Kapitalisme Masih Diterapkan, Jutaan Gen Z Jadi Pengangguran
Opini
Menjamurnya pengangguran di negeri ini tidak bisa disalahkan hanya kepada Sumber Daya Manusia (SDM)-nya saja
Namun bagaimana negara dalam mengelola kebijakan terkait, khususnya ketenagakerjaan
____________________
Penulis Ledy Ummu Zaid
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - “Kuliah di mana?” atau “Kerja di mana?” adalah pertanyaan yang lazim dilontarkan kepada peserta didik yang baru lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, atau kepada Fresh Graduate yang baru lulus dari mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Jika mereka bisa memberikan jawaban yang pasti tentu hal ini akan menjadi suatu kebanggan tersendiri bagi yang ditanya.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak punya jawaban? Orang lain biasanya akan memandang remeh mereka yang ‘menganggur’. Tidak kuliah dan belum mendapat pekerjaan bisa menjadi boomerang bagi diri sendiri yang bisa meledak kapan saja dan tentunya berdampak pada orang lain. Tidak sedikit dari mereka yang stres karena galau membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain hingga akhirnya berani berbuat nekat mengakhiri hidup karena frustasi berkepanjangan.
Di sisi lain, ada fakta yang cukup membuat gregetan, yaitu keterbatasan lapangan pekerjaan yang selalu digaungkan. Dilansir dari laman Kumparan.com (20/05/2024), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah mengatakan Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat ada 9,9 juta penduduk Indonesia yang tergolong usia muda atau Gen Z belum memiliki pekerjaan.
Adapun angka tersebut didominasi oleh penduduk yang berusia 18 hingga 24 tahun. Kemudian, Ida menjelaskan banyaknya anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan ini karena tidak cocok (mismatch) antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini dialami oleh lulusan SMA/SMK yang menyumbang jumlah tertinggi dalam angka pengangguran usia muda.
Dari laman yang berbeda, Money.kompas.com (24/05/2024), terdapat faktor lain yang menyebabkan tingginya angka pengangguran pada Gen Z, yaitu turunnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Hasil olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) milik BPS bulan Februari tahun 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal.
Pekerja sektor formal yang dimaksud adalah mereka yang memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan berbadan hukum. Selama periode 2009-2014, lapangan kerja yang tercipta di sektor formal menyerap sebanyak 15,6 juta orang. Sedangkan jumlah ini menurun menjadi 8,5 juta orang pada periode 2014-2019, dan kembali merosot pada periode 2019-2024 menjadi 2 juta orang saja. Oleh karenanya, peluang masuk pasar kerja formal di Indonesia semakin sulit, termasuk bagi lulusan baru atau fresh graduate.
Tingginya angka pengangguran yang terjadi pada Gen Z di negeri ini menunjukkan adanya keterbatasan lapangan kerja dan gagalnya negara dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai. Menurut data di atas, terdapat hampir 10 juta Gen Z atau generasi yang lahir dari tahun 1997-2012 masih menganggur alias tidak kunjung mendapat pekerjaan setelah lulus mengenyam pendidikan.
Sebenarnya apa yang terjadi? Padahal, sistem pendidikan yang ada terus dievaluasi supaya up to date dengan perkembangan zaman termasuk meningkatkan kurikulum yang mengedepankan soft skill peserta didik. Kemudian, adanya kebijakan negara yang memudahkan investor asing untuk menanamkan sahamnya di Indonesia menjadi faktor minimnya lapangan kerja yang tersedia untuk pekerja lokal. Walhasil, mereka harus bersaing dengan pekerja asing untuk mendapatkan kursi di perusahaan karena negara tak segan untuk impor pekerja asing. Hal ini terbukti dengan banyaknya Warga Negara Asing (WNA) yang dipekerjakan di perusahaan-perusahaan besar hari ini.
Aneh rasanya, dengan dalih adanya ketidaksesuaian antara lapangan kerja yang tersedia dengan pendidikan yang dimiliki Gen Z membuat makin menjamurnya pengangguran di masyarakat. Sebenarnya, jika kita menelisik lebih dalam, maka akan kita temui problematika sistemik yang ditimbulkan dari penerapan sistem kapitalisme sekuler hari ini.
Oleh karena itu, persoalan menjamurnya pengangguran di negeri ini tidak bisa disalahkan hanya kepada Sumber Daya Manusia (SDM)-nya saja, tetapi bagaimana negara dalam mengelola kebijakan terkait, khususnya ketenagakerjaan. Sudah kita ketahui bahwasanya sistem kapitalisme sangat mengagungkan keuntungan atau berasaskan manfaat belaka. Tak ayal, perusahaan akan menimbang suatu kebijakan agar mendapatkan hasil yang paling besar, termasuk mengurangi ketersediaan lapangan pekerjaan yang memicu timbulnya persoalan banyaknya pengangguran hari ini.
Apa yang terjadi hari ini jelas berbeda dengan kondisi masyarakat di mana sistem Islam berhasil mengatur dan memelihara umat selama 13 abad lamanya. Islam hadir tidak hanya sebagai agama, tetapi Islam hadir sebagai suatu ideologi yang kuat di mana sumbernya adalah Al-Qur’an dan As-sunnah, menjadikan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai satu-satunya yang berdaulat membuat aturan di muka bumi.
Adapun dalam sistem Islam, negara menjadikan Sumber Daya Alam (SDA) sebagai milik umum dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara, tidak diberikan kepada asing. Oleh karena itu, pengelolaan SDA oleh negara ini tentu akan membuka lapangan pekerjaan yang besar. Kemudian, adanya aturan yang mewajibkan setiap laki-laki baligh untuk bekerja dan mendapatkan nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarga.
Hal ini didukung dengan baik oleh negara yang akan memberikan sanksi yang tegas kepada laki-laki, khususnya pemimpin keluarga yang enggan bekerja menafkahi keluarganya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (TQS. Al Baqarah: 233).
Begitu indah ketika Islam mengatur kehidupan umat. Islam yang mana rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh alam akan memelihara umat dengan baik dan benar sesuai syariat Sang Pencipta agar hidup dalam kesejahteraan dan keberkahan. Dalam bidang pendidikan misalnya, pendidikan akan diberikan secara gratis kepada setiap individu rakyat.
Kurikulum pendidikan yang ada berbasis syariat Islam dengan mengedepankan pendidikan akidah yang menekankan setiap individu terikat pada hukum syarak sehingga tidak ada yang bermudah-mudahan dalam melakukan kemaksiatan, serta memiliki skill dan mental yang kuat. Selanjutnya, negara akan mengatur SDA yang ada untuk disesuaikan dengan kebutuhan serapan tenaga kerja. Inilah tujuan negara dalam mencetak generasi yang berakhlakul karimah dan berilmu tinggi sebagai pembangun peradaban yang mulia.
Tak hanya sampai di situ, dalam bidang ketenagakerjaan, negara dengan sistem Islam tidak keberatan untuk mendukung setiap individu rakyat yang ingin membuka usahanya sendiri. Dengan pemberian modal yang besar dan mudah, negara akan mendukung rakyat untuk mandiri membuka lapangan pekerjaan bagi yang lain. Tidak seperti hari ini, lapangan pekerjaan terbatas dan persyaratan pekerja juga terbilang cukup sulit. Sehingga yang terserap hanya sedikit saja, tak terkecuali para Gen Z. Inilah akibat dari kapitalisme yang masih diterapkan, jangan heran jika jutaan Gen Z jadi pengangguran. Wallahuallam bissawab. [Dara]