Alt Title

Tapera: Kebijakan demi Rakyat atau Justru Buat Melarat

Tapera: Kebijakan demi Rakyat atau Justru Buat Melarat

 


Tapera merupakan sebuah bukti kezaliman lagi bagi rakyat

Maka ini bentuk pemalakan rakyat secara legal melalui peraturan pemerintah

______________________________


Penulis Hany Handayani Primantara, S.P 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tapera Bentuk Kepedulian Pemerintah 

Penolakan kebijakan Tapera datang dari beragam kalangan. Mulai dari para buruh maupun pengusaha. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh media online sindonews.com (29/05/24). Penolakan serempak tersebut terjadi akibat dari polemik peraturan pemerintah (PP) nomor 21 Tahun 2024 mengenai pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).


Niat hati ingin membantu rakyat untuk memiliki rumah. Namun yang terjadi justru penolakan secara tegas dari banyak kalangan atas kebijakan tersebut. Para buruh dan pengusaha menilai bahwa kebijakan ini kurang tepat. Senada dengan pendapat mereka, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyoroti, hitungan iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) sebesar 3% yang menurutnya tidak masuk akal. 


Jika dihitung 3% dari gaji buruh setara UMR yang dikumpulkannya selama 20 tahun atau hingga pekerja tersebut pensiun, hanya menghasilkan sekitar 25,2 juta. Pertanyaan, adakah kiranya harga rumah yang layak huni dengan budget sebesar itu. Seperti yang kita ketahui bahwa harga tanah bahkan rumah kian hari makin tinggi.


Masih dari sumber yang sama, ia bahkan juga mempertanyakan kejelasan terkait dengan program Tapera. Terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung.


Bentuk kepedulian dari pemerintah tersebut justru lebih memberatkan rakyat, ketimbang mempermudah. Mengingat pemasukan mereka akan dipotong tiap bulannya, tetapi di sisi lain tak ada jaminan kepastian mengenai rumah yang dijanjikannya kelak.


Tapera Bukti Kezaliman Pemerintah 

Jika memang pada dasarnya pemerintah ingin membantu rakyat dalam pengadaan rumah pribadi. Bisa saja rakyat dibantu dalam proses mendapatkan rumah itu sendiri. Sebab membeli rumah di zaman sekarang kendalanya bukan hanya perkara mendapatkan jumlah dana yang harus dikeluarkan, tetapi banyak faktor juga yang membuat rakyat makin sulit memiliki rumah. Salah satunya masalah perizinan lahan, serta akses terhadap pembelian rumah dan juga riba.


Jika solusi pengadaan rumah adalah Tapera, tampak bahwa negara tidak memiliki politik penyediaan rumah bagi rakyat. Padahal dengan kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah, bisa dengan cepat mengatur apa saja yang menjadi kendala dan mempermudahnya agar rakyat bisa memiliki rumah layak huni. Bukan dengan kebijakan Tapera, yakni dengan memungut potongan dari gaji yang nominalnya tak seberapa, jelas sekali kebijakan ini berkesan dipaksakan.


Tapera merupakan sebuah bukti kezaliman lagi bagi rakyat. Sudah gaji tiap bulan dipotong biaya BPJS, biaya ketenagakerjaan, belum lagi pajak ditambah Tapera yang jumlahnya pun tak sedikit. Maka ini bentuk pemalakan rakyat secara legal melalui peraturan pemerintah (PP).


Hal ini sejatinya sangat memberatkan rakyat di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok lainnya. Seakan rakyat tak ubahnya sapi perah yang telah bekerja siang malam tetapi hasilnya hanya untuk dipotong oleh iuran macam-macam.


Tapera hendaknya dikaji ulang jika memang awal mulanya bertujuan untuk memberi kemudahan bagi rakyat dalam memiliki rumah. Sebab seperti kejadian sebelumnya, hasil pungutan dari rakyat justru dijadikan lahan basah baru bagi oknum tertentu. Sebaiknya pemerintah bisa belajar dari pengalaman kemarin dan bersikap bijak di tengah kesulitan rakyat saat ini. Tak membebankan rakyat dengan tagihan-tagihan lagi yang buat rakyat makin melarat. Serta membantu rakyat agar bisa keluar dari masalah ekonomi yang semakin carut marut akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis sekarang.


Solusi Memiliki Rumah Tanpa Tapera 

Islam memandang rumah termasuk kebutuhan primer. Rumah adalah bagian dari papan yang harus dipenuhi oleh negara. Jadi yang memiliki andil besar dari pengadaan rumah sebagai tempat tinggal yang layak adalah negara. Sebab negara adalah pengurus rakyat. Negara wajib memberikan fasilitas ataupun mempermudah rakyat dalam mendapatkan tempat tinggal sesuai dengan syarak. Bukan dengan memungut uang dari rakyat. 


Sejatinya apa yang ia peroleh merupakan haknya berupa ujroh atau gaji yang akan ia terima dari hasil kerjanya selama ini. Jadi, adalah sebuah bentuk kezaliman ketika gaji yang ia peroleh harus dipotong tanpa kerelaan dari pemilik gaji.


Islam sebagai sebuah sistem yang syamilan dan kamilan tentu mampu mengatasi hal tersebut. Sebab Islam memiliki sebuah sistem ekonomi yang unggul. Sistem ekonomi yang khas, sistem yang tentunya hanya datang dari Allah. Ketika aturan datangnya dari Allah, maka yakin pengaruhnya pun akan baik bagi manusia itu sendiri. Tidak seperti sistem kapitalis yang tak manusiawi.


Sistem ekonomi Islam mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan ekonomi manusia. Dengan menggunakan sistem ekonomi Islam, negara akan mengatur bagaimana agar kebutuhan primer rakyat bisa terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan tuntunan syarak. Termasuk perkara hunian berupa rumah. 


Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut. Hal itu tentunya tak akan terwujud selagi kita masih mengadopsi sistem ekonomi kapitalis. Maka pertanyaan kini adalah apakah kita mau melaksanakan sistem ekonomi Islam atau tidak. 


Itu semua akan kembali kepada diri kita masing-masing. Hanya orang-orang yang beriman yang mau kembali kepada Allah secara totalitas. Wallahualam bissawab. [SJ]