TPPO Menimpa Mahasiswa, Peran Negara Dipertanyakan
Opini
Program pendidikan tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini
Pendidikan hanya bertujuan untuk mencapai keuntungan materi
______________________________
Penulis Siska Juliana
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Berita memprihatinkan kembali menyapa masyarakat Indonesia. Sejumlah mahasiswa menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan dalih magang MBKM di Jerman. Kasus ini melibatkan setidaknya 33 perguruan tinggi dan menelan korban 1.047 mahasiswa. (detiknews.com, 19/03/2024)
Kegiatan magang ini adalah Progam Ferienjob di Jerman. Ini merupakan program resmi di Jerman yang merekrut mahasiswa untuk bekerja mencari tambahan penghasilan. Program ini diadakan setiap Oktober sampai Desember.
Dalam Ferienjob ditawarkan berbagai pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik seperti mencuci piring di restoran, packing barang untuk dikirim, mengangkat kardus logistik, dan menangani koper di bandara (porter).
Mahasiswa diberi iming-iming gaji sebesar Rp20 juta-Rp30 juta per bulan. PT SHB dan CV-Gen yang menawarkan program ini ke kampus-kampus. CV-Gen memungut biaya pendaftaran dari mahasiswa sebesar Rp150 ribu, 150 Euro untuk LoA, dan 200 Euro kepada PT SHB untuk pembuatan approval otoritas Jerman atau working permit.
Tawaran yang menggiurkan ini membuat mahasiwa tertarik. Ditambah mereka menganggap program ini resmi dari kampus. Selain itu, mereka dapat menghindari mata kuliah yang sulit, sebab akan digantikan dengan nilai magang.
Belum lagi adanya mindset jika mengikuti program magang, maka bisa juga digunakan untuk jalan-jalan, apalagi keluar negeri.
Jika ditelisik, kasus TPPO berkedok magang ini menunjukkan adanya suatu kesalahan sistemis. Program MBKM ini terkesan dipaksakan. Hal itu dipengaruhi oleh aturan pemerintah yang harus dijalankan oleh perguruan tinggi. Bahwa nilai akreditasi dan WCU yang tolok ukurnya adalah kerja sama dengan luar negeri.
Apabila ditelisik, perguruan tinggi bukanlah satu-satunya pihak yang harus disalahkan. Sebab, pemerintah yang memiliki kebijakan dan bertindak sebagai penyelenggara pendidikan di negeri ini.
Program pendidikan tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Pendidikan hanya bertujuan untuk mencapai keuntungan materi. Maka, banyak pihak yang memanfaatkan celah ini untuk melakukan penipuan.
Selain itu, dalam kapitalisme negara berlepas tangan dalam mengurusi rakyatnya. Sehingga timbul berbagai kezaliman yang menimpa masyarakat, salah satunya kasus TPPO ini.
Berbeda dengan sistem Islam yang menawarkan solusi mendasar. Pendidikan dalam sistem Islam bertujuan untuk mencetak kepribadian yang kuat. Memiliki pemikiran dan sikap Islami. Sehingga melahirkan generasi cemerlang yang memiliki kemampuan dalam bidang sains dan teknologi. Kemampuan tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat.
Untuk mendukung hal tersebut, sistem Islam memiliki kurikulum yang berasaskan akidah Islam. Tolok ukurnya adalah halal haram yang berasal dari aturan Allah Swt.. Islam juga memiliki seruan untuk senantiasa menuntut ilmu.
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim." (HR. Ibnu Majah)
Oleh karena itu, negara menjamin akses pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh rakyat. Caranya dengan menggratiskan biaya pendidikan. Baik infrastruktur maupun gaji guru, semuanya ditanggung oleh negara. Alhasil, tenaga pendidik memiliki kehidupan yang sejahtera.
Hal ini bukanlah konsep semata. Sistem Islam telah membuktikan selama 13 abad lamanya. Seperti sejak abad IV H, para khalifah membangun berbagai kampus dengan sarana yang lengkap. Misalnya dilengkai dengan perpustakaan, auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Ditambah dengan fasilitas taman, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.
Inilah gambaran pendidikan dalam Islam. Islam mampu menyelesaikan seluruh problematika manusia secara komprehensif. Saatnya mengkaji dan mendakwahkan Islam, untuk melanjutkan kehidupan Islam. Wallahualam bissawab. []