UKT Setinggi Langit, Kuliah Makin Sulit
Analisis
Nuansa kapitalisasi saat ini memang sangat kental mewarnai dunia pendidikan
Pendidikan tak ubahnya barang elit yang tak akan bisa diakses jika tak berduit
_________________________
Penulis Etik Rositasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Pendidikan merupakan satu hal yang berperan penting menentukan masa depan generasi. Akses pada pendidikan secara optimal akan berkorelasi dengan output individu berkualitas yang siap berkiprah dan menorehkan karya di tengah masyarakat.
Pun demikian sebaliknya, tanpa pendidikan yang baik, individu akan sulit bertahan mengarungi kehidupan. Apatahlagi, menjadi pembaharu di masyarakat. Sayangnya saat ini, realita justru menunjukkan pendidikan kian hari kian sulit didapatkan.
Desas desus naiknya UKT bahkan sukses menuai polemik panas di kalangan mahasiswa dan intelektual. Hal ini terjadi setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim resmi mengeluarkan aturan ketentuan UKT terbaru melalui Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek.
Kenaikan UKT yang dinilai ugal-ugalan, bahkan hingga mencapai 500% ini, memupus harapan puluhan mahasiswa berprestasi untuk dapat menikmati bangku perkuliahan. Dilansir dari Kompas (20/05/24) sekitar 50 camaba Universitas Riau yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memilih mengundurkan diri karena tidak mampu membayar UKT.
Siti Aisyah salah satunya. Siswa berprestasi yang lulus seleksi UNRI melalui jalur SNBT ini terpaksa mengubur impiannya karena tak sanggup membayar UKT. Apalagi orangtuanya hanyalah pekerja serabutan yang sering sakit-sakitan.
Ironisnya, meski permohonan keringanan UKT telah disampaikan kepada pihak kampus, Siti tetap mendapatkan UKT 5 dengan ketentuan pembayaran sebesar 4,8 juta/semester. Meski tergolong ringan, besaran tersebut masih terlalu tinggi baginya, hingga ia memutuskan mundur dan memupus harapannya.
Nasib yang sama juga dialami oleh Naffa Zahra Muthmainnah. Calon mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) yang diterima melalui jalur prestasi ini mengaku terpaksa tak bisa melanjutkan kuliah sebab tak mampu menanggung biaya UKT yang mencapai Rp 8,5 juta/semester. Awalnya, ia mengira bahwa besaran UKT hanya mencapai Rp 2,4 hingga 3 juta rupiah, namun adanya aturan ketentuan UKT terbaru membuat besaran UKT USU mengalami kenaikan hingga 30-50%.
Banyaknya siswa yang gagal kuliah akibat naiknya UKT tersebut tak ayal mendorong para aktivitas mahasiswa melakukan berbagai aksi menuntut penurunan UKT. Merespon kondisi yang kian memanas, Mendikbudristek akhirnya memutuskan menganulir kebijakan kenaikan UKT di tahun ini. Ia mengatakan akan mengevaluasi kembali permintaan peningkatan UKT yang diajukan oleh perguruan tinggi negeri (PTN).
Apakah hal ini akan menjadi angin sejuk bagi mahasiswa? Sayangnya tidak. Presiden Jokowi, dalam kutipan berbeda mengatakan bahwa ada kemungkinan UKT akan mengalami kenaikan di tahun depan (CNN Indonesia, 27-5-2024). Hal ini juga diamini secara tersirat oleh Nadiem yang menyebut bahwa kenaikan UKT pada masa depan harus sesuai dengan asas keadilan dan kewajaran (Kompas, 27-5-2024).
Drama kenaikan UKT ini sungguh menjadi mimpi buruk bagi para penerus asa negeri. Pasalnya, pemerintah nyatanya tak benar benar berazam membatalkan kenaikan UKT. Apalagi jika menilik kenaikan UKT tahun ini yang menggila. Bukan tak mungkin jika UKT naik tahun depan, banyak siswa yang sejatinya berprestasi akhirnya harus menutup rapat rapat pintu kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep bahwa seharusnya pendidikan menjadi hak rakyat yang harus dipenuhi.
Mirisnya, tak hanya sang siswa, sekolah pun ikut terdampak. Bagaimana tidak, sekolah yang peserta didiknya lolos penerimaan jalur SNBT namun memutuskan tak melanjutkan prosesnya, terancam masuk daftar hitam dan berpotensi tidak diberi kuota jalur prestasi oleh PTN yang bersangkutan. Bukankah hal ini layaknya memakan buah simalakama?
UKT Makin Tak Terjangkau, Mengapa?
Mahalnya UKT di beberapa universitas di Indonesia ini merupakan dampak diterapkannya kebijakan pemerintah terkait Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Kebijakan ini membuat perguruan tinggi yang telah mendapatkan status badan hukum, diberikan otonomi mengelola anggaranya sendiri dengan dalih agar lebih mandiri.
Pengamat yang merangkap sebagai Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai kebijakan PTNBH ini sarat nuansa komersialisasi pendidikan. Ia menyatakan, munculnya PTNBH membuat kampus berpotensi menjadi lahan basah bisnis.
"Kebijakan PTNBH ini menjadikan kampus sebagai lahan bisnis. Jadi, harus dihentikan. Apalagi, bisnis yang dilakukan kampus ini dengan mencekik mahasiswa lewat kenaikan biaya UKT yang tidak masuk akal, kenaikannya berkali-kali lipat," kata Ubaid saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/5/2024).
