Alt Title

Benarkah dengan UU KIA, Kesejahteraan Ibu dan Anak Tercipta?

Benarkah dengan UU KIA, Kesejahteraan Ibu dan Anak Tercipta?

 


Berdalih suara kesetaraan, kaum ibu makin terombang-ambing kehilangan peran

Dieksploitasi atas nama karier dan kemandirian

__________________


Penulis Rizka Adiatmadja

Kontributor Media Kuntum Cahaya, Penulis Buku dan Praktisi Homeschooling


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di zaman yang serba sulit dan penuh tekanan, menjadi sebuah keniscayaan jika ibu terpaksa harus bekerja untuk menopang segala kebutuhan. Di bawah naungan demokrasi, betapa beratnya kaum perempuan mewujudkan aspirasi. Berharap menjadi sejahtera sepertinya hanya mimpi semata. 


Derita terus bertambah, padahal sudah berupaya tanpa lelah. Tuntutan demi tuntutan panjang disuarakan. Dari teriakan kaum feminis yang salah jalan hingga jeritan para ibu yang tulus karena Allah, hanya ingin haknya diberikan sepenuh keadilan. Uphill battle, ya juang demi juang yang teramat berat bahkan tak sedikit yang sekarat. Kaum perempuan mengais haknya di antara pilar demokrasi yang kental beraroma autokrasi.


Dikutip dari liputan6.com – Tuti Elfita sebagai Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak, dan Keluarga BPKK DPP PKS, menanggapi dan memberi respons baik atas pengesahan UU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan oleh DPR, Selasa 4 Juni 2024 dalam rapat paripurna. 


Tuti menekankan bahwa pengesahan UU KIA adalah paradigma penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak yang menjadi bagian penting dalam keluarga. Menurutnya, PKS juga memberi apresiasi pada peranan ayah yang aktif terkait perlindungan, dukungan, serta pendampingan untuk mengoptimalkan capaian kesejahteraan ibu dan anak. (9 Juni 2024)


Bagian utama di dalam UU KIA adalah mengenai cuti melahirkan bagi ibu pekerja selama 6 bulan. Namun, nyatanya ada persyaratan dan ketentuan. Cuti melahirkan jangka singkat adalah 3 bulan pertama dan jangka lama 3 bulan berikutnya. Untuk kondisi khusus harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 


Ibu pekerja yang sedang cuti melahirkan memiliki hak upah secara penuh untuk 4 bulan pertama, 75% dari upah di bulan kelima dan keenam, tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Seorang ayah berhak mendapatkan cuti 2 hari, bisa ditambah 3 hari berikutnya sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja.


Apakah benar UU KIA bisa menyejahterakan ibu dan anak? 

Andy Yentriyani sebagai Ketua Komnas Perempuan menyatakan pendapatnya bahwa UU KIA rentan tidak memiliki daya implementasi. Andy mengatakan kondisi ini berdasarkan pada  pencermatan Komnas Perempuan.


Telah ada sejumlah UU dan kebijakan pemerintah mengenai kesejahteraan ibu dan anak yang dinyatakan tetap berlaku meski telah ada UU KIA. Ego sektoral yang sering kali diajukan sebagai hambatan dalam koordinasi dan kesulitan untuk pengawasan pelaksanaan kewajiban individu ibu dan ayah. (news.detik.com, 8 Juni 2024)


Apakah kebutuhan anak bisa tercukupi dalam enam bulan saja bersama ibunya tanpa jeda? Apakah urgensi pengasuhan hanya cukup dalam waktu sesingkat hitungan 180 hari? Selanjutnya, ibu harus kembali berkarier di luar rumah. Sejatinya, seorang ibu adalah pusat semesta buah hatinya.


Ibu adalah sekolah dan guru pertama buat anak. Betapa pengasuhan dan pendidikan butuh seorang ibu yang fokus sepanjang waktu. Ya, ibu adalah pencetak generasi terbaik untuk melanjutkan estafet peradaban. 


