Menyoal KRIS JKN
OpiniKRIS hanya memperkuat industrialisasi kesehatan dan peran negara sebagai regulator
Kepentingan bisnis BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan swasta, serta fasilitas kesehatan yang dikelola secara bisnis, menambah buruk situasi ini
_________________________
Penulis Ummu Hanan
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dikutip dari cnnindonesia.com (29/05/24), Pemerintah telah menerbitkan Perpres 59/2024 mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang menetapkan bahwa pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan akan menggunakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Menurut dr. Syahril, juru bicara Kemenkes, KRIS bertujuan untuk meningkatkan layanan dan keselamatan pasien BPJS. Saat ini, ruang kelas 3 di rumah sakit masih memiliki 8-12 tempat tidur dan kamar mandi terpisah di luar ruangan. Dengan Perpres ini, nantinya satu ruang perawatan maksimal hanya akan memiliki 4 tempat tidur dan kamar mandi dalam ruangan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi menjelaskan bahwa standar layanan disederhanakan dan kualitasnya ditingkatkan. Tarif iuran BPJS untuk KRIS akan ditentukan pada 1 Juli 2025, sementara tarif saat ini masih mengikuti Perpres No. 64/2020 dengan skema kelas 1, 2, dan 3. Untuk peserta mandiri, iuran kelas 1 adalah Rp150 ribu, kelas 2 Rp100 ribu, dan kelas 3 Rp42 ribu per orang per bulan, dengan subsidi pemerintah sebesar Rp7 ribu sehingga peserta kelas 3 hanya membayar Rp35 ribu.
Direktur BPJS Kesehatan Ghufron juga menyebutkan bahwa masih ada kelas standar, kelas 2, kelas 1, dan kelas VIP, tetapi ini berkaitan dengan aspek nonmedis.
KRIS BPJS Kesehatan: Sesat Pikir
Dari sudut pandang kemanusiaan, kualitas layanan kesehatan seharusnya diukur dari kemampuannya memberikan kesembuhan secara efektif. Baik dari sisi medis maupun nonmedis, serta dari apakah layanan tersebut gratis atau tidak. KRIS tidak memenuhi kriteria ini, sehingga mengklaim bahwa KRIS meningkatkan kualitas layanan adalah bentuk sesat pikir.
KRIS menunjukkan pragmatisme kapitalisme yang menonjol dalam kebijakan ini, akibat pengaruh sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalisme. Hubungan antara rakyat dan penguasa lebih seperti hubungan bisnis yang tanpa empati, yang terlihat jelas dalam kebijakan JKN.
Selama industrialisasi dan kepentingan ekonomi mendominasi pelayanan kesehatan, tidak akan ada layanan kesehatan yang benar-benar berkualitas. Masyarakat dibebani biaya premi yang tinggi, pelayanan diskriminatif, dan kualitas perawatan yang buruk, sebagaimana yang diakui oleh WHO.
KRIS hanya memperkuat industrialisasi kesehatan dan peran negara sebagai regulator, yang menambah beban finansial masyarakat dan mengancam kesehatan publik. Kepentingan bisnis BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan swasta, serta fasilitas kesehatan yang dikelola secara bisnis, menambah buruk situasi ini.
Islam Menjaga Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pelayanan kesehatan berkualitas sejatinya hanya dapat dirasakan di bawah sistem Islam. Yang bebas dari industrialisasi dan bisnis. Dalam Islam, kesehatan dipandang sebagai kebutuhan dasar publik dan negara bertanggung jawab penuh atas pelayanan ini.
Negara Islam berfungsi sebagai pelindung dan pengurus rakyat, memastikan pelayanan kesehatan dikelola dengan prinsip sosial. Terdapat dua kunci penting dalam politik kesehatan Islam: kejelasan tanggung jawab penguasa dan konsep yang sahih dalam pelayanan kesehatan.
Penguasa dalam Islam harus berkepribadian Islami, berempati, dan bertanggung jawab penuh terhadap rakyat. Pelayanan kesehatan Islam bersifat antidiskriminasi, sentralisasi kekuasaan dengan administrasi yang sederhana dan cepat, serta diberikan secara gratis.
Dengan sistem preventif berbasis kehidupan Islam, angka kesakitan akan menurun drastis. Islam juga memastikan distribusi dokter dan fasilitas kesehatan yang merata dengan dukungan finansial negara melalui baitul mal.
Sejarah membuktikan bahwa di bawah naungan Islam, pelayanan kesehatan tersebar luas, berkualitas, dan manusiawi. Oleh karena itu, penerapan Islam sebagai pelaksana politik kesehatan Islam merupakan solusi utama untuk pelayanan kesehatan berkualitas. Wallahualam bissawab. [GSM]