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas (TBA) Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Regulasi ini jelas merupakan pelayanan yang diberikan negara kepada korporasi/operator penerbangan, bukan kepada rakyat. Inilah yang diinginkan oleh konsep good governance bahwa fungsi negara sebagai regulator yang lebih berpihak kepada korporasi/operator daripada kepada rakyat banyak.
Operator diberikan kebebasan untuk menentukan harga tiket, tanpa peduli apakah rakyat mampu atau tidak untuk membeli. Setiap jenis layanan dikomersialkan oleh operator sehingga harga tiket menjadi mahal. Pemerintah dalam hal ini hanya memberikan persetujuan terhadap apa yang dikehendaki oleh perusahaan transportasi tersebut.
Masyarakat berada dalam posisi tidak bisa memilih. Dan tidak memiliki kuasa untuk menawar harga tiket. Mereka terpaksa harus menerima kebijakan kenaikan harga tiket. Hak-hak mereka sebagai rakyat diabaikan, sementara penguasa tampak jelas keberpihakannya kepada korporasi. Inilah kelalaian penguasa, mereka seolah berdagang dengan rakyatnya sendiri dalam pelayanan yang sebenarnya merupakan kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh mereka.
Akar masalah mahalnya harga tiket transportasi adalah penerapan tata kelola transportasi yang didasarkan kepada sistem kapitalisme neoliberalisme. Peran pemerintah dalam konsep ini bukanlah sebagai pelayan publik, melainkan sebagai regulator yang melayani kepentingan swasta/operator, yaitu perusahaan transportasi. Publik dipaksa harus mengurusi sendiri kebutuhan transportasinya, tidak boleh dibantu secara langsung oleh pemerintah.
Pemerintah yang seharusnya bertindak sepagai pemberi layanan transportasi malah menyerahkan pengurusan transportasi ini kepada pihak swasta/operator. Operator berhak menjadikan transportasi publik sebagai barang komoditas yang dapat dikomersialkan, sehingga operator berhak menentukan harga transportasi publik. Padahal yang kita ketahui bersama bahwa operator tujuan utamanya adalah meraih profit/keuntungan sebesar-besarnya, bukan melayani publik.
Tata kelola transportasi kapitalis ini jelas batil. Oleh karenanya, harus diganti dengan tata kelola transportasi yang sahih, yaitu tata kelola transportasi Islam yang berdasarkan syariat Islam. Dengan diterapkannya sistem Islam kita bisa mendapatkan harga tiket pesawat dan transportasi lainnya secara murah, terjangkau bahkan gratis. Kenapa? karena dalam konsep Islam negara memberikan pelayanan kepada rakyatnya sebagai realisasi tanggung jawab kepada rakyat sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. : “Imam (Khalifah) itu laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR. Al Bukhari). Ketika negara bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya, maka urusan transportasi publik akan diberikan kemudahan.
Islam memandang transportasi publik bukan sebagai jasa komersial, melainkan merupakan urat nadi kehidupan. Yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Ketiadaan transportasi publik akan berakibat dharar. Hal ini diharamkan Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada membahayakan (baik diri sendiri maupun orang lain).” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daraquthni).
Dalam sistem Islam, negara berfungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung dan menjamin sepenuhnya akses setiap individu publik terhadap transportasi murah atau bahkan gratis, tapi tetap aman, nyaman, selamat, dan manusiawi. Oleh karena itu, haram bagi negara berfungsi sebagai regulator atau fasilitator sebagaimana logika neoliberalisme. Islam melarang keras tata kelola transportasi dikuasai individu atau entitas bisnis tertentu, baik infrastruktur jalan raya, bandara, dan pelabuhan serta segala kelengkapannya maupun sumber daya manusianya.
Wallahualam bissawab. [Dara]