Alt Title

Judi Online Buat Orang Mabuk Kepayang

Judi Online Buat Orang Mabuk Kepayang

 


Meski judol sudah lama menjamur di tanah air dan menyengsarakan masyarakat, tetapi baru belakangan pemerintah mulai serius menanganinya

Faktor penyebab maraknya judol adalah kemudahan dalam mengaksesnya

___________________


Penulis Iin Indrawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dalam diskusi daring “Mati Melarat Karena Judi”, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan ada sekitar 3,2 juta warga Indonesia yang bermain judi online (judol). Diperkirakan pemain judi online berasal dari berbagai latar belakang, seperti pelajar, mahasiswa, dan ibu rumah tangga. 


Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman, mengatakan bahwa Satgas Pemberantasan Perjudian Daring yang baru diresmikan Presiden Jokowi mengandalkan dua cara untuk memberantasnya. Pertama, dengan upaya pencegahan yang dilakukan lewat jalur edukasi dan literasi; kedua, dengan penindakan. Sehubungan dengan hal ini, Usman menyebut bahwa Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo juga dilibatkan untuk men-takedown situs judi online maupun situs yang menampilkan judi online.


Pada kesempatan yang sama, Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK, M Natsir Kongah, mengungkap bahwa pihaknya sudah memblokir sekitar 5 ribu rekening masyarakat Indonesia yang terindikasi judi online. Jika diakumulasi, nominalnya sampai kuartal I 2024 sudah mencapai Rp 600 triliun perputaran (CNBC Indonesia, 15/06/2024).


Sungguh memprihatinkan, penduduk Indonesia yang mayoritasnya muslim ternyata banyak kecanduan judi online. Padahal kecanduan ini sama bahayanya seperti narkoba atau miras. Kecanduan judol dapat mengakibatkan depresi dan stres, bahkan nekat bunuh diri jika mengalami kekalahan. Pencurian dan perampokan meningkat demi bisa bermain judol; keluarga dan pernikahan juga hancur. Ironisnya, yang terjerat judi online adalah masyarakat miskin, pelajar dan mahasiswa, buruh, petani, pedagang, hingga ibu rumah tangga. 


Dalam sistem kehidupan berbasis ideologi kapitalisme, perjudian legal karena mendatangkan keuntungan secara materi bagi bandar dan pemain yang menang, serta mendatangkan pajak untuk negara. Sebaliknya, judi menguras harta rakyat dan hanya memberi keuntungan kaum kapitalis pemilik bisnis perjudian tersebut.


Meski judol sudah lama menjamur di tanah air dan menyengsarakan masyarakat, tetapi baru belakangan pemerintah mulai serius menanganinya. Faktor penyebab maraknya judol adalah kemudahan dalam mengaksesnya. Handphone yang sepanjang hari terkoneksi dengan jaringan internet. Ditambah lingkungan sosial, yaitu ajakan dan rasa penasaran. 


Judol juga menyebabkan kerugian besar secara ekonomi. Uang yang beredar di masyarakat sebagian terkumpul pada judi online, artinya dana sisa yang beredar tidak produktif. Hal ini membuat ekonomi mengalami kelesuan karena sebagian uang yang seharusnya menjadi penggerak mesin ekonomi berkumpul di satu tempat.


Dari sisi penegakan hukum, tidak ada hukuman yang menjadikan shock therapy atau efek jera. Buktinya, sejumlah selebritis dan aktor/aktris nasional masih terus mempromosikan judol di berbagai platform media sosial. Belum ada satu pun dari mereka yang dijerat hukum.


Oleh karena itu, keseriusan pemerintah diragukan dalam memberantas judi online hingga ke akarnya. Apalagi tahun lalu Menkominfo pernah mewacanakan untuk memungut pajak dari judol. Alasannya agar uang dari Indonesia tidak lari ke negara lain karena hanya Indonesia yang tidak melegalkan perjudian di ASEAN.


Di sisi lain, Islam mengharamkan judi secara mutlak tanpa ilat apa pun, juga tanpa pengecualian. Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah [5]: 90)


Dalam ayat di atas, Allah Swt. menyejajarkan judi dengan minuman keras, berhala, dan mengundi nasib (azlam). Maka, negara tidak boleh memberikan izin perjudian sekalipun pada nonmuslim. Itu sama artinya dengan menghalalkannya. Karena itu, memungut pajak dari perjudian juga haram. 


Bagi para pelakunya, termasuk bandarnya, pemainnya, pembuat programnya, penyedia servernya, mereka yang mempromosikannya dan siapa saja yang terlibat di dalamnya, harus diberi sanksi pidana (‘uqubat). Sanksi bagi mereka berupa takzir, yakni jenis sanksi yang diserahkan keputusannya kepada khalifah atau kepada Qadi (hakim).


Berat sanksi yang dijatuhkan disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Untuk tindak kejahatan atau dosa besar, sanksinya harus lebih berat agar tujuan preventif (zawajir) sanksi ini tercapai. Karena itu, pelaku kejahatan perjudian yang menciptakan kerusakan begitu dahsyat, layak dijatuhi hukuman yang berat, seperti dicambuk, dipenjara, bahkan dihukum mati.


Hukum yang tegas ini adalah bukti bahwa syariat Islam berpihak kepada rakyat dan memberikan perlindungan kepada mereka. Dengan adanya pengharaman atas perjudian, maka harta umat dan kehidupan sosial akan terjaga. Umat juga akan didorong untuk mencari nafkah yang halal, tidak bermalas-malasan, apalagi mengundi nasib lewat perjudian.


Negara juga harus hadir menjamin kehidupan rakyat, seperti memberikan pendidikan gratis, lapangan kerja yang luas, serta jaminan kesehatan secara cuma-cuma. Semua ini hanya akan bisa terwujud dalam kehidupan yang ditata dengan syariat Islam. Dengan perlindungan hidup yang sempurna dalam syariat Islam, kecil peluang rakyat terjerumus hingga kecanduan perjudian. Wallahuallam bissawab. [Dara]