Alt Title

Meneroka Pilgub Jatim 2024 (2): Dekengan Mas Gibran?

Meneroka Pilgub Jatim 2024 (2): Dekengan Mas Gibran?

 


Jabatan bisa menjadi kemuliaan kalau amanah dan menjalankan syariat Allah Swt.

Sebaliknya, jabatan menjadi kehinaan kalau khianat dan menipu rakyat

______________________________


Penulis Hanif Kristianto 

Analis Politik dan Media


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Siapa pun yang menaruh perhatian pada Pilgub Jatim 2024 akan menyaksikan politik balas budi. Hal biasa dalam politik demokrasi atas ucapan terima kasih.


Tak terkecuali Gibran sebagai wapres terpilih yang akan mendukung Khofifah Indar Parawansa. Pola ini imbas dari pilpres 2024 setelah Khofifah mendukung pasangan 02. Posisi Khofifah berada di atas awan. Karenanya partai yang oposisi mencari lawan sepadan.


Jawa Timur bagi perpolitikan nasional jadi wilayah tak boleh terlupakan. Terlebih menyokong stabilitas politik nasional. Ke depan pemerintahan akan memastikan tiap daerah untuk bersama terkait ibu kota baru di Nusantara, IKN. Pilkada 2024 tak bisa berlepas dari Pemilu 2024 yang baru saja digelar dan menghasilkan transisi pemerintahan baru.


Kehadiran Mas Gibran di Jawa Timur istilah Jawanya memberikan sokongan dan dukungan. Kata yang viral saat ini ‘dekengan’. Ketika dekengan pusat turun gunung, maka siapa pun yang akan memberi perlawanan berhitung.


Karenanya tampak dari beberapa partai lawan akan mengusung calon yang sepadan dan merebut suara akar rumput. Konsentrasi suara massa masih dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ke depan pertarungan akan sengit sesama dari kalangan NU yang melibatkan kyai, bu nyai, gawagis, nawaning, santri, dan kalangan umum.


Politik Balas Budi

Politik balas budi dikenal dengan ‘politik etis’. Sikap ini merupakan kerja sama, saling menghormati, dan saling mendukung antarelite politik. Hal ini mengokohkan dukungan dan prospek pemerintahan ke depan.


Terkadang tak etis juga, rakyat hanya mendapatkan remah-remah. Seolah pandangan tidak tertuju lagi kepada rakyat. Kondisi ini mengonfirmasi sistem politik demokrasi telah bergeser dari rakyat kepada kepentingan elite politik.


Terdapat politik balas budi pada Pilgub Jatim 2024 bisa dianalisis sebagai berikut:

Pertama, Khofifah pascadeklarasi dirinya mendukung paslon 02, Prabowo-Gibran, tim kampanye paslon tancap gas. Khofifah menjadi salah satu kepala daerah yang berada di barisan 02.


Hadir pula pada debat capres-cawapres di Jakarta dengan kostum khas kampanye 02. Keberpihakan Khofifah juga tampak pada kepala daerah lainnya. Memiliki DNA Muslimat NU, tak serta merta mendukung calon dari partai yang sering mengatasnamakan partai besar warga NU.


Kedua, mengonfirmasi daya dukung dari daerah, khususnya Jawa Timur, all out memenangkan paslon 02. Hal ini menjadi bagian komunikasi politik dengan publik berpengaruh setingkat pejabat atau pemimpin daerah. Hasilnya pun terlihat signifikan di arus bawah yang awal belum menentukan pilihan, terpapar ikut-ikutan.


Ketiga, harapan suksesi kepemimpinan nasional berjalan mulus. Sekaligus memetakan wilayah yang bersama pemerintahan baru dengan potensi sumber daya potensialnya. Transisi nasional sudah terjadi pemanasan dan tanpa gangguan. Berbagi jabatan dengan posisi potensial sudah dibayangkan dan digadang-gadang.


Keempat, kalaulah Khofifah belum beruntung memenangi Pilgub 2024, paling tidak kesempatan menjadi bagian pemerintahan didapat. Minimal menteri dengan pos yang sesuai dengan gaya kepemimpinannya. Pola ini dipahami untuk melanjutkan eksistensi pemerintahan baru dengan gaya baru melanjutkan sebelumnya.


Kelima, jika dekengan Mas Gibran menguat untuk pasangan Khofifah-Emil, maka ini sinyal bagi lawan di Pilgub. Siapa pun yang maju perlu memahami bahwa dekengane pusat berada di pasangan ini.


Sinyal politik yang diberikan menjadi dua kemungkinan. Maju dengan segala daya upaya titik darah penghabisan untuk bisa menang. Mundur karena lawan kuat tiada tanding dengan dukungan sumber daya dan sumber dana yang cukup.


Keenam, oligarki ekonomi yang menanam investasi pun merapat ke Khofifah-Emil. Ibaratkan masih ada komunikasi dan kontrak yang perlu berlanjut. Ini juga yang akan mengikutkan oligarki, relawan, dan siapa pun yang kemarin mendukung paslon 02 berada di barisan Khofifah-Emil.


Alhasil, kekuatan yang digalang Mas Gibran bersama barisan sementara ini bisa mengantarkan kemenangan 80%. Belajar dari pilkada beberapa daerah, incumbent lebih mudah menang. Hal ini jika kinerja selama periode sebelumnya dikenal baik dengan bukti, fakta, dan pencitraan media. Rakyat sendiri memandang apa yang tampak.


Dekengan Menguatkan atau Melemahkan?

Sistem politik demokrasi menyandarkan dukungan dari manusia. Makhluk ciptaan Allah ini sebenarnya terbatas, lemah, dan tidak memiliki daya kekuatan. Kalaupun dukungan dan keberanian muncul, tak lepas dari kalkulasi kekuatan yang menjanjikan. Hal jamak terjadi di negeri ini, kalau sudah dekengane pusat kekuasaan, siapa pun minggat dan minggir.


Bisa jadi dekengan dalam Pilgub ini menjanjikan kekuatan dan kemenangan salah satu paslon. Hanya ini semua tidak ada gratisan. Bayaran bukan semata uang, tetapi kekuasaan dan kedudukan dalam pemerintahan. Bagi-bagi proyek dan saling menagih janji setelah kemenangan diumumkan.


Sistem politik demokrasi yang kekinian bertambah liberal. Biaya mahal tak terhindarkan. Manipulasi dan akrobatik aturan pelaksanaan ditabrak habis-habisan. Jutaan pasang mata mengawasi biar jujur dan adil, masih bisa tertipu dengan muslihat oknum nakal. Rakyat yang menginginkan sebuah hal baru, dikadali dengan jargon tak bermutu.


Demi sebuah jabatan dalam kekuasaan demokrasi dukungan manusia begitu berarti. Sayangnya, manusia terkadang lupa jika jabatan sementara. Jabatan bisa menjadi kemuliaan kalau amanah dan menjalankan syariat Allah Swt..


Sebaliknya, jabatan menjadi kehinaan kalau khianat dan menipu rakyat. Praktik demokrasi yang kotor dan liberal telah membawa kehidupan bernegara kepada jurang kehancuran. Bukannya rakyat diurusi, malah diperasi. Bukannya rakyat dienakkan, malah dininabobokan.


Oleh karena itu, perlu menilik kembali politik berasal dari Allah Swt. dalam Islam. Politik Islam yang agung tak perlu dekengan manusia. Dekengane pusat yaitu dari Allah Swt. jika menjalankan syariat Islam.


Politik demokrasi telah melahirkan perilaku korup, tegaan, tak berperikemanusiaan, dan aturan yang menyengsarakan rakyat. Sebaliknya, dalam aturan Islam lebih menenteramkan jiwa, memuaskan akal, dan sesuai fitrah manusia. Maka, kembali kepada dekengan Allah jauh lebih bermartabat dan membawa maslahat. Wallahualam bissawab. [SJ]