Alt Title

Kenaikan UKT Menzalimi Rakyat

Kenaikan UKT Menzalimi Rakyat

 


Dari sistem pendidikan kapitalistik, anak bangsa akan sangat sulit mendapatkan pendidikan dengan biaya yang murah

Ironisnya lagi, para anak bangsa hanya diarahkan untuk menjadi buruh dari perusahaan mereka

_______________


Penulis Tuti Sugiyatun, S.PdI

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Masih menjadi perbincangan panas soal biaya kuliah yang melambung tinggi. Pasalnya, kenaikan UKT yang ugal-ugalan ini membuat banyak siswa berprestasi menjadi tumbal. Mereka lebih memilih untuk mundur daripada maju dengan biaya yang belum terprediksi darimana sumber dana yang harus dipersiapkan.

        

Sebuah kisah nyata dan pilu dari Siti Aisyah, salah satu dari ribuan orang yang diterima di Universitas Riau (Unri) melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Namun, gadis berusia 18 tahun ini akhirnya lebih memilih mengundurkan diri karena mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Gadis ini sebelumnya dinyatakan lulus jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau dan harus membayar UKT golongan 4 yakni Rp3,5 juta per semester. Padahal, Siti berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ayahnya hanya bekerja sebagai buruh serabutan yang tidak tentu berapa besaran penghasilan dari bekerjanya. (Sindonews.com 23/05/2024)

            

Inilah fakta yang memilukan yang terjadi di negeri yang kaya akan sumber daya alam. Seharusnya, masyarakat bisa menikmati kekayaan alamnya. Akan tetapi kenyataanya, mereka tetap harus berusaha sekuat tenaga untuk meraih apa-apa dengan memeras keringat untuk mewujudkan impiannya. Bentuk usaha untuk mendapatkan prestasi di sekolah harus dengan mengikuti seleksi yang ketat PTN agar impiannya tercapai. Namun, semua itu ternyata sirna  ketika ada ketentuan  kenaikan UKT yang sangat tinggi.

         

Anehnya, Menteri Nadiem Makariem meresponnya dengan mengatakan bahwa kebijakan ini telah memenuhi asas keadilan dan inklusivitas. Keadilan tersebut dihadirkan dengan bentuk UKT berjenjang, yakni mahasiswa yang tidak mampu, membayar sedikit; sedangkan yang mampu, membayar lebih. Hal ini disampaikan olehnya dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR (Tempo, 21-5-2024).

           

Ditambah lagi, Sekretaris Direktorat Jendral Pendidikan Tjitjik Sri Tjahjandar mengatakan bahwa PT merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Alhasil, bantuan operasional PT belum diprioritaskan sehingga tidak wajib setelah SLTA untuk masuk perguruan tinggi. Ia mengatakan ini sifatnya pilihan.


Dengan begitu, berarti PT melakukan diskriminatif terhadap golongan. Betapa kasihan orang yang tak berduit, karena tidak bisa mengenyam pendidikan sampai level S1 bahkan hingga S3, hanya gara-gara biaya yang melambung tinggi. Sehingga, tidak bisa terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Padahal, kita tahu di Indonesia sendiri tingkat lulusan S1 hingga S3 masih sangat minim sekali dibanding negara-negara yang lain, termasuk banyaknya para intelektual yang berkualitas.

       

Ternyata dengan biaya kuliah yang terus naik tidak lepas dari kebijakan pemberian otonomi kampus yang tertuang dalam UU no 12/2012, yang kebijakan tersebut telah menjadikan PT berlomba untuk menjadi PTNBH supaya bisa mengelola secara mandiri. PT juga membuka peluang bebas untuk bekerjasama dengan industri manapun, serta siap untuk membuka dan menutup prodi yang diinginkannya.

        

Apalagi dengan konsep triple helix (menjalin kerjasama antara pemerintah, industri dan PT) benar-benar kian digaungkan. Ending-nya orientasi dari pendidikan sudah bukan lagi untuk mencetak SDM yang berkualitas yang siap untuk memimpin bangsa, tetapi lebih ke pemenuhan tuntutan dunia industri semata.

