Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 15)
Cerbung
Masjid bukan hanya difungsikan untuk kajian ilmu, tetapi digunakan untuk aktivitas kenegaraan, seperti peradilan, persiapan perang dan sebagainya
______________________________
Penulis Rumaisha
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - "Selanjutnya, apa rencana kita?" Tanya Umar.
"Besok, kita mulai penjelajahan. Rasanya sudah tidak sabar ingin mengunjungi tempat-tempat peninggalan peradaban Islam di negeri ini," jawab Yusuf
"Kita akan berkunjung ke mana dulu?" Tanya Umar kembali.
"Kota Bursa," sahut Yusuf penuh semangat.
Umar sudah tidak sabar menunggu esok hari. Pukul 03.00 Umar terbangun. Ia melaksanakan salat tahajud dan membaca mushaf. Di sela-sela doa yang dipanjatkan, ia bersyukur punya sahabat seperti Yusuf, sahabat dakwah yang sangat baik, anugerah terbaik sepanjang hidupnya.
"Suf, bangun. Rasanya sudah memasuki waktu subuh. Tapi, kok aku tidak mendengar azan berkumandang? Apakah negeri ini sudah sedemikian sekulernya sampai-sampai lantunan azan pun dilarang?" Gerutu Umar.
"Entahlah, aku juga kurang paham. Mungkin juga berawal ketika Mustafa Kemal mengganti azan dengan bahasa Turki. Tetapi, yang aku dengar di kota-kota pinggiran masih terdengar kumandang azan."
Setelah yakin waktu subuh telah tiba, mereka melaksanakan salat Subuh berjamaah. Setelah beres dan siap-siap untuk sarapan pagi, mereka mengelilingi hotel sambil menikmati indahnya laut di waktu pagi.
Sebelum pergi mereka breakfast terlebih dahulu di ruangan bersama wisatawan lainnya. Sedang asyik-asyiknya menikmati hidangan, seseorang datang menghampiri.
"Tuan muda, ini Baba Abraham yang akan menemani dalam perjalanan, dan ini driver Ali yang akan setia mengantar anda kemana pun. Ia ahli dalam sejarah dan sering menjadi guide wisatawan yang berkunjung ke Turki."
"Assalamualaikum, kenalkan saya Abraham, senang bertemu dengan Anda."
"Terima kasih, sudah mau menemani, kami, Baba," sahut Yusuf.
"Ayo, kalau selesai sarapannya kita berangkat sekarang mumpung masih pagi. Kita akan menempuh perjalanan sekitar enam jam untuk sampai di Kota Bursa," kata Abraham menjelaskan.
"Siap, Baba."
Selama perjalanan, tak henti-hentinya Yusuf dan Umar berdecak kagum. Mereka bisa menikmati pemandangan dari dalam mobil.
"Luar biasa, ini dulu adalah negeri kaum muslimin, betapa hebatnya mereka, sehingga khilafah terakhir tegak di sini," gumam Yusuf nyaris tidak terdengar.
"Baba, apakah jalan-jalan di sini seperti ini tiap harinya, hanya satu, dua mobil yang lewat?" tanya Umar
"Beda jauh dengan Indonesia, ya, super macet dan semrawut," timpal Yusuf.
"Kalau di kota-kota besar seperti ini pemandangan kesehariannya. Berbeda dengan daerah pinggiran yang banyak penduduknya, kemacetan akan kita temui di sana," jawab Abraham.
"Ooooh," kata Umar sambil fokus ke depan, seakan tidak mau melewati momen langka ini.
"Baba, masih sekali bahasa Indonesianya, belajar di mana?" Tanya Yusuf penasaran.
"Dulu saya belajar di Jogja selama satu tahun, pekerjaanku mengharuskan untuk bisa berbagai bahasa walaupun tidak menguasai banget. Karena banyak sekali wisatawan dari Indonesia yang berkunjung ke Turki."
"Turki, memang menjadi salah satu destinasi yang disukai orang Indonesia, Baba. Terutama orang-orang yang memahami tentang peradaban Islam terakhir di Istanbul. Di sana ada museum Top Cape, gambaran masa kejayaan dan singgasana khalifah terakhir sebelum runtuh," kata Umar.
"Ya, ya, dan sekarang hanya tinggal romantisme sejarah," sahut Abraham.
"Bagi kami tidak, Baba. Kami yakin, suatu saat Islam akan kembali menjadi negara adidaya," Yusup menimpali.
"Aku juga mendengar, banyak orang berpendapat seperti itu." Suara Abraham terdengar datar tanpa ekspresi.
Pukul 11.45, mereka sampai di Kota Bursa, dan langsung menuju masjid.
"Masya Allah," Yusuf dan Umar serentak mengucapkannya.
"Sebelum kita ngobrol dan keliling sekitar masjid ini, kita salat dan makan dulu," kata Abraham.
"Siap," kata Yusuf.
Selama berada di dalam masjid, tak henti-hentinya mereka berdecak kagum dengan interior dalam masjid. Di luar terlihat warna putih, setelah ada di dalam nuansa hijau mendominasi ruangan yang dipadu dengan tulisan kaligrafi yang sangat indah. Abraham mendekati mereka dan mulai bercerita tentang silsilah masjid.
Yesil Camii (Green Mosque), berdiri di sebuah bukit di Bursa. Tempat ini dikenal dengan kawasan Yesil atau kawasan hijau. Dibangun pada masa Khalifah Mehmed I, sekitar abad ke-15. Beliau adalah salah seorang khalifah di masa kekhilafahan Turki Utsmani.
Abraham menunjukkan beberapa tempat khusus. Di lantai dua, ada ruangan khusus Sultan ketika menerima tamu kenegaraan. Di lantai satu ada ruang rapat, ruang pengadilan. Pada zaman kekhilafahan dulu, masjid difungsikan sebagai tempat khalifah menjalankan pemerintahannya, mengurusi urusan umat.
Begitu juga di zaman Rasulullah saw. dan para sahabat sesudahnya. Masjid bukan hanya difungsikan untuk kajian ilmu, tetapi digunakan untuk aktivitas kenegaraan, seperti peradilan, persiapan perang dan sebagainya.
Abraham mengajak mereka untuk berkeliling di luar masjid. Menakjubkan, di sekitar masjid juga dibangun semacam musala dan tempat khusus jamuan makan. Khalifah senantiasa menyediakan makan gratis untuk orang miskin.
Di samping kiri masjid terdapat areal pemakaman, di situlah Khalifah Mehmed I dan keluarga dimakamkan. Seperti masjid, di makam juga nuansa hijau begitu terasa indah memberi kesan tenang.
Yusuf dan Umar masuk ke makam tersebut. Mereka berdoa dengan khusyuk. Tidak terasa butiran bening membasahi pipinya. Membayangkan sosok Sultan yang berjuang untuk kemajuan Islam dan meninggikan kalimat tauhid. Kebahagiaan tersendiri, mereka bisa berkunjung ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Abraham memberi tanda agar mereka segera keluar.
"Lihat ini! Ada hiasan kaligrafi di dekat pintu masuk ke masjid yang kosong. Konon, Khalifah Mehmed keburu meninggal, jadi beliau tidak bisa menuntaskan tulisan kaligrafinya," Abraham menjelaskan.
"Luar biasa, peradaban Islam yang sangat tinggi, dan sampai detik ini tidak ada yang mampu menandinginya," ucap Umar. [SJ]
Bersambung