Pajak dalam Sistem Kapitalisme; Alat untuk Memalak Rakyat
Opini
Pajak dalam kapitalisme diatur dengan hukum yang sifatnya sekuler
Sedangkan dalam Islam pajak diatur dengan hukum syarak
______________________________
Penulis Rita Yusnita
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sebagai negara yang sedang berkembang dan melakukan berbagai pembangunan di segala bidang, Indonesia menjadikan pajak sebagai salah satu pemasukan utama. Berbagai slogan tentang pajak disiarkan di berbagai media dengan maksud agar setiap warga negara sadar akan kewajibannya membayar pajak.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Garut yang baru-baru ini memberikan Penghargaan kepada Wajib Pajak atas Kontribusi Penerimaan Pajak KPP Pratama Kabupaten Garut Tahun 2024.
Acara yang berlangsung pada Rabu (15/05/2024) di Aula Papandayan KPP Pratama Kabupaten Garut, Jalan Pembangunan, Kecamatan Tarogong Kidul ini mengusung tema “Sauyunan Ngawangun Negri, Mayar Pajak Bukti Cinta NKRI”.
Dalam kesempatan tersebut, Sekretaris Daerah Kabupaten Garut, Nurdin Yana menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Garut mendukung penuh acara ini sebagai pengingat bahwa warga negara yang baik dan sadar hukum harus berpartisipasi aktif dalam kewajiban perpajakan. Dilansir jabarprov.com, Sabtu (18/05/2024)
Namun, lain halnya yang terjadi di Papua. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dua perusahaan yang memiliki tunggakan pajak kendaraan bermotor (PKB) dalam beberapa tahun terakhir senilai 1 miliar.
Temuan tersebut terungkap pada pertemuan antara Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi supervisi wilayah V KPK dengan Badan Pengelola Pendapatan Daerah Papua. Dua perusahaan ini punya kewajiban pajak tetapi tidak kooperatif.
“Kami melakukan pendampingan, supaya jangan ada pembiaran dari pemerintah dan dari sisi perusahaan tidak patuh bayar pajak", ujar Dian Patria selaku Ketua Satgas KPK di Jayapura. Dilansir AntaraPapua.com, Minggu (19/05/2024)
Selain dua perusahaan tersebut, masih ada beberapa perusahaan yang menunggak PKB, ungkap Kepala Samsat Jayapura, Dian Anggraeni.
Kenapa Pemerintah seakan “keukeuh” mewajibkan warga masyarakat untuk membayar pajak dengan berbagai cara, bahkan langsung menindak tegas bagi mereka yang tidak mau membayar pajak. Ternyata hal itu akibat dari anjloknya penerimaan pajak pada Maret 2024 .
Sejumlah setoran pajak beberapa sektor industri turun drastis seperti industri manufaktur hingga industri pertambangan. Total penerimaan pajak hingga Maret 2024 atau selama kuartal 1-2024 hanya sebesar Rp393,9 triliun. Realisasi ini turun 8,8% dari penerimaan pajak periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp431,9 triliun.
Turunnya setoran pajak beberapa industri ini menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggambarkan kondisi perekonomian domestik yang terdampak tekanan ekonomi global. Penurunan harga komoditas dan peningkatan restitusi pajak terutama di subsektor industri sawit dan logam dasar disebabkan setoran industri pengolahan turun sebesar 13,6% pada kuartal 1-2024, padahal kuartal 1-2023 masih tumbuh 32,9%. Dilansir cnbcIndonesia.com, Jumat (26/04/2024)
Sebagaimana diketahui, restitusi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KJP) adalah pengembalian pajak yang dilakukan para wajib pajak kepada negara.
Penarikan pajak di negeri ini sudah berlangsung lama, bahkan mungkin sejak masih zaman penjajahan Belanda. Namun sayangnya, kewajiban membayar pajak ini tidak merata. Baru-baru ini pemerintah malah mengeluarkan kebijakan baru.
