Tapera, benarkah untuk rakyat?
Opini
Ini adalah bentuk pemaksaan kepada rakyat dengan mewajibkan seluruh pekerja menjadi anggota Tapera
Lebih ke pemalakan gaya baru dengan iming-iming perumahan
____________________
Penulis Tuti Sugiyatun S.Pd I
Kontributor Media Kuntum Cahaya, Praktisi pendidikan dan Aktivis dakwah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Baru-baru ini ramai di media berita Tapera (tabungan perumahan rakyat). Dirancang oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyat yaitu perumahan. Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ini menjadi polemik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera.
Gelombang penolakan terus terjadi, lantaran PP tersebut akan mewajibkan perusahaan memotong gaji pekerja swasta. Artinya, para karyawan akan mendapatkan potongan gaji sebesar 3% sebagai iuran Tapera, dengan rinciannya 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi kerja.
Presiden partai buruh Said Iqbal juga ikut menyoroti PP tersebut, menurutnya iuran Tapera 3% itu tidak masuk akal. Ia juga mempertanyakan kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung. “Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% itu tidak akan mencukupi bagi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya. (SINDOnews.com 30/5/24)
Dengan potongan Rp105.000 per bulan, ketika dikumpulkan selama 20 tahun hanya terkumpul kurang lebih 25 jutaan. Maka timbul pertanyaan, apakah dengan uang itu seseorang akan mendapatkan rumah? Tentu saja hal itu sangat tidak masuk akal. Karena, tidak akan ada perumahan seharga kisaran 25 juta.
Selidik punya selidik ternyata dari seluruh pekerja maupun pekerja mandiri, tidak terkecuali ojol juga harus menjadi peserta Tapera dan wajib membayar iuran. Lalu bagi peserta Tapera yang tidak membayar iuran, maka sanksi telah disiapkan. Sungguh tragis, di saat rakyat kesusahan karena di bebani berbagai macam iuran mulai dari Jamsostek, BPJS kesehatan, pajak penghasilan, malah sekarang ditambah lagi iuran Tapera yang tidak tahu kemana arahnya.
Inilah salah satu bentuk kezaliman negara yang dilegalkan dengan aturan resmi berupa PP Nomor 25 Tahun 2020. Di dalam peraturan itu disebutkan bahwa apabila pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta Tapera, kemudian tidak membayar iuran yang sesuai dengan ketentuan, maka akan mendapatkan sanksi berupa peringatan tertulis, denda administratif, pembekuan izin usaha, bahkan sampai pencabutan izin usaha.
Ini adalah bentuk pemaksaan kepada rakyat dengan mewajibkan seluruh pekerja menjadi anggota Tapera, atau lebih ke pemalakan gaya baru dengan iming-iming perumahan. Seharusnya, yang bertanggungjawab atas hajat hidup rakyat itu adalah negara, salah satunya dengan menyediakan perumahan bagi rakyat, bukan memotong secara paksa gaji para pekerja. Hal ini sama saja memiskinkan para pekerja secara perlahan. Pada akhirnya rakyat tak bedaya, atau dengan kata lain menghisap darah rakyat untuk kepentingan tertentu.
Setiap kebijakan baru, muncul proyek baru pula, dan dari proyek baru itu selalu berpotensi munculnya peluang korupsi. Masih ingatkah dengan kasus Korupsi Asabri, Jiwasraya, Taspen, apakah itu tidak cukup bukti agar pemerintah belajar dari kasus tersebut. Bukan malah membuka peluang munculnya masalah baru, dengan simpanan yang begitu panjang. Siapa yang bisa menjamin dana simpanan Tapera itu diam dan tenang di tempatnya? Justru akan berpotensi munculnya tindak korupsi.
Minimnya kepedulian pemerintah menjadi sebab ketidakpekaaan terhadap pokok permasalahan yang sedang dihadapi rakyat. Pemerintah tidak merasakan bagaimana kesulitan dan beban rakyat yang kian hari kian menghimpit. Rakyat harus bekerja keras, membanting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena tidak adanya jaminan dari pemerintah.
Seharusnya, setiap kebijakan yang akan dijadikan PP itu di kaji dengan benar. Apakah kebijakan itu akan menzalimi rakyat atau tidak? Seperti halnya Tapera ini yang ternyata kebijakannya sangat menzalimi rakyat. Lantas, kenapa hal seperti ini sering kali terjadi? Pastinya semua hal yang terjadi adalah akibat dari sistem yang dijalankan oleh pemerintah saat ini yaitu sistem Sekularisme yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Sungguh, sekularisme yang mendasari sistem kehidupan hari ini benar-benar mengabaikan halal dan haramnya suatu perbuatan. Bahkan, selalu mengagungkan nilai materi dan manfaat saja. Sehingga, melahirkan jiwa-jiwa individualisme yang tidak peka terhadap keadaan di sekitarnya. Serta jiwa yang egois yang menjadikan nilai akhlak dan kemanusiaan itu jauh dari kehidupan mereka.
Dengan begitu, Tapera sejatinya bukan untuk rakyat, akan tetapi kebijakan yang dibuat untuk melancarkan sebuah proyek. Di mana, rakyat digiring untuk melakukan riba. Akhirnya, yang diuntungkan adalah pengusaha dan rakyat yang menanggung akibatnya. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang hal ini?.
Dalam Islam pemimpin wajib hadir dalam memberi layanan terbaik untuk rakyat. Tugasnya adalah mengurus urusan rakyat, bukan mengeruk keuntungan dari rakyat sehingga menyengsarakan rakyat. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari)
Penyediaan kebutuhan perumahan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, tanpa harus ada pungutan iuran wajib, semua akan ditanggung oleh negara. Negara yang akan mencukupi kebutuhan baik sandang, pangan.maupun papan dengan menetapkan harga yang murah. Negara juga harus memberikan kemudahan dalam pembelian tanah dan bangunan dengan harga yang terjangkau. Kemudian, para pencari nafkah akan mudah dalam mengakses dan mencari pekerjaan sebab negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Tugas dari seorang pemimpin adalah memberikan kenyamanan bagi rakyatnya, termasuk dalam perkara kebutuhan rumah. Jangan sampai kebijakannya justru menyusahkan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Ya Allah, barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihilah ia.” (HR Muslim)
Untuk mewujudkan agar pemenuhan kebutuhan papan masyarakat bisa terselenggara dengan tepat dan benar, harus kembali kepada syariat Islam yang menerapkan sistem Islam secara kafah dan kembali pada aturan Allah Swt.. Dengan begitu masyarakat tidak akan khawatir dan menderita dengan aturan buatan manusia yang terangkai dalam sistem sekular kapitalisme saat ini. Wallahuallam bissawab. [Dara]