Alt Title

Bagi-Bagi Jabatan, Kompetensi Dipertanyakan

Bagi-Bagi Jabatan, Kompetensi Dipertanyakan

  


Sistem demokrasi yang berasaskan paham sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) meniscayakan kebebasan dalam mengatur urusan rakyat

Sehingga tujuan yang hendak dicapai adalah keuntungan materi yang sebesar-besarnya

______________________________


Penulis Siska Juliana 

Tim Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pilpres telah usai sejak beberapa bulan yang lalu. Saat ini kita telah memiliki presiden dan wakil presiden yang baru, yaitu Prabowo dan Gibran. Hanya saja euforia pilpres ternyata belum selesai sampai di sini. 


Hal ini terlihat dari pengangkatan sejumlah politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai petinggi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di antaranya adalah Fuad Bawazir dan Grace Natalie, keduanya merupakan mantan petinggi tim kampanye nasional (TKN) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Mereka ditetapkan menjadi komisaris di PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID). (voaindonesia.com, 16/06/2024) 


Sontak saja pengangkatan itu menjadi sorotan publik. Pasalnya, penempatan seseorang di jabatan publik seperti BUMN, harus sesuai dengan kompetensi dan proses seleksi terbuka. Selain itu, yang menjadi sorotan adalah gaji fantastis yang diterima komisaris BUMN dan wakilnya mendapat honorarium 45 persen dan 42,5 persen dari direktur utama. Sedangkan para komisaris lain mendapat honorarium sebesar 90 persen dari komisaris utama. (bbc.com, 14/06/2024) 


Sebagai perbandingan, Ahok pernah menyebutkan honorariumnya sebagai komisaris utama Pertamina kira-kira Rp170 juta per bulan.


Fakta ini sungguh mengkhawatirkan, sebab terkesan adanya politik balas budi. Tercatat sejak 2015 sampai 2024 terdapat 18 kursi komisaris yang diduduki sejumlah tokoh dan politisi. Para pengamat menilai adanya indikasi penyalahgunaan kekuasaan dari praktik bagi-bagi jabatan ini. Kerja sama ini terjadi karena adanya kepentingan atau imbalan yang dapat diterima. Akibatnya, tidak ada standar tertentu termasuk dalam hal kemampuan.


Maka selama sistem demokrasi kapitalisme digunakan sebagai landasan dalam mengatur urusan masyarakat, selama itu pula rakyat akan terus menerima tipu daya dari kerja sama antara penguasa dan pengusaha. Bahwasanya para pejabat dari jajaran pemerintah diangkat dari hasil balas budi.


Alhasil, pemerintahan yang terwujud merupakan pemerintah yang korup dan sangat merugikan masyarakat. Karena seharusnya jabatan dimiliki dengan profesionalitas dan kemampuan yang mumpuni. 


Sistem demokrasi yang berasaskan paham sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) meniscayakan kebebasan dalam mengatur urusan rakyat. Sehingga tujuan yang hendak dicapai adalah keuntungan materi yang sebesar-besarnya, meskipun hal itu akan membawa pada kesengsaraan hidup umat. 


Padahal Rasulullah saw., telah mengingatkan pada umatnya dalam sabdanya, 

"Jika (telah) disia-siakan (yakni) amanat, maka tunggulah waktunya (menuju) kehancuran. (Seseorang) berkata (bertanya): Bagaimana (maksud) disia-siakan padanya wahai Rasulullah?" (Beliau) bersabda (menjawab): Jika ditetapkan suatu urusan kepada selain ahlinya, maka tunggulah waktunya (menuju kehancuran)." (HR. Bukhari).


Hal ini tentu berbeda dengan pandangan Islam. Islam merupakan ideologi yang memancarkan berbagai aturan kehidupan, bukan hanya agama ritual semata. Islam merupakan sistem yang sahih, sebab berasal dari Allah Swt.. 


Islam memandang bahwa seorang penguasa harus memliki tiga kriteria penting, yaitu: 

Pertama, al-quwwah (kekuatan), artinya memiliki kekuatan aqliyah dan nafsiyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal sehingga mampu memutuskan kebijakan sesuai dengan syariat Islam. Ia akan mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya jika akalnya lemah, maka akan menyusahkan rakyatnya. 


Kekuatan nafsiyah yang dimiliki seorang pemimpin akan membuatnya sabar dan tidak tergesa-gesa dalam membuat kebijakan.


Kedua, at-taqwa (ketakwaan). Ketakwaan merupakan sifat penting yang dimiliki seorang pemimpin. Sehingga, semua keputusannya didasari keimanan kepada Allah. Karena ia mengerti kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. 


Ketiga, al-rifq bi ar-ra'iyyah (lembut terhadap rakyat). Dengan sifat lemah lembut, pemimpin akan dicintai oleh rakyatnya. 


Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

Aisyah ra. berkata, "Saya mendengar Rasulullah berdoa di rumah ini, Ya Allah siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia membebaninya, maka bebanilah dirinya. Siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya." (HR Muslim). 


Demikianlah kriteria pemimpin yang sesuai dengan pandangan Islam. Bukan dengan sistem politik balas budi seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini. 


Hal ini hanya bisa terwujud dalam pemerintahan yang menerapkan Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. []