Alt Title

Dengan Islam, yang Menyulitkan Ibadah Haji Hilang

Dengan Islam, yang Menyulitkan Ibadah Haji Hilang

 


Terlaksananya ibadah haji dengan aman dan nyaman tanpa tuntutan yang menyulitkan perlu diatur oleh kepemimpinan Islam

Dalam Islam, sosok pemimpin bukan sebagai pebisnis, tetapi sebagai pemimpin yang mengayomi dan melindungi rakyatnya

___________________


Penulis Aning Juningsih

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ibadah haji tahun ini berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Menurut ketua Tim Pengawas Haji DPR RI Muhaimin Iskandar, ibadah haji tahun ini menjadi sorotan, karena mendapatkan aduan terkait penyelenggaraan haji. Ada beberapa fasilitas yang tidak didapat oleh jemaah haji seperti AC yang tidak dapat menyala, tenda yang penuh kapasitas, kurangnya kasur, ruangan yang sempit hanya 0,8 m yang menyebabkan kesulitan tidur karena udara yang panas sehingga banyak jemaah yang memilih tinggal di lorong-lorong, sampai adanya keterlambatan menuju Arafah. 


Selain itu, Muhaimin turut menjumpai bahwa tenda di Mina tidak cukup layak untuk para jemaah haji. Bukan hanya kesulitan tidur, jemaah harus mengantre dua jam untuk ke kamar mandi. Hal ini diperburuk oleh jarak tenda dengan arena lempar jumrah dinilai lumayan jauh. Sehingga kondisi itu dinilai memberatkan para jemaah lansia. 


Menurut Anggota Komisi VIII DPR sekaligus Anggota Timwas Haji John Kenedy Azis, juga memperlihatkan bertambahnya kuota haji sebanyak 20.000. Penambahan tersebut dibagi menjadi dua, 10.00 untuk haji reguler dan 10.00 untuk ONH plus. Pembagian kuota ini ilegal dan melanggar aturan. Karena menurut UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, seharusnya 92% untuh haji reguler dan sisanya untuk ONH plus. 


Firman Muhammad Nur Ketua, Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah meyakini bahwa penambahan kuota ini untuk mendukung visi Arab Saudi 2030 supaya jemaah haji meningkat 5 juta orang dalam 6 tahun kedepan. Tujuannya tidak lepas dari motif ekonomi. Selain itu, pihak Arab perlu menambah kuota ONH plus agar dapat memenuhi okupansi hotel-hotel bintang lima. 


Saat ini, penyelenggaraan haji memerlukan biaya besar. Rp93,41 juta/orang uang yang harus dikeluarkan oleh para jemaah. Jumlah ini sangat besar bagi masyarakat Indonesia. Agar bisa pergi haji para calon jemaah harus menabung sekian puluh tahun. Akan tetapi, sangat disayangkan apabila biaya yang besar itu ternyata tidak cukup menjadikan jemaah merasa nyaman dalam beribadah. Jemaah harus menghadapi berbagai masalah teknis. 


Para jemaah rela menahan keinginan demi sampai ke tempat suci. Namun, fasilitas yang mereka dapat sangat jomplang dengan pelayanan yang ada. Kurang maksimalnya pelayanan sampai membuat para jemaah harus merasakan suasana yang tidak menyenangkan dan tidak puas.


Karena kesulitan ekonomi banyak masyarakat di Indonesia yang berat untuk berangkat haji sebab biayanya. Kesulitan hidup membuat mereka hanya berangan-angan atau bermimpi untuk bisa pergi ke tanah suci. Bagi mereka yang cuannya banyak bisa kapan saja bahkan sampai bolak balik ke tanah suci dengan ONH plus. 


Sekarang ini, haji adalah ibadah yang jelas sekali dikomersialkan. Para penguasa berlomba-lomba membangun hotel berbintang. Kalau ingin mendapatkan fasilitas yang bagus dan nyaman serta dekat dengan tempat ibadah, jemaah harus rela mengeluarkan cuan lebih banyak lagi. Bagi uangnya yang pas-pasan, jemaah harus rela tinggal di hotel yang jaraknya jauh dari Makkah. 