Telah menceritakan kepada kami Hasyim,menceritakan kepada kami Muhammad dari Abdullah bin Syubrumah dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah, dia berkata, Ada seorang laki-laki yang berkata : "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak untuk saya berbuat baik kepadanya?" beliau bersabda, "Ibumu, " ia berkata, "Kemudian siapa?" beliau bersabda, "Ibumu, " ia berkata, "Kemudian siapa?" beliau bersabda, "Ibumu, " ia berkata, "Kemudian siapa?" Rasulullah bersabda, "Ayahmu." (HR Ahmad No. 7994, sanad sahih menurut Syu'aib al-Arna'uth)


Betapa mulianya kedudukan seorang ibu di dalam syariat Islam. Sebab, perjuangan dan pengorbanan yang begitu luar biasa. Ada banyak kesulitan yang dihadapi seorang ibu saat mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, dan mendidik. 


Dari sejak kandungan hingga usia 7 tahun pertama, fase tamyiz buah hati yang tidak boleh terlewatkan. Harus ada fasilitator utama yang menuntun anak memahami perbuatan terpuji atau tercela.


Tak hanya cukup di 7 tahun pertama, 7 tahun kedua pengasuhan tak kalah pentingnya. Usia remaja harus ditempa agar menjadi insan yang bertakwa. Hingga di 7 tahun ketiga, tetap saja kehadiran ibu menjadi sosok utama yang diharapkan bisa mendampingi buah hati melewati fase kedewasaan hakiki dan insan sejati. 


Jika menilik upah yang diberikan selama masa cuti, tentu itu tidak sepadan dan hanya mencakup ranah parsial. Sejatinya, para ibu membutuhkan solusi integral. Bukan iming-iming sesaat yang sejatinya membuat beban semakin berat.


Perekonomian kapitalisme tidak pernah terbukti menyejahterakan rakyat. Tak terkecuali ibu dan anak. Bahkan, untuk kaum laki-laki yang sejatinya sebagai pencari nafkah saja, tidak pernah mendapatkan lapangan kerja yang luas dan cukupnya upah. 


Perekonomian kapitalisme senantiasa memberikan celah problematika yang dilematis. Ibu sebagai pendidik generasi dan ayah pencari nafkah terkadang tertukar peran. Bahkan, kedua peranan itu bisa sekaligus diambil alih oleh kaum ibu. Dengan keterpaksaan, semua beban harus ditanggung sendirian.


Berdalih suara kesetaraan, kaum ibu makin terombang-ambing kehilangan peran. Dieksploitasi atas nama karier dan kemandirian. Sejatinya, semua adalah siksaan yang teramat berat. Terus terpukul dan rentetan beban di pundak harus selalu dipikul. Pada akhirnya, peran dan fungsi agung seorang ibu terbengkalai karena negara abai dan lalai.


Berbeda dengan sistem Islam dalam mengatur kesejahteraan. Sistem Islam adil menempatkan peran kaum ayah atau ibu sesuai pedoman. Tidak ada yang dirugikan ataupun diuntungkan salah satu pihak. Semua tatanan berjalan sesuai aturan. 


Negara hadir seutuhnya dalam mengurusi urusan umat. Pencari nafkah ditetapkan sebagai tugas kaum laki-laki, di antara tugas mulia lainnya. Sehingga, lapangan kerja akan disediakan dengan leluasa. Perempuan tidak dibebankan untuk mencari nafkah baik untuk dirinya atau keluarga.


Sistem perekonomian Islam sigap dalam menangani kebutuhan dasar masyarakat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Semuanya bisa diakses gratis, jika harus membayar, tidak dikomersilkan, sebatas mengganti modal atau transport. 


Apakah di sistem Islam perempuan tidak boleh bekerja? Jawabannya tentu saja boleh, tetapi bukan untuk mencari nafkah. Tujuannya mulia untuk memanfaatkan ilmu tanpa harus mengorbankan kewajiban utama sebagai pendidik dan sekolah pertama untuk buah hatinya. 


Hanya Islam dengan sistemnya yang kompatibel dan mampu menjalankan syariat Islam secara kafah termasuk menyejahterakan kaum ibu dan anak. Seorang ibu dipandang dengan kemuliaan peranannya bukan seberapa hebat ia mampu mencari uang. Wallahualam bissawab. [Dara]