Alt Title

Perebutan Kekuasaan di Pilkada: Kepentingan Rakyat atau Elite?

Perebutan Kekuasaan di Pilkada: Kepentingan Rakyat atau Elite?

 


Dalam Islam, kekuasaan bukanlah sekadar sarana untuk meraih prestise dan materi

Kekuasaan adalah amanah yang membawa konsekuensi besar, yaitu tanggung jawab riayah (pengurusan) terhadap rakyat

______________________________


Penulis Endah Dwianti, S.E , CA., M.Ak.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pengusaha


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, atmosfer politik makin memanas. Partai-partai politik berlomba-lomba mengusung calon yang dianggap mampu menarik simpati rakyat.


Fakta bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengizinkan calon legislatif terpilih untuk tetap maju dalam pilkada tanpa harus mundur dari jabatannya menunjukkan betapa seriusnya perburuan kursi kekuasaan ini. (Nasional.Tempo.co, 12 Mei 2024)


Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, menyatakan caleg terpilih dalam Pemilu 2024 tidak perlu mundur dari jabatannya jika mengikuti Pilkada 2024. Caleg yang terpilih dari Pemilu 2019 dan kembali terpilih dalam Pemilu 2024 harus mundur jika maju dalam Pilkada. Penting bagi calon yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mundur jika telah dilantik. (Tirto.id, 10 Mei 2024)


Sementara itu, Pilkada Jawa Barat 2024 dipandang sebagai ajang bagi partai politik untuk memperkuat posisi di panggung politik nasional.


Suara Rakyat dan Kepentingan Elite Oligarki

Dalam konteks Pilkada, suara rakyat kembali diburu dengan berbagai cara, mulai dari janji-janji manis hingga strategi mengandalkan popularitas calon. Namun, sering kali tujuan utama dari kontestasi ini bukanlah untuk kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan elite oligarki yang mendominasi panggung politik. 


Janji-janji kampanye yang manis dan populis kerap kali menguap begitu kandidat terpilih, sementara rakyat tetap merasakan realitas pahit dari ketidakadilan dan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan mereka.


Demokrasi dan Berburu Kedudukan

Fenomena ini adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi yang kita jalani saat ini. Berburu kedudukan sebagai penguasa menjadi hal yang lazim karena kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk meraih materi dan prestise. 


Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat, justru sering kali menjadi ajang perebutan kekuasaan di mana kepentingan rakyat terpinggirkan.


Pandangan Islam tentang Kekuasaan

Dalam Islam, kekuasaan bukanlah sekadar sarana untuk meraih prestise dan materi. Kekuasaan adalah amanah yang membawa konsekuensi besar, yaitu tanggung jawab riayah (pengurusan) terhadap rakyat. 


Seorang pemimpin dalam Islam akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas bagaimana ia mengelola amanah tersebut. Seorang kepala daerah (wali atau amil) dipilih oleh khalifah dengan tujuan untuk menjalankan tugas-tugas kepemimpinan di daerahnya sebagai perpanjangan tangan dari khalifah. 


Mereka bukanlah penguasa tunggal daerah yang memiliki kekuasaan mutlak, melainkan pelayan rakyat yang harus memastikan kesejahteraan dan keadilan ditegakkan sesuai dengan hukum syariat.


Pemilihan Kepala Daerah dalam Islam

Proses pemilihan kepala daerah dalam Islam jauh lebih sederhana, cepat, murah, efektif, dan efisien dibandingkan dengan sistem demokrasi modern. Khalifah, sebagai pemimpin tertinggi, memiliki kewenangan untuk memilih dan mengangkat wali atau amil yang akan bertanggung jawab atas suatu wilayah. Pemilihan ini dilakukan berdasarkan kriteria kemampuan dan keadilan, bukan berdasarkan popularitas atau kepentingan politik tertentu. 


Proses ini memastikan bahwa kepala daerah yang terpilih adalah individu yang benar-benar mampu menjalankan tugas-tugas pemerintahan dengan baik dan adil.


Menerapkan Hukum Syariat

Tegaknya kekuasaan dalam Islam didasarkan pada satu tujuan utama yaitu penerapan hukum syariat. Tidak ada kepentingan lain selain memastikan bahwa hukum Allah ditegakkan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Pemimpin dalam Islam dituntut untuk berkomitmen penuh terhadap syariat dan tidak boleh mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan. 


Inilah yang membedakan sistem pemerintahan Islam dengan sistem demokrasi modern, di mana sering kali kepentingan elite politik lebih dominan daripada kepentingan rakyat banyak.


Pilkada 2024 kembali menjadi ajang bagi partai-partai politik dan calon-calon yang haus akan kekuasaan untuk berlomba-lomba mendapatkan kursi panas. 


Di tengah ingar-bingar politik ini, rakyat sering kali diperdaya dengan janji-janji manis yang tidak realistis. Sistem demokrasi yang kita jalani saat ini kerap kali memprioritaskan kepentingan elite oligarki di atas kepentingan rakyat. 


Dalam Islam, kekuasaan dipandang sebagai amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, dan proses pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara yang lebih sederhana, cepat, dan berfokus pada kesejahteraan rakyat serta penerapan hukum syariat. 


Sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali sistem pemerintahan yang lebih adil dan efektif demi kebaikan seluruh rakyat. Itu hanya akan terjadi ketika sistem Islam tegak. Wallahualam bissawab. [SJ]