Benarkah Tapera Menyejahterakan Rakyat?
Hendaknya negara harus tahu dan lebih paham beban dan kesulitan rakyatnya
Negara seakan lepas tangan sebagai penyedia kebutuhan papan bagi rakyat dengan adanya iuran Tapera
______________________________
Penulis Rosi Kuriyah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Muslimah Peduli Umat
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Memasuki awal bulan Juni, ada berita yang mengejutkan dari penguasa kepada rakyatnya. Ada opini Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Ini suatu kebijakan yang telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi dalam PP No.21/2024 yang mengatur tentang perubahan atas PP No.25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Disebutkan dalam pasal 5 PP No.21/2024 bahwa peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, telah berusia paling rendah 29 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar. Sehingga gaji pekerja Indonesia seperti PNS, karyawan swasta dan pekerja lepas (freelancer) akan dipotong 3% untuk dimasukkan ke dalam rekening dana Tapera.
Hal ini juga dijelaskan dalam pasal 7 PP No 21/2024 perincian pekerja yang masuk kategori peserta Tapera adalah calon pegawai negeri sipil (PNS), pegawai aparatur sipil negera (ASN), prajurit TNI, prajurit siswa TNI, anggota Polri, pejabat negara, pekerja/butuh BUMN/BUMD, pekerja/butuh BUMDES, pekerja/buruh BUM Swasta dan pekerja yang tidak termasuk pekerja yang menerima gaji atau upah. Setiap tanggal 10 perbulannya paling lambat pemberi kerja harus menyetorkan dana Tapera diatur juga dalam PP ini.
Ketika peserta Tapera memasuki masa pensiun bagi pekerja, umur 58 tahun untuk pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun maka masa kepesertaan Tapera berakhir. Sehingga pengembalian uang simpanan Tapera dapat dilakukan dan paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya masa kepesertaan Tapera.
Ternyata polemik Tapera ini terjadi sejak penertiban PP Tapera pada 2020, dan kembali ramai ketika ada perubahan dari PP No.25/2020 menjadi PP No.2/2024. Walaupun intinya tidak banyak berubah, Tapera tetap sangat membebani rakyat karena ada pemotongan 3% gaji pekerja untuk Tapera.
Program Tapera diluncurkan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang yang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Benarkah hal ini bisa terlaksana?
Faktanya kebijakan Tapera banyak ditentang terutama pekerja dan dari berbagai pihak. Adapun alasannya karena:
Pertama, bagi pekerja pemotongan 3% dari gaji akan menambah banyak potongan, mulai dari berbagai program seperti pajak penghasilan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, BPJS Kesehatan dan iuran Tapera.
Kedua, adanya lahan baru untuk korupsi bagi penguasa dengan adanya Tapera ini. Hal ini bisa kita lihat ulang dari berbagai kasus korupsi dari BPJS Kesehatan, korupsi Asabri, Jiwasraya, dan Taspen.
Mestinya jadi bahan pelajaran bagi pemerintah dengan adanya kekacauan di lembaga negara tersebut. Ini malah membuka lahan baru untuk korupsi, karena dengan simpanan yang begitu panjang, adakah yang dapat menjamin dana simpanan Tapera itu diam dan tenang di tempatnya?
Sekiranya pemerintah ingin membantu rakyatnya dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah, alangkah baiknya jika pemerintah membangunkan rumahnya terlebih dahulu baru rakyat menabung ke pemerintah hingga lunas.
Ketiga, minimnya penguasa terhadap kepedulian dan kepekaan pada rakyatnya. Negara belum maksimal memberikan sebaik-baiknya pelayanan kepada rakyat. Negara hanya bisa main atur, main paksa dan main potong gaji yaitu main potong gaji si penerima gaji tanpa permisi dan diskusi. Seharusnya bila iuran yang sifatnya menabung itu tidak dipaksakan untuk membayar.
Hendaknya negara harus tahu dan lebih paham beban dan kesulitan rakyatnya. Beban rakyat jangan ditambah di tengah ekonomi yang sulit, bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dijamin negara. Negara seakan lepas tangan sebagai penyedia kebutuhan papan bagi rakyat dengan adanya iuran Tapera ini.
Inilah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme. Berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam Islam, pemimpin wajib memberikan layanan terbaik bagi rakyatnya. Tugas pemimpin adalah mengurusi urusan rakyat, bukan untuk mengambil keuntungan dari rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, "Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya." (HR Bukhari)
Rumah merupakan kebutuhan pokok bagi rakyat, selayaknya negara sebagai penyelenggara perumahan rakyat, jadi semua tanggungan negara tanpa kompensasi dan tanpa iuran wajib bagi rakyatnya. Negara wajib memenuhi kebutuhan rakyat dan bukan sebagai pengumpul dana rakyat
Negara dapat membangun perumahan rakyat dengan harga terjangkau atau murah juga memberikan kemudahan pembelian tanah dan bangunan. Negara juga wajib memenuhi kebutuhan sandang dan pangan dengan kebijakan pangan yang murah.
Para pencari nafkah juga diberikan kemudahan dalam mencari pekerjaan karena negara wajib untuk menyediakan lapangan kerja baginya. Tugas seorang pemimpin memberikan kenyamanan bagi rakyatnya termasuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah bagi rakyatnya.
Dalam Islam, rumah dijadikan sebagai kehormatan yang wajib dijaga dan dilindungi. Adanya aturan dimulai dari pemilihan lokasi, ketinggian rumah, jumlah kamar, teras, pagar hingga ventilasi. Kebijakan ini pada masa lalu pernah diterapkan oleh para khalifah.
Soal lokasi rumah harus jauh dari masjid karena daerah dekat masjid nantinya akan menghalangi perluasan masjid, selain itu makin jauh rumah dari masjid makin besar pahalanya. Juga termasuk daerah yang bersih dan lingkungan yang baik. (Dilansir dari Degrisarsitek, 2/5/2019)
Hanya dalam sistem Islam kafah pemenuhan kebutuhan papan rakyat akan terwujud dengan sempurna. Berbeda ketika kehidupan yang berasas sistem sekuler kapitalisme yang hanya menyengsarakan rakyat. Wallahualam bissawab. [SJ]