Alt Title

Politik Dinasti, Siap Melanggengkan Oligarki?

Politik Dinasti, Siap Melanggengkan Oligarki?

 


Penguasa dalam sistem pemerintahan Islam tidak akan memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya

Para penguasa takut terhadap azab Allah Swt. bagi orang-orang yang mengkhianati amanah kekuasaan

__________________


Penulis Triana Amalia, S.Pd 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bau nepotisme masih tercium dengan keputusan terbaru Mahkamah Agung (MA). Dikutip dari Tirto.id, pada tanggal 23 April 2024 lalu, Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, memasukkan permohonan hak uji materi (HUM) terhadap Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 perkara Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota ke Mahkamah Agung. 


MA menyetujui gugatan Partai Garuda mengenai batas usia kepala daerah. Saat ini, tak harus berusia 30 tahun untuk bisa mendaftar calon gubernur dan wakil gubernur. KPU RI diberi perintah oleh MA agar mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan keempat atas peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota. (Kumparan News, 30/05/2024)


Ahli hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraeni menilai bahwa putusan MA seolah menjadi replikasi atas pengujian serupa saat pilpres lalu. Titi menekankan pada Pasal 7 Ayat 2 Huruf e UU Pilkada yang telah mengatur bahwa calon kepala daerah harus memenuhi persyaratan batas usia paling rendah 30 tahun. 


Peneliti politik dari BRIN Aisah Putri Budiarti menyebut, terdapat kecurigaan yang menguatkan dugaan kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu dalam putusan MA tentang syarat usia calon kepala daerah. 


Situasi ini serupa dengan fenomena yang terjadi saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat batas usia capres dan cawapres yang memuluskan langkah Gibran mencalonkan diri. (BBC News Indonesia, 02/06/2024)


Keputusan ini jelas dipersembahkan untuk putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep maju di Pilkada 2024. Usia Kaesang baru 29 tahun. Fakta dihapusnya batas usia minimal 30 tahun untuk calon kepala daerah maka hampir dipastikan Kaesang bisa mencalonkan diri. (Okenews, 02/06/2024)


Akibat keputusan tersebut, membuat warganet membuat plesetan bahwa MA itu kepanjangan dari Mahkamah Adik. Ketika pemilihan calon wakil presiden MK melakukan hal yang sama, warganet juga memberikan plesetan untuk MK menjadi Mahkamah Kakak. 


Inilah potret kenyataan sistem pemerintahan ala kapitalis yang bernama demokrasi. Orang-orang yang berkecimpung di dalamnya disebut oligarki. Demokrasi terpandang hanya bisa diduduki oleh orang berduit saja untuk melanggengkan kekuasaannya. 


Politik dinasti ini sudah lama dipraktikkan dalam sistem demokrasi. Tujuan keluarga penguasa ini agar merain keuntungan materi sebesar-besarnya. Mereka bermodalkan segala cara. Kapitalisme sebagai pemikiran yang menjauhkan agama dari kehidupan akan menghalalkan segala cara untuk menguasai sebuah wilayah, termasuk menabrak hukum. 


Hasilnya, supremasi hukum yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Indonesia dianggap tidak bernilai dan tunduk pada kepentingan dinasti. Parahnya, politik dinasti ini tidak hanya melibatkan eksekutif (penguasa) dan legislatif (partai penguasa di parlemen), tetapi juga yudikatif (peradilan). Jadilah keputusan hakim tidak objektif lagi, melainkan disetir oleh kekayaan penguasa. 


Demokrasi yang terkenal dengan slogan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, realitasnya pihak yang berperan adalah oligarki. Hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki privilese di pemerintahan sebelumnya untuk memangku kebijakan selanjutnya. 


Pemerintahan yang dilahirkan dari kapitalisme demokrasi akan selalu zalim dan menyakiti masyarakat. Apalagi produk perundang-undangan yang menyengsarakan rakyat menengah ke bawah. Tidak cukup menghabiskan uang rakyat demi mewujudkan ambisi pribadi, penguasa bahkan memalak rakyat melalui pungutan legal atas nama undang-undang. Alasan inilah mengapa demokrasi yang dikuasai oligarki harus berakhir. 


Solusi yang menyentuh akar permasalahan ini adalah Islam yang berperan sebagai ideologi. Islam yang diciptakan langsung oleh Allah Swt. tentu memahami kebutuhan hidup masyarakat. Sistem pemerintahan yang ditawarkan memiliki tujuan yaitu, riayah syu’unil umah (mengurusi urusan rakyat). 


Kekuasaan yang dipegang hanya untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan oligarki. Sikap ini lahir dari keyakinan akidah dan menjalankan sabda Nabi Muhammad saw..


Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, istri pemimpin bagi keluarga rumah suaminya dan anak-anaknya. Dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian akan bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari)


Mengikuti hadis di atas, penguasa dalam sistem pemerintahan Islam tidak akan memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Sebab, para penguasa dalam naungan sistem Islam takut terhadap azab Allah Swt. bagi orang-orang yang mengkhianati amanah kekuasaan. 


Sistem pemerintahan Islam memiliki mekanisme yang efektif untuk mewujudkan pemimpin yang adil dan amanah. Syarat kepala negara dalam Islam, yakni: laki-laki, muslim, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu memikul amanah kepemimpinan. Syarat-syarat itu akan mengeliminasi orang-orang yang tidak layak memimpin, termasuk dari sisi keadilan maupun kecakapan. 


Adapun proses seseorang menjadi gubernur (wali) atau bupati/ wali kota (amil) adalah melalui penunjukkan langsung oleh pemimpin negara (Khalifah), menggunakan ketujuh syarat yang disebutkan. 


Jika dalam perjalanan pemerintahannya ada wali atau amil yang berkhianat maka langsung diberhentikan oleh khalifah. Pencabutan kekuasaan ini tidak menunggu selesainya masa jabatan lima tahunan. 


Inilah potret sistem pemerintahan yang mengedepankan keadilan bagi rakyat. Seseorang yang punya rekam jejak buruk tidak akan terpilih menjadi pemimpin negara. Rakyat sangat diperbolehkan untuk memuhasabahi penguasa. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan kepala pemerintah rakyat diminta melaporkan kepada khalifah atau mahkamah mazalim. 


Demikianlah, supremasi hukum dijunjung tinggi. Kekuasaan dimanfaatkan untuk menjalankan syariat Islam yang dapat menyejahterakan rakyat tanpa memandang status sosial. Wallahualam bissawab. [Dara]