Politik Transaksional Adalah Keniscayaan Dalam Demokrasi
Opini
Inilah realitas pahit dalam sistem politik demokrasi
Politik transaksional menjadi habit yang tidak berkesudahan
____________________
Penulis Rifka Nurbaeti, S.Pd
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bagi-bagi jatah kursi komisaris di BUMN bagi pendukung Prabowo akhir-akhir ini menuai reaksi di tengah-tengah masyarakat. Mantan wakil ketua Dewan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie diangkat menjadi Komisaris Mining Industry Indonesia (MIND ID). Selain Grace, Fuad Bawazier, seorang politikus dari Partai Gerindra, juga menduduki jabatan komisaris utama.
Penunjukan beberapa politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai komisaris di perusahaan-perusahaan pelat merah dianggap bentuk konflik kepentingan. Penempatan jabatan di sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak didasarkan pada profesionalisme dan kompetensi yang memadai diyakini akan mempengaruhi tata kelola perusahaan, merusak budaya profesionalitas, serta menimbulkan spekulasi bisnis yang negatif. (voaindonesia.com)
Konsekuensi dari mahalnya kontestasi demokrasi yakni lahirnya politik transaksional. Bukan rahasia lagi saat ingin menjadi pejabat negara, individu tersebut harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Misalnya untuk kampanye, makin tinggi jabatannya, makin besar pula ongkosnya. Sebagaimana kritik keras yang dilayangkan oleh seorang filsuf Yunani yaitu Plato mengenai sistem Demokrasi. Plato mengatakan bahwa kebebasan dalam demokrasi dapat menghasilkan suatu oligarki ephitumia, yakni terpilihnya segelintir orang karena faktor kekayaan untuk memegang kekuasaan dan mereka mempunyai tujuan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan mereka.
Dalam sistem demokrasi politik balas budi dan transaksional seolah sudah menjadi habit. Bagi para penguasa, BUMN bagaikan alat untuk bagi-bagi kursi komisaris bagi para loyalisnya. Sepertinya kursi komisaris terasa “manis” sehingga siapa pun yang berjasa dalam memenangkan paslon pemenang bisa mendudukinya meski kurang kompeten dan belum layak. BUMN juga kerap jadi lahan basah berbagi kue kekuasaan. Perusahaan milik negara tersebut akhirnya mendadak berubah jadi perusahaan milik pribadi penguasa. Inilah realitas pahit dalam sistem politik demokrasi. Politik transaksional menjadi habit yang tidak berkesudahan.
Dalam praktik politik, sekularisme demokrasi telah melahirkan para politisi dan pemimpin yang menjalankan amanah dengan menghalalkan segala cara. Relasi rakyat dan penguasa hanya sebuah formalitas. Dalam tataran realitas, bekerja untuk rakyat hanyalah jargon belaka. Sistem Islam menempatkan pembahasan kepemimpinan berdasarkan dalil-dalil syariat. Kepemimpinan merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.. Dengan sendirinya, pelaksanaan wewenang kekuasaan meski merujuk kepada syariat.
Rasulullah saw. bersabda, “kekuasaan adalah amanah. Ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, serta menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim)
Sistem politik Islam berdasarkan akidah Islam. Alhasil, sosok yang mencalonkan diri untuk kepemimpinan umat adalah ia yang bertakwa pada Allah Taala. Motivasi yang terbangun dalam diri setiap kandidat bukan materi, melainkan ridha-Nya. Ketaatan penguasa dalam menerapkan syariat, harus diiringi keimanan dalam mengemban amanah kekuasaan sehingga menjadikan mereka sosok pemimpin yang takut merumuskan kebijakan yang timpang. Kemaslahatan rakyat adalah tujuan utama pelaksanaan syariat. Seorang pemimpin wajib menjauhkan kepentingan pribadi atau pihak tertentu saat merumuskan kebijakan. Penyalahgunaan kekuasaan dengan dalih apapun merupakan perkara yang tidak boleh penguasa lakukan.
Kontestasi politik dalam sistem Islamm tidak membutuhkan money politik. Hal ini dikarenakan syarak telah menihilkan campur tangan pengusaha yang ingin mengendalikan kebijakan. Dari sini akan tercipta kebijakan independen yang fokus pada kemaslahatan umat. Seharusnya, mindset “penguasa adalah pelayan rakyat” akan benar-benar bisa terealisasi. Mindset ini telah disebutkan di dalam banyak hadis dan dicontohkan oleh khulafa. Kisah Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang masyhur, misalnya, ia sendiri yang memanggul karung yang berisi makanan untuk diberikan kepada seorang ibu dan anak-anaknya yang mengalami kelaparan. Inilah bukti bahwa Khalifah Umar memosisikan dirinya sebagai pelayan umat.
Inilah dampak dari politik transaksional yang hanya melahirkan penguasa rasa pengusaha. Oleh karena itu, mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan mindset bahwa penguasa adalah pelayan bagi rakyatnya. Dengan begitu, akan lahir kehidupan yang penuh keadilan dan kesejahteraan. Wallahualaam bissawab. [Dara]