Meneroka Pilgub Jatim 2024 (1): Khofifah Kembali Berlaga
Analisis
Pola politik demokrasi akan menempatkan calon yang disiapkan agar publik senang
Sementara itu, miskinnya edukasi politik menjadi penyebab rakyat tak pernah beranjak dari kubangan kebodohan politik
_________________________
Penulis Hanif Kristianto
Analis Politik dan Media
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Hiruk pikuk Pilpres 2024 sudah selesai. Khofifah Indar Parawansah, ketika masih menjadi Gubernur Jatim sempat digadang menjadi pendamping salah satu paslon presiden. Sayangnya, Khofifah belum bersedia untuk menjadi cawapres. Tokoh-tokoh nasional sudah menemuinya, termasuk Prabowo. Alhasil arah dukungan Khofifah kepada pasangan 02, Prabowo-Gibran pada pemilu 2024.
Khofifah sebagai politisi perempuan sudah malang melintang. Semenjak duduk di DPR-RI hingga menjadi Menteri. Kemudian menyoba peruntungan di Pilgub Jatim 2018. Itu merupakan ketiga kalinya menyalonkan diri. Akhirnya Khofifah pun jadi menggantikan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Pasangannya, Emil Dardak yang sebelumnya bupati Trenggalek mampu menaikkan daya tawarnya kepada pemilih Jawa Timur.
Seolah menjadi tradisi, jatah dua periode menjabat tak ingin disia-siakan. Apalagi konstitusi sudah memberikan jalan. Bisa jadi incumbent akan melanjutkan dengan pasangan sebelumnya. Tak jarang yang berpisah untuk sama-sama berlaga merebut kuasa. Hal jamak dalam sistem politik demokrasi. Jika seiring-sejalan maka bisa dilanjutkan. Jika berseberangan maka selamat tinggal dan tergantikan.
Pilgub Jatim 2024 tampaknya masih menginginkan Khofifah-Emil dalam satu gerbong. Rekomendasi beberapa partai sudah dikantongi. Kalaulah Khofifah dan Emil berdiri sendiri kemungkinan suara terpecah dan tidak utuh. Daya ungkit Khofifah pun berat jika tanpa Emil. Sebaliknya, Emil tanpa Khofifah pupus sudah harapan untuk menjadi Gubernur dari kalangan muda.
Laga Kedua
Khofifah berlaga keempat kalinya bukan tanpa sebab. Jawa Timur salah satu barometer politik nasional menjadi kunci sebuah pemerintahan. Karenanya, siapapun yang menjadi gubernur Jawa Timur ibarat mendapatkan tiket ke nasional. Porto folio yang sudah terbentuk akan memudahkan menyesuaikan dengan kekuasaan pusat.
Laga kedua Khofifah ini menjadikan rival ketar-ketir. Sampai-sampai kalangan kyai khos dijagokan menantang Khofifah. Tujuannya merebut suara garis bawah di kalangan Islam tradisional yang mengakar. Prediksi melawan kotak kosong mencuat, tetapi pertandingan menjadi tidak asyik kalau calon hanya satu.
Sebuah analisis coba diketengahkan mengurai alasan Khofifah maju yang kedua pasca jadi Gubernur periode pertama. Berikut beberapa analisis untuk mengkaji lebih jauh:
Pertama, duduk di kursi kekuasaan adalah perwujudan ghorizatul baqa’ (naluri mempertahankan diri). Terbiasa dalam pemerintahan selama ada usia dan kekuatan, serta mendapatkan dukungan, maka akan terus dipakai dan diinginkan rakyat.
Kedua, kepentingan partai politik yang ingin mengokohkan eksistensinya di daerah. Meski di pusat koalisinya bisa beragam ketika diwujudkan di daerah. Koalisi menjadi forum yang cair. Kepentingan di daerah juga menjadi kepanjangan tangan untuk kesuksesan suksesi kepemimpinan nasional.
Ketiga, figur Khofifah mewakili kelompok generasi tua. Publik masih menilai belum ada pengganti yang cocok untuk Jatim-1. Jika berpasangan dengan Emil, maka akan menggenapkan kolaborasi dengan generasi muda.
Keempat, rakyat Jawa Timur, setidaknya merasakan manfaat kehadirannya dalam pencapaian dan pelayanan publik. Hal ini memang standarnya relatif. Karena masih banyak catatan terkait jalannya pemerintahan selama 5 tahun kepemimpinannya.
Kelima, leadership Khofifah yang ditopang oleh Muslimat NU. Karakteristik utama pemimpin ada padanya secara personal. Ceruk suara perempuan yang besar inilah menjadi modal, selain dukungan Kyai Khos di belakangnya.
Kembalinya di laga kedua tak semata-mata ingin dikenang, tapi juga menunjukkan diri sebagai pemenang. Pola politik demokrasi akan menempatkan calon yang disiapkan agar publik senang. Sementara itu, miskinnya edukasi politik menjadi penyebab rakyat tak pernah beranjak dari kubangan kebodohan politik. Alhasil, rakyat kerap tidak peka dalam check and balance sebuah pemerintahan. Biasanya setelah menyoblos, rakyat sudah tidak terpikir. Sak karepe sing menang.
Pembelajaran Penting
Masyarakat Jawa Timur perlu belajar lebih dalam model politik demokrasi. Pemilu 2024 yang barusan berlalu hendaknya rakyat tak lagi tertipu. Demokrasi telah menyuap rakyat dengan uang politik demi memilih. Beban berat politisi karena gagal mendapatkan simpati. Apalagi gagasan demokrasi sebatas janji. Rakyat pun dibuat tak bertaji.
Pilgub Jawa Timur 2024 tampaknya pola tak jauh berbeda. Koalisi antarpartai yang meniadakan ideologi. Pelibatan kyai untuk menarik massa dan dukungan publik. Serta kepentingan oligarki dan pemilik modal untuk tetap kokoh mengeruk uang.
Kiranya, publik pun mengingat demokrasi yang membawa madharat. Jangan sampai publik terpolarisasi. Janji-janji kosong penuh basa-basi. Uang yang sudah digelontorkan dalam perhelatan pemilihan sekedar mengatasnamakan rakyat. Rakyat diperas dengan cara yang tak cerdas. Selama ini demokrasi identik dengan pemborosan yang nilainya membosankan.
Jika berkaca pada politik Islam, gubernur setingkat wali (pemimpin sebuah wilayah). Maka tak perlu ada pemilihan langsung, cukup khalifah yang menunjuknya. Perlu dipahami kepemimpinan Islam berbeda dengan demokrasi. Tujuan dalam Islam untuk menaati Allah dan Rasul-Nya dengan menerapkan syariah kafah. Syaratnya laki-laki, muslim, beriman, baligh, berakal, merdeka, dan mampu menjalankan roda pemerintahan. Jadi tidak asal comot. Apalagi modal sokongan keluarga penguasa yang berbentuk dinasti politik. Wallahualam bissawab. [GSM]