Demokrasi dan Keputusan MA, Menjaga Integritas atau Melayani Elite?
Opini
Hukum demokrasi yang ideal mengharuskan bahwa kekuasaan tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu
Nyatanya, demokrasi hanyalah sebuah sistem yang dirancang oleh manusia dan memiliki kelemahan-kelemahan inheren
______________________________
Penulis Dinny Roslina Gunawan
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat usia minimal calon kepala daerah dari saat pencalonan menjadi saat pelantikan menimbulkan berbagai reaksi dan kontroversi.
Perubahan ini mengundang perhatian luas karena implikasinya terhadap demokrasi dan transparansi pemilu di Indonesia. Dalam putusan Nomor 23 P/HUM/2024, MA menetapkan bahwa syarat usia minimal calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wali kota, dan wakilnya harus dipenuhi pada saat pelantikan, bukan saat pencalonan.
Perubahan ini dipandang oleh sebagian kalangan sebagai langkah hukum untuk menyesuaikan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Namun, keputusan ini tidak lepas dari kritik dan kecurigaan.
Beberapa pihak menilai ada nuansa politik di balik perubahan ini, seolah-olah memberikan peluang bagi calon yang belum mencapai usia minimal pada saat pencalonan namun akan mencapainya pada saat pelantikan. Nama Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, sering disebut dalam konteks ini karena majunya dalam Pilkada DKI Jakarta 2024.
Kemiripan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI-2023 mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden memperkuat dugaan bahwa keputusan ini dibuat untuk menguntungkan calon-calon dari keluarga penguasa, termasuk Gibran Rakabumingraka, kakak Kaesang. Kritik keras datang dari lembaga seperti Perludem, yang menilai keputusan ini sebagai manipulasi hukum demi kepentingan politik tertentu.
Perubahan syarat usia ini menimbulkan kekhawatiran akan preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Prinsip demokrasi yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan tampak terancam oleh kesan bahwa hukum dapat diubah demi kepentingan tertentu.
Banyak yang berpendapat bahwa keputusan ini mempermudah calon-calon yang belum memiliki cukup pengalaman dan rekam jejak untuk menjadi pemimpin daerah, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu atau golongan.
Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Islam memiliki mekanisme pemilihan kepala daerah yang lebih ketat, di mana khalifah menunjuk orang yang siap menerima amanah sebagai kepala daerah (wali/amil). Selain itu, Islam menetapkan syarat-syarat tertentu bagi siapa saja yang layak menjadi pemimpin, berdasarkan kriteria moral dan kemampuan, bukan semata-mata usia atau hubungan keluarga.
Putusan MA yang mengubah syarat usia minimal calon kepala daerah ini perlu ditinjau ulang demi menjaga integritas demokrasi Indonesia. Kepentingan politik jangka pendek seharusnya tidak mengalahkan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan keadilan. Rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang terpilih melalui proses yang transparan, adil, dan akuntabel, tanpa intervensi atau manipulasi hukum yang menguntungkan pihak tertentu.
Hukum demokrasi yang ideal mengharuskan bahwa kekuasaan tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Namun, pada kenyataannya, demokrasi hanyalah sebuah sistem yang dirancang oleh manusia dan memiliki kelemahan-kelemahan inheren. Di sisi lain, Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), di mana aturan-aturan kehidupan manusia diatur oleh Sang Pencipta.
Sedangkan demokrasi sering kali dihadapkan pada tantangan integritas dan keadilan. Sistem ini rentan terhadap manipulasi oleh individu atau kelompok yang memiliki kepentingan tertentu, sehingga tujuan awalnya untuk menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi semua orang dapat terdistorsi.
Kebijakan dan keputusan bisa diubah atau dimodifikasi demi kepentingan segelintir pihak, mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri.
Sebaliknya, Islam menawarkan sistem hidup yang komprehensif, yang tidak hanya mencakup aspek-aspek spiritual, tetapi juga mencakup hukum, etika, dan aturan sosial. Dalam Islam, setiap aturan dan perintah didasarkan pada wahyu Ilahi, yang dianggap sebagai pedoman paling sempurna dan adil untuk kehidupan manusia. Aturan-aturan ini dirancang untuk memastikan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan, bukan hanya kelompok atau individu tertentu.
Islam mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan adil dan bertanggung jawab. Para pemimpin dalam Islam diharapkan untuk menegakkan keadilan, menjaga kesejahteraan masyarakat, dan menghindari segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam juga didasarkan pada kriteria moral dan kemampuan, bukan semata-mata pada popularitas atau hubungan keluarga.
Dengan demikian, sementara demokrasi berusaha untuk menjamin hak-hak dan kesejahteraan rakyat melalui sistem yang manusiawi, Islam memberikan kerangka kerja yang lebih holistik dan transendental. Islam mengarahkan umatnya untuk hidup dalam keseimbangan, keadilan, dan ketaatan kepada perintah Tuhan, sehingga menciptakan masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Wallahualam bissawab. [DW-SJ/MKC]