Pemerintah di Ibu Kota Nusantara (IKN) memberikan fasilitas 9 insentif pajak pertambahan nilai (PPh) kepada rakyat ‘pengusaha’. Rincian pemberian fasilitas tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024. Berbagai insentif yang diberikan pemerintah ini diharapkan agar investor memiliki daya tarik untuk mempercepat realisasi investasinya di IKN.
“Kami dari pelaku usaha sangat menyambut baik insentif yang diberikan, diharapkan akan semakin mempercepat dan meningkatkan kepercayaan investor untuk realisasikan modalnya", ungkap Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Dilansir Kontan.com, Minggu (19/05/2024)
Adapun 9 insentif PPh tersebut di antaranya adalah, tax holiday bagi pengusaha yang akan menanamkan modalnya di IKN, fasilitas PPh di financial center IKN, pengurangan PPh badan atas pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional, superdeduction vokasi.
Kemudian, Superdeduction research and development, Superdeduction sumbangan fasilitas umum/sosial di IKN, insentif ini diberikan untuk masyarakat yang ingin mendukung, PPh pasal 21 final ditanggung pemerintah, PPh final 0% untuk UMKM, pengurangan PPh hak atas tanah/bangunan.
Selama ini masyarakat sudah familiar dengan pajak. Hampir semua sektor dikenai pajak, termasuk barang dan layanan jasa. Padahal, adanya pungutan pajak ini membuat biaya hidup makin tinggi di tengah impitan ekonomi. Pajak dan utang memang menjadi pemasukan utama negeri yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis liberal seperti yang dianut negeri kita ini.
Ironi memang, karena kita hidup di negeri yang mendapatkan julukan zamrud khatulistiwa. Memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah ruah. Namun, faktanya pemasukan negara dari sumber daya alam sangatlah minim. Hal ini terjadi karena sistem saat ini melegalkan swastanisasi kekayaan alam, baik pada swasta lokal ataupun asing, bukan mengelola sendiri.
Negara hanya memperoleh pemasukan dari pajak yang dikenai pada pengelolaan SDA tersebut sehingga pemasukannya tidak seberapa. Alhasil, rakyat menjadi objek untuk menambah pendapatan kas negara dengan kewajiban membayar pajak walaupun hidup mereka tergolong susah atau miskin. Mirisnya lagi, rakyat tak banyak merasakan dampak positif dari pengelolaan pajak tersebut.
Pajak dalam kapitalisme diatur dengan hukum yang sifatnya sekuler, yaitu tidak bersumber dari Islam, tidak bersumber dari wahyu. Sedangkan dalam Islam pajak diatur dengan hukum-hukum syarak (hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis).
Jadi berbeda sekali dengan pajak yang sekarang dipungut oleh Kementerian Keuangan khususnya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang sifatnya sekuler, bukan pajak syariat yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariat. Itu terjadi karena negara kita adalah negara sekuler.
Dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan utama bagi negara apalagi dengan berutang. Karena sistem ekonomi Islam memiliki pos pemasukan bagi kas negara di antaranya ialah pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah. Negara akan menerapkan pembagian kepemilikan sesuai dengan syariat yaitu kepemilikan umum, negara, dan individu.
Adapun sumber pemasukan lain yaitu dharibah (pajak), hanya dipungut jika kas negara di baitulmal kosong atau tidak mencukupi sementara ada pembiayaan wajib yang harus dipenuhi yang sifatnya dharar. Artinya, dharibah bersifat insidental dan hanya ditujukan kepada yang memenuhi dua syarat, yaitu:
Pertama, hanya boleh diambil dari kaum muslim saja tidak boleh dari kaum nonmuslim.
Kedua, hanya boleh diambil dari muslim yang kaya, yaitu yang mempunyai kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan pokok dan sekundernya secara sempurna sesuai dengan standar hidup di wilayahnya.
Dalam Islam, negara tidak akan menjadikan pajak sebagai alat untuk menekan pertumbuhan ekonomi. Juga tidak akan pernah memungut langsung pajak seperti pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, pajak barang mewah, pajak jual beli, dan berbagai macam pajak seperti saat ini.
Bahkan negara tidak akan memungut biaya apa pun dalam pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan gratis dengan kualitas terbaik. Wallahualam bissawab. [SJ]