Kebijakan PTNBH memang sejatinya membuat perguruan tinggi perlu memutar otak lebih keras guna “mencari uang” demi keberlangsungan institusinya. Dengan dalih ingin mengurangi ketergantungan perguruan tinggi terhadap APBN, pemerintah sebenarnya memberi kesempatan kepada PTN untuk mencari pendanaan lain termasuk melalui skema kerja sama dengan pihak korporat.
Namun demikian, realitanya hal tersebut problematis. Dari segi prinsip misalnya, jelas perguruan tinggi sebagai lembaga intelektual memiliki prinsip yang jauh berbeda dengan korporasi yang menjadikan profit sebagai orientasi. Alhasil, adanya kerjasama dengan korporat selaku pihak pemberi dana, tentu akan mengikat dan memandulkan otonomi akademis kampus itu sendiri.
Selanjutnya, dari segi implementasi, nyatanya menjalin kerjasama dengan pihak korporat bukan satu hal yang bisa diperoleh dalam waktu singkat. Walakhir, tak ada jalan lain, mau tak mau PTN pun ramai ramai menaikkan UKT untuk menjamin keberlangsungan eksistensi masing masing kampus.
Selain minim dari segi kesiapan dan terkesan serampangan, kebijakan PTNBH tersebut juga sejatinya menunjukkan bahwa dana alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah memang cenderung di bawah standar. Hal ini bisa dilihat dari anggaran pendidikan yang hanya 20% dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan di mana sektor pendidikan tinggi menjadi salah satu di antaranya. Tentu secara riil, jumlah tersebut tak akan cukup membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia.
Menggapai Asa Pendidikan
Tak lagi dimungkiri, nuansa kapitalisasi saat ini memang sangat kental mewarnai dunia pendidikan. Pendidikan dewasa ini dijadikan tak ubahnya barang elit yang tak akan bisa diakses jika tak berduit. Sementara itu, pemerintah sebagai pihak yang diberi amanah konstitusi untuk mencerdaskan bangsa, justru abai dan semakin hilang peran dalam pembiayaan pendidikan. Jelas ini adalah kezaliman!
Jika sudah seperti ini, bagaimana mungkin mengharap generasi berkualitas yang siap bersaing di percaturan global? Apatah menyongsong cita-cita Indonesia Emas 2045, bagai panggang jauh dari api, jika kondisi seperti ini tak juga diperbaiki. Oleh karena itu, polemik mendasar pendidikan ini mesti diakhiri.
Langkah perbaikan dapat dimulai dengan perubahan paradigma terkait pendidikan itu sendiri. Alih-alih memakai cara pandang kapitalistik, sebagai seorang muslim, seyogianya kita perlu mengganti sudut pandang dengan pandangan Islam.
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menaungi pendidikan saat ini, Islam memandang bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dan mendasar bagi umat. Hal ini didasarkan sebagaimana firman Allah Swt.,
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11)
Rasulullah saw. pun bersabda terkait kewajiban akan pendidikan “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Oleh karena itu, negara sebagai pemegang tanggung jawab terhadap urusan warga negaranya perlu memberikan fokus terhadap permasalahan pendidikan ini secara optimal, sebagaimana hadis Rasulullah saw.,
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Di dalam Islam, negara harus memfasilitasi dan menjamin terselenggaranya pendidikan, bahkan, jika perlu negara bisa menyediakannya secara cuma cuma. Hal ini berlaku bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali dalam berbagai jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Sementara itu, terkait sumber pembiayaan pendidikan, dapat diperoleh baik dari individu secara mandiri, hasil wakaf dan donasi umat maupun negara. Namun demikian, negaralah yang mempunyai porsi terbesar dalam penjaminan biaya pendidikan tersebut.
Realisasi pembiayaan pendidikan ini diwujudkan dalam beberapa bentuk seperti infrastruktur dan sarana prasarana pendidikan, gaji guru dan pegawai, hingga asrama serta kebutuhan hidup para siswa termasuk uang saku. Sementara itu, untuk merealisasikan seluruh pembiayaan ini tentu memerlukan dana yang tak sedikit.
Oleh karena itu, di dalam Islam juga ditetapkan sejumlah pos pemasukan negara untuk menunjang kebutuhan masyarakat termasuk terkait pendidikan. Pos pemasukan yang berada di Baitul Mal ini di antaranya berasal dari kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan SDA, tambang dan gas, fai, kharaj, jizyah, serta dharibah (pajak).
Terkhusus untuk pajak, tak seperti dalam sistem saat ini yang diwajibkan kepada seluruh lapisan masyarakat, pajak di dalam Islam hanya diambil dari laki laki yang mempunyai harta lebih, pun dalam kondisi saat baitulmal sedang kosong.
Dengan adanya mekanisme pendidikan semacam ini, kekhawatiran terhadap pembiayaan pendidikan akan sirna. Para pemuda yang bercita cita tinggi pun tak akan terhalang lagi menikmati akses pendidikan secara optimal. Dampaknya, potensi mereka akan melejit. Alih-alih menjadi beban, mereka pun akan siap menjadi intelektual intelektual tangguh yang siap berkontribusi bagi bangsa. Wallahualam bissawab. [GSM]