Alt Title

Kepentingan Rakyat atau Pejabat? Menelaah Kebijakan Pembagian IUP kepada Ormas

Kepentingan Rakyat atau Pejabat? Menelaah Kebijakan Pembagian IUP kepada Ormas

 


Dalam sistem Islam, tambang dengan deposit besar merupakan milik umum, yaitu milik rakyat secara keseluruhan

Pengelolaannya dilakukan oleh negara

______________________________


Penulis Sonia Rahayu, S.Pd

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Presiden Joko Widodo telah memprioritaskan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan melalui Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2024.


Kebijakan ini menuai kontroversi karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang seharusnya memprioritaskan pemberian IUPK kepada BUMN dan BUMD. Kritikus mengkhawatirkan potensi konflik horizontal, terutama dengan masyarakat adat yang telah lama berseteru dengan perusahaan tambang.


Selain itu, pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan dikhawatirkan dapat menyebabkan disorientasi kelembagaan dan memperburuk kerusakan lingkungan akibat praktik tambang yang tidak berkelanjutan.


Banyak pihak menentang kebijakan ini karena ormas dianggap tidak memiliki kompetensi dalam pengelolaan pertambangan. Namun, Bahlil menyatakan bahwa perusahaan tambang sering dibantu oleh kontraktor, sehingga ormas juga bisa melakukan hal yang sama.


Menurut PP No. 96/2021 Pasal 75 A, WIUPK dapat diberikan secara prioritas kepada badan usaha swasta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan revisi aturan ini, ormas keagamaan berpeluang mengelola tambang.


Ormas GP Ansor menyambut baik rencana ini, meskipun belum menerima tawaran izin tambang. Namun, banyak pihak langsung mengkritik kebijakan ini. Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil, menilai kebijakan ini bukan solusi bagi masalah pertambangan dan berpotensi menyebabkan kerusakan ekologis dari Sumatra hingga Papua.


Greenpeace Indonesia juga menolak rencana ini, dengan alasan bahwa pengelolaan tambang oleh pihak yang tidak berpengalaman akan memperburuk kerusakan lingkungan. 


Kebijakan ini diduga sebagai "politik balas budi" bagi ormas yang mendukung rezim. Pada 2021, Presiden Jokowi menawarkan konsesi pertanian hingga tambang kepada generasi muda ormas keagamaan dalam upaya menarik dukungan untuk Pilpres 2024.


Sebuah ormas dikabarkan telah mengajukan izin usaha pertambangan untuk bekas wilayah konsesi PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur. 


Praktik bagi-bagi IUP ini mencerminkan politisasi yang salah arah, di mana kepentingan pejabat dan kroninya lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Hal ini kontras dengan ajaran Islam yang melarang penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan mengedepankan kepentingan rakyat.


Pengelolaan sumber daya alam dalam sistem kapitalisme sering kali menguntungkan segelintir individu atau kelompok. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menempatkan tambang dengan deposit besar sebagai milik umum dan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.


Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang kebijakan ini dan memastikan semua langkah sesuai dengan hukum yang berlaku, sambil mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ormas keagamaan juga perlu mempertimbangkan dampak moral dan sosial dari menerima tawaran ini.


Dialog antara pemerintah, ormas keagamaan, masyarakat adat, dan pihak terkait lainnya perlu digalakkan untuk mencari solusi yang lebih baik dan menjaga keharmonisan serta keberlanjutan lingkungan.


Pimpinan NU, Muhammadiyah, dan PGI diharapkan memberikan pernyataan resmi untuk mengingatkan pentingnya mematuhi hukum dan memperhatikan dampak sosial dan lingkungan, serta mengajak mencari solusi melalui dialog dan kolaborasi antarpihak.


Dalam sistem Islam, tambang dengan deposit besar merupakan milik umum, yaitu milik rakyat secara keseluruhan. Pengelolaannya dilakukan oleh negara. Hasil pengelolaan tambang tersebut wajib dikembalikan kepada rakyat untuk kesejahteraan mereka, bisa berupa produk jadi seperti migas, maupun berupa layanan publik, seperti penyediaan pendidikan dan kesehatan secara gratis untuk seluruh rakyat.


Jika ditilik dalam sistem Islam juga, politik ditujukan untuk riayah (mengurusi urusan rakyat) berdasarkan syariat Allah Taala. Setiap kebijakan penguasa ditujukan untuk menyejahterakan rakyat secara per-individu, bukan untuk kepentingan pribadi pejabat dan kroninya.


Dengan demikian, terwujud kesejahteraan yang merata. Dengan pengaturan Islam ini, akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk pejabat. Wallahualam bissawab. [SJ]