Dengan penambahan kuota, tujuannya diduga bukan untuk memudahkan kaum muslim berhaji. Agar kamar-kamar di hotel yang dibangun oleh para penguasa terpenuhi terutama hotel bintang lima. 


Adanya penambahan kuota haji bagi Indonesia merupakan kesempatan besar, karena Indonesia merupakan salah satu negara pengirim jemaah haji terbanyak. Akan tetapi, dengan penambahan kuota justru menambah masalah baru. Dengan pembagian jumlah kuota tersebut buktinya menyalahi aturan. Karena, sebagian dari penambahan kuota dibuka untuk haji ONH plus. Jadi, hanya orang-orang yang cuannya banyak yang bisa pergi haji duluan. Wajar apabila pada praktiknya, pelayanan haji dipandang sekadar untuk menunjang kelangsungan ekonomi. 


Selain itu, di sisi lain masih banyak kasus yang harus diurus, seperti persyaratan haji, mengurus visa h wa aji dan itu sangat merepotkan calon jemaah. Tidak hanya itu biaya pengurusannya cukup mahal, belum lagi banyak kasus yang tertipu. Bukan visa haji yang didapat, melainkan visa nonhaji. Begitu juga bagi orang-orang yang sengaja ke tanah suci secara mandiri agar biaya hajinya lebih murah, nyatany tidak bisa ikut berhaji karena tidak sah lantaran tidak mempunyai visa haji. Jelas aturan-aturan ini sangat menyusahkan orang untuk beribadah. 


Sekarang, jika kaum muslimin ingin berangkat untuk haji, jemaah harus mengurus visa haji dahulu. Begitu juga pelayanan yang diberikan, tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Semua itu tergantung berapa cuan yang bisa dibayar untuk membeli fasilitas tersebut. Hal itu terjadi akibat dinding nasionalisme yang menjadi sekat negara sehingga membuat negeri-negeri muslim lain dengan Arab dianggap menjadi negara yang berbeda. 


Dengan sekat nasionalisme ini, harus disadari bahwa kaum kafir sengaja membuat umat muslim tidak bersatu. Adanya sekat ini, mereka bisa dengan gampangnya mengatur negeri-negeri muslim. Selain nasionalisme, dunia tengah dikuasai kapitalisme. Semua masalah akhirnya dinilai dengan materi, termasuk pelaksanaan ibadah haji dan umrah. 


Masalah-masalah ini hanya dapat diatasi dengan bersatunya kaum muslim di bawah satu naungan yaitu sistem Islam. Seperti masa lalu pada zaman Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin serta para Khalifah setelahnya, tidak ada yang namanya sekat negara bangsa. Dengan itu, tidak ada perbedaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Maka dari itu, kaum muslim tidak perlu mengurus visa atau paspor, juga tidak pusing dengan biaya yang mahal. Karena, semua satu negara dalam naungan negara Islam. 


Penyelenggaraan haji bukan untuk keuntungan, melainkan untuk penyempurna ibadah rukun Islam. Tersedianya fasilitas yang sama rata, tanpa membayar lebih mahal hanya untuk bisa mendapatkan fasilitas terbaik. Selain itu, tentu untuk menjamin seluruh kaum muslim bisa naik haji dengan rasa tenang, aman, nyaman, dan tidak dibebani oleh biaya administrasi yang tinggi. 


Oleh karena itu, pemimpin tidak boleh membedakan fasilitas antara kaum muslim satu dengan yang lain. Dalam Islam, sosok pemimpin bukan sebagai pebisnis, tetapi sebagai pemimpin yang mengayomi dan melindungi rakyatnya.


Pengaturan jumlah jemaah akan disesuaikan dengan kapasitas wilayah Arafah, Mina, Masjidil haram untuk tawaf. Selain itu, akan ada pengaturan prioritas yang lebih didahulukan untuk berangkat haji setiap tahunnya, seperti para lansia. Tentu disertai dengan penyediaan fasilitas aman dan nyaman sesuai kapasitas. 


Sehingga terlaksananya ibadah haji dengan aman dan nyaman tanpa tuntutan yang menyulitkan perlu diatur oleh kepemimpinan Islam. Wallahualam bissawab. [Dara]