Alt Title

Tapera Menambah Beban Rakyat, Hanya dengan Syariat Islam Umat Sejahtera

Tapera Menambah Beban Rakyat, Hanya dengan Syariat Islam Umat Sejahtera

 


Negara tidak boleh mengambil keuntungan atas penyelenggaraan kebutuhan, apalagi dengan memaksa memungut iuran

 Seharusnya dipermudah untuk bisa memiliki rumah yang layak sebagaimana ketentuan syariat

______________________________


Penulis Sujilah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Belum selesai masalah UKT (Uang Kuliah Tunggal) rakyat sudah disuguhi dengan problem baru, yaitu program Tapera yang saat ini tengah menuai pro dan kontra.


Pada tanggal 20 Mei 2024 Presiden Jokowi telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), di mana para pekerja diwajibkan menjadi pesertanya.


Nantinya gaji PNS, BUMN, BUMD, TNI, hingga Pegawai Swasta akan dipotong sebesar 3 persen, yang rinciannya 2,5 persen ditanggung pekerja, dan sisanya dibebankan ke perusahaan  pemberi kerja.


Dengan adanya iuran tersebut, maka daftar potongan gaji yang diterima pun akan semakin bertambah panjang. Setelah sebelumnya mengalami pemotongan pajak PPH, BPJS kesehatan, Taspen, dan lain-lain. Alhasil, jumlah yang diterima akan semakin kecil nominalnya. (Ayo.bandung.com, 31/5/2024)


Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, para pekerja yang telah memiliki rumah pun tetap diharuskan mengikuti program Ini, seperti halnya BPJS yang menerapkan prinsip gotong royong. Diharapkan nantinya akan menjadi solusi bagi masyarakat yang mendamba rumah.


Program Tapera menuai polemik, ada yang beranggapan bahwa aturan tersebut merupakan bentuk lepas tangan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyat akan rumah, bersifat memaksa dan makin menambah beban hidup rakyat. Selain rawan dikorupsi, pelaksanaannya pun penuh dengan ketidakjelasan dan kerumitan. 


Penolakan sangat wajar mengingat fakta dan pengalaman mengenai kebijakan yang ditetapkan negara selama ini, banyak menzalimi rakyat. Program-program yang katanya untuk kepentingan masyarakat, justru diselewengkan sebagaimana dalam kasus korupsi Taspen dan Asabri.


Apalagi di tengah kondisi yang masih serba sulit seperti saat ini. Di mana kebutuhan harga bahan pokok yang makin naik, biaya sekolah dan kuliah yang mahal, sementara lapangan pekerjaan makin sempit, ancaman PHK, dan kini masih ditambah lagi dengan penghasilan mereka yang harus dipotong untuk Tapera. Tidakkah semua itu menjadi pertimbangan bagi para pemangku kebijakan? 


Inilah yang terjadi jika aturan yang dibuat merujuk pada sistem kapitalisme sekuler, di mana kebijakan yang ditetapkan tidak berpihak kepada rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Rakyat diminta membayar iuran guna membantu sesamanya, artinya negara berlepas tangan. 


Rakyat dianggap sebagai beban yang harus mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan negara. Penguasa diposisikan hanya sebagai regulator bukan pengurus yang memikirkan pemenuhan kebutuhan rakyat baik sandang, pangan, maupun papan. 


Kapitalisme yang menimbang untung rugi dalam setiap kebijakan, tidak akan peduli dengan bertambahnya beban rakyat. Bagaimana caranya biar terkesan mengurusi rakyat walaupun kenyataannya malah menambah derita rakyat. 


Berbeda dengan Islam, solusi yang ditetapkan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tengah umat. Negara wajib menjamin sandang, pangan dan papan rakyatnya. Di samping pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang juga menjadi tanggung jawab yang harus dipenuhi.


Adapun mekanisme yang dijalani adalah dengan melalui tiga tahap, di antaranya:


Pertama, memudahkan para lelaki (yang baligh dan mampu) untuk bekerja supaya bisa terpenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu pemerintah akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka. Dengan cara ini, maka bisa terpenuhi kebutuhan tempat tinggal.


Kedua, adanya kewajiban bagi kepala keluarga, ahli waris dan kerabat untuk memenuhi dan menafkahi keluarganya.


Ketiga, ketika semua pihak tidak mampu melakukannya, maka negaralah yang wajib untuk menyediakan rumah. Yaitu dengan menggunakan harta milik negara, atau harta kepemilikan umum. Maka di sini pemimpin bisa menjual atau memberikannya secara tunai dan terjangkau, atau bisa menyewakan, meminjamkan bahkan menghibahkan pada rakyat yang tidak mampu.


Pemimpin hadir memberi layanan atau meriayah sebaik mungkin mengingat tugasnya mengayomi bukan mengambil keuntungan dari rakyat. Rasulullah saw. bersabda,


Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggungjawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari)


Maka dari itu pemerintah bertanggungjawab penuh untuk mengurus dan menyelesaikan dan melayani rakyat atas setiap keperluannya serta tidak boleh menyerahkan urusan pelayanan tersebut kepada individu atau swasta maupun pihak lain.


Negara tidak boleh mengambil keuntungan atas penyelenggaraan kebutuhan, apalagi dengan memaksa memungut iuran. Yang seharusnya dipermudah untuk bisa memiliki rumah yang layak sebagaimana ketentuan syariat.


Islam menjamin setiap umatnya supaya bisa tercukupi kebutuhannya dan dimudahkan urusannya. Hanya dengan sistem Islam inilah masyarakat akan hidup sejahtera lahir dan batin. Karena itu, adalah kewajiban kita mengupayakan agar syariat bisa diterapkan secara kafah. Wallahualam bissawab. [SJ]