         

Semua ini adalah akibat dari diterapkannya sistem pendidikan yang kapitalistik, pendidikan yang berorientasi pada pasar. Dengan visi pendidikan yang tak jelas arah yang mau dituju. Sudah tidak aneh lagi saat pendidikan dijadikan komoditas yang bisa diperjualbelikan. Ijazah hanya menjadi selembar kertas untuk mencari cuan. Makin tinggi sekolahnya, peluang mendapatkan cuan akan kian besar.

          

Nah, di sinilah letak peran negara yang abai terhadap pendidikan. Menjadikan sistem pendidikan saat ini semakin hilang arah yang dituju. Dengan alokasi APBN untuk pendidikan yang hanya 20%. Tidak sanggup membiayai biaya operasional pendidikan secara keseluruhan. Yang akhirnya negara menyerahkan dana pendidikan pada masing-masing kampus atas nama otonomi kampus.


Akhirnya industri kian masuk pada kampus dan UKT kian melambung tinggi. Sebab, negara membolehkan siapa pun mengelola SDA. Padahal, SDA merupakan sumber pemasukan negara yang melimpah. Jika dikelola sendiri, kebutuhan hidup rakyat akan terpenuhi, termasuk kebutuhan pendidikannya. Ketika masih tetap dalam pengelolaan kapitalistik, selalu saja negara akan mengalami defisit.

           

Dari sistem pendidikan kapitalistik, anak bangsa akan sangat sulit mendapatkan pendidikan dengan biaya yang murah. Ironisnya lagi, para anak bangsa hanya diarahkan untuk menjadi buruh dari perusahaan mereka. Begitupun para intelektualnya, bungkam tanpa suara ketika kekayaan negara dirampas oleh pihak asing. Tidak berdaya untuk mempertahankan bahkan mengambil kembali. Yang akhirnya mereka mengabdikan dirinya pada materi saja hingga tujuan yang diraih adalah kesenangan dunia.

       

Kapitalisme akan tetap mendiskriminatifkan di setiap lini, termasuk dalam sistem pendidikan. Kebebasan akan menumbuhkan sifat individualisme yang tidak peka terhadap sesama. Inilah demokrasi yang selalu menunjukkan tata kelola yang buruk. Sungguh, negara begitu acuh terhadap nasib dan masa depan rakyat.

       

Dalam Islam, pendidikan adalah satu kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Rakyat tidak akan terbebani dengan mahalnya biaya sekolah. Lalu, dari mana sumber anggaran keuangan tersebut? Tentu, dari pengelolaan SDA secara mandiri dan hasilnya akan di kumpulkan oleh negara di baitulmal, sebagai penyelenggaraan pendidikan berkualitas. Seluruh tata kelola pendidikan akan ada di bawah kontrol penuh negara, sehingga akan terorganisir.

         

Dengan kekuatan dana baitulmal, seluruh warga akan mendapatkan layanan pendidikan yang murah, bahkan gratis. Dengan dorongan akidah, negara akan menciptakan suasana keimanan pada setiap warganya, termasuk suasana mencintai ilmu. Dengan ilmu, akan bertambah ketakwaan mereka. Dengan ilmu pula akan bertambah juga kontribusi mereka terhadap kemaslahatan umat.


Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia.” (HR Ahmad)

        

Dengan demikian, visi pendidikan dalam Islam benar-benar berkualitas menjadikan peserta didiknya bertakwa dan berlomba-lomba memberikan manfaat kepada umat. Nah, semakin jelas dan gamblang pokok akar permasalahan yang membuat rakyat terdiskriminasi adalah sistem negara yang tidak bersandar dengan aturan Allah Swt.. Dengan sistem pemerintahan yang bersandar dengan aturan buatan manusia akan terus menerus menciptakan kemudharatan yang akan menzalimi rakyat. 


Maka dari itu, kita semua harus mau untuk kembali  kepada syari'at Islam secara kaffah. Karena, syari'at Islam yang akan mampu menciptakan kehidupan yang bebas dari kebodohan dan kemiskinan, serta melahirkan generasi emas pembangun peradaban mulia. Wallahuallam Bissawab. [Dara]