Alt Title

Demokrasi Menyuburkan Penista Agama

Demokrasi Menyuburkan Penista Agama

 


Penistaan terhadap Islam hukumnya haram, bahkan bisa dijatuhi hukuman mati

Hukuman tegas dilakukan agar di kemudian hari tidak ada lagi yang menistakan, dan mencela Islam

____________________________


Penulis Sunarti 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pengamat Sosial



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Lagi-lagi kasus penistaan agama Islam menjadi polemik. Yang terbaru adalah mama Ghufron yang mengaku sebagai seorang wali, dan mengarang 500 kitab berbahasa Suryani, serta bisa berbahasa semut, telah menyebarkan kesesatan.


“Saya lihat ajaran mama Ghufron di Youtube isinya sesat,” kata aktivis Islam Farid Idris, dalam pernyataannya kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu, 19/6/2024.


Farid Idris mengatakan ajaran kesesatan Mama Ghufron telah meresahkan masyarakat, dan pihak pemerintah. Untuk itu, Kementerian Agama (Kemenag) harus bertindak. Masyarakat yang pemahaman Islamnya masih lemah bisa terpengaruh ajaran sesat ini,” ungkapnya.


Farid menambahkan, Mama Ghufron dan pengikutnya terus menyebarkan kesesatan di media sosial. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Banten harus memanggilnya, dan mengklarifikasi ajaran sesatnya. Pertemuan MUI Banten, dan mama Ghufron harus dilakukan secara terbuka agar publik bisa melihat kapasitas keilmuan agama Islam yang dimilikinya,” paparnya.


“Dia tidak memiliki kemampuan keilmuan agama Islam yang baik. Saya tidak pernah melihatnya membaca Al-Qur’an, dan Hadis di hadapan para pengikutnya,” pungkasnya.


Jika melihat kasus yang terus berulang seperti ini, seharusnya perlu ketegasan hukum bagi semua pihak yang melakukan pelanggaran. Sistem demokrasi telah menganggap bahwa agama bukanlah sesuatu yang harus dijaga, dan diprioritaskan. Marah karena agama dihina dianggap berlebihan. Undang-undang penodaan agama yang dijadikan dasar menjaga agama, kenyataannya tidak mampu menangkal penistaan.


Dalam pasal 156 A KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), disebutkan bahwa seorang yang bersalah dalam melakukan penistaan agama di Indonesia dapat dihukum pidana 5 tahun penjara. Namun, tidak adanya sanksi yang tegas, dan membuat efek jera, sehingga pelaku selalu ada di setiap generasi. Umat menuntut hukuman tegas bagi penista agama, tetapi justru disuruh menerima dengan lapang dada, memberi maaf, atau meredam dengan narasi: “Umat Islam itu pemaaf, ramah, bukan pemarah.” 


Penerapan hukum sekuler pasti  berbenturan dengan aturan syariat. Jika penista agama ditindak tegas, ini berbenturan dengan HAM, dan kebebasan pendapat. Jika tidak ditindak tegas, maka makin tidak terkontrol, dihukum salah, tidak dihukum juga tambah salah. Karena pandangan ini tidak bersandar pada standar yang baku yaitu syariat Islam.


Oleh karena itu, kaum muslim tidak dapat terlindungi, jika tidak memiliki pelindung kuat. Dahulu, di masa Khilafah Utsmaniyah masih menaungi, penista Islam dan ajarannya ditindak tegas. Hal ini sesuai dengan respon Khalifah Abdul Hamid atas pelecehan terhadap Rasulullah saw.. Saat itu, Khalifah Abdul Hamid memanggil duta besar Perancis meminta penjelasan atas niatnya untuk menggelar teater yang melecehkan Nabi Muhammad saw..


Beliau berkata pada duta Perancis, “Akulah Khalifah umat Islam, Abdul Hamid, aku akan menghancurkan dunia sekitarmu, jika kamu tidak menghentikan pertunjukan.” Begitulah ketegasan seorang penguasa dalam sistem Islam. Jika ada pihak yang melakukan penistaan, penghinaan, dan pelecehan disebut Al-Istihza, yang secara bahasa berarti sukhriyyah (ejekan atau cemoohan).


Penistaan agama bisa bermakna penghinaan, dan cemoohan terhadap Allah Swt., Rasulullah saw., maupun agama Islam. Penistaan terhadap Islam hukumnya haram, bahkan bisa dijatuhi hukuman mati. Hukuman tegas dilakukan agar di kemudian hari tidak ada lagi yang menistakan, dan mencela Islam. Ini merupakan salah satu tugas negara dalam sistem pemerintahan untuk menjaga, dan melindungi kemuliaan Islam. Dengan penerapan syariat, umat pun terjaga, dan terlindungi dari penistaan.


Islam menjadikan negara sebagai penjaga akidah umat, dan menetapkan semua perbuatan terikat dengan hukum syarak. Tidak ada kebebasan dalam berperilaku, dan berbicara. Pelanggaran hukum syarak merupakan kemaksiatan yang harus diberikan sanksi tegas, dan membuat efek jera oleh negara.


Dalam hal ini, negara harus menjaga, dan melindungi kemuliaan Islam, penistaan terhadap Islam, dan ajarannya haram hukumnya. Bahkan, pelakunya bisa dijatuhi hukuman mati. Dengan penerapan syariat, kemuliaan Islam akan selalu terjaga. Sebaliknya tanpa penerapannya, Islam akan selalu dinistakan begitu pun ajarannya. Wallahualam bissawab. (SH-GSM/MKC)