Alt Title

Fitrah Ibu Habis Terkikis oleh Kapitalisme

Fitrah Ibu Habis Terkikis oleh Kapitalisme

 


Secara fitrah, seharusnya seorang ibu memiliki naluri kasih sayang yang besar terhadap anak kandungnya

Sayangnya, kehidupan sekuler yang kapitalistik mampu mengikis habis naluri keibuan tersebut

___________________


Penulis Suci Halimatussadiah 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Ibu Pemerhati Umat


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sungguh di luar nalar. Siapa yang menyangka seorang ibu tega berbuat asusila terhadap anak kandungnya sendiri? Seorang ibu yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi anak, kini dengan tega mempermalukan anak dan dirinya sendiri dengan merekam aksi bejatnya. 


Dikutip dari liputan6.com (9/6/2024), Polda Metro Jaya menangkap seorang ibu berinisial AK (26) yang diduga mencabuli anak kandungnya. AK sudah mengakui perbuatannya dan sedang menjalani pemeriksaan lebih lanjut di Polda Metro Jaya.


Bila kita amati, akhir-akhir ini marak kasus ibu yang mencabuli anaknya lalu direkam karena iming-iming uang. Bukan hal yang mustahil jika ada kasus serupa yang belum terungkap. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak asusila ini. Tidak mungkin ada asap jika tak ada api. 


Ternyata, pemicunya adalah himpitan ekonomi yang kemudian membuat seorang ibu menjadi gelap mata. Ekonomi bukanlah salah satu faktor, tetapi kondisi lingkungan dan sosial masyarakat juga dapat memengaruhi maraknya kasus asusila. 


Tak bisa diabaikan jika sistem kehidupan sekuler mampu mendegradasi keimanan individu secara signifikan. Terbukti hari ini, kehidupan sosial masyarakat makin jauh dari nilai-nilai Islam. Tontonan, konten-konten, film, dan tayangan yang menghiasi media maupun layar HP lebih dominan pada hal-hal yang berbau sensual dan tidak mendidik. 


Jika hal ini dibiarkan petaka kerusakan moral tidak bisa terelakkan. Sehingga kehidupan generasi semakin liar akibat gaya hidup sekuler liberal yang didapat melalui tontonan. Secara fitrah, seharusnya seorang ibu memiliki naluri kasih sayang yang  besar terhadap anak kandungnya. Sayangnya, kehidupan sekuler yang kapitalistik mampu mengikis habis naluri keibuan tersebut.

 

Perbuatan AK bisa jadi akibat kesalahan pola asuh dalam mendidik generasi. Tidak ada yang salah dengan menikah muda, yang salah adalah menikah muda tanpa ilmu dalam berumah tangga. Sayangnya, sistem sekularisme hari ini tidak mampu membekali dan membenahi pola pikir dan pola sikap generasi yang minim edukasi, literasi, dan pemahaman Islam.


Kasus yang terjadi pada AK dapat menjadi contoh kecil betapa pentingnya pendidikan pranikah mempersiapkan diri pribadi sebelum akhirnya berubah status menjadi ibu. Sebab, tidak bisa dimungkiri jika AK adalah contoh ibu muda yang minim edukasi dan ilmu dalam berumah tangga sehingga mengalami kebingungan dalam menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. 


Baik kesiapan fisik, psikis, dan tentunya ilmu sangat dibutuhkan dalam membina sebuah rumah tangga. Yang bukan sekadar bicara cinta dan kesiapan lahiriah melainkan lebih kepada kesiapan ilmu yang terbangun saat pernikahan itu terjadi. 


Contohnya, mengerti hak dan kewajiban antara suami dan istri, mengetahui cara berkomunikasi yang baik antara keduanya, pola pendidikan dan pengasuhan anak, peran vital ibu sebagai madrasah pertama, serta kepemimpinan ayah dalam keluarga. Juga belajar bagaimana cara menjaga hubungan anak, menantu, dan mertua, pengelolaan keuangan, dan segala bentuk hubungan setelah membina rumah tangga. Semua ilmu ini perlu dipahami demi membentuk kematangan berpikir dan kedewasaan sikap.


Selain faktor-faktor di atas, kasus asusila terhadap anak juga disebabkan tidak adanya perlindungan berlapis terhadap anak. Karena, tidak berlakunya aturan baku terkait tanggung jawab negara, masyarakat, dan keluarga untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual. Ditambah lagi penerapan sistem sekularisme liberal yang makin menggerus keimanan setiap individu.


Akibat sekularisme pula kaum muslim menganggap Islam hanya sebatas ibadah ritual. Kaum muslim kehilangan gambaran nyata kehidupan Islam yang sesungguhnya baik jika diterapkan pada lingkup negara, masyarakat, dan rumah tangga. Sekularisme buatan manusia mendominasi tata pergaulan sosial di masyarakat, padahal Islam memiliki solusi tepat dalam meminimalkan maraknya kasus asusila dan pelecehan seksual.


Dalam Islam diterapkan perlindungan berlapis untuk mengatasi kejahatan asusila. Pertama, lapisan preventif (pencegahan), Islam mengatur secara terperinci batasan bagi  pergaulan laki-laki( Ikhwan) dan perempuan(akhwat).


Sejak awal, syariat Islam mengharamkan perbuatan zina dan mewajibkan perempuan menutup aurat dengan menggunakan hijab syar’i (kewajiban berjilbab dan berkerudung di ruang publik) laki-laki dan perempuan dewasa diwajibkan agar menundukkan pandangan.


Kemudian larangan ber-khalwat (campur baur), larangan bertabaruj (mempercantik diri di hadapan yang bukan mahram) bagi perempuan adalah untuk melindungi kehormatan perempuan. Islam juga memerintahkan supaya perempuan yang melakukan safar atau perjalanan lebih dari semalam agar didampingi oleh mahramnya. Dalam Islam diatur bagaimana memisahkan tempat tidur anak-anak yang sudah balig.


Kedua, pada lapisan kuratif (penanganan), negara Islam akan  menegakkan sistem sanksi bersandar kepada hukum syarak. Hukum yang berasal dari Allah Swt. yang adil dalam memberi hukuman dan balasan bagi para pelaku maksiat. Hukum sanksi di dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (membuat efek jera) bagi pelaku kejahatan. Ketika hukum Islam diterapkan tidak akan ada istilah tawar-menawar bagi manusia untuk menangguhkan hukuman tersebut.


Pada lapisan edukatif, pembinaan dan pendidikan akan menggunakan kurikulum berbasis akidah Islam yang mampu membina individu masyarakat dengan pemahaman Islam. Masyarakat akan menjadikan Islam sebagai standar suatu hal dan perbuatan  sehingga menjadikan generasi memiliki keimanan kuat, pemikiran matang, cakap akan ilmu dan amalnya.


Para generasi perempuan akan menjadi terdidik dan tentu akan siap menjadi calon ibu yang mengerti juga memahami peran di rumah (domestik) dan publik (masyarakat) sesuai dengan fitrahnya. Begitupun dengan laki-laki mereka dibekali ilmu agar mampu menjadi pemimpin masa depan pembangun peradaban, sekaligus menjadi calon kepala rumah tangga yang bertanggung jawab.


Seluruh jenis perlindungan tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa adanya peran negara. Negara merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam mewujudkan keamanan dan memberikan perlindungan bagi rakyatnya, mulai dari diterapkannya sistem pergaulan, sistem pendidikan, dan penerapan hukum pidana yang berbasis Islam.

 

Semua tidak dapat terlaksana tanpa menerapkan syariat Islam secara kafah. Dengan diterapkannya Islam maka fitrah seorang ibu akan terjaga, tidak terkikis seperti saat ini. Wallahualam bissawab. [